...
Cinta itu tidak melulu bahagia, senang.Ada saatnya Kita tertawa bahagia, ada saatnya Kita menangis karena sakit.
...
Dwi masih setia memeluk Mbok Djum. Ia menunggu hingga tangis Mbok Djum reda.
"Kenapa, Mbok?" tanya Dwi di saat ia sudah tak mampu lagi menahan rasa penasaran kenapa mbok Djum menangis.
"Simbok merasa begitu di hargai, Mas. Saat keluarga Mbok sendiri nggak peduli. Mas malah mengulurkan tangan untuk mendekap simbok, merangkul simbok menjadi bagian dari hidup, Mas. Mas sangat menghormati simbok, memperlakukan simbok begitu baik, lebih baik dari anak kandung simbok. Simbok bener-bener sayang sama mas," ucap Mbok Djum panjang lebar masih dengan sesenggukan. Ia melepaskan pelukan Dwi.
"Mbok tahu, kan cerita hidup saya. Sudah dari usia dua puluh satu tahun saya kehilangan kasih sayang orang tua. Saya kuliah ngekos, nyambi kerja, apa-apa sendiri."
Mbok Djum mengangguk membenarkan. Ia memang sudah mendengar kisah hidup majikannya. Ia kasihan dengan Dwi, ia begitu menyayangi Dwi setulus hatinya. Tidak membedakannya dengan anaknya ataupun mencela kekurangannya. Ia tak peduli dengan kekurangannya, ia sayang dengan Dwi.
Dwi yang memang sudah pintar dari kecil, selalu mendapatkan beasiswa untuk sekolahnya. Sejak Dwi memasuki bangku SMA, ia mulai nyambi kerja. Mulai dari menjadi loper koran, susu, dll. Saat kuliah, Ia mendapat beasiswa penuh dari sebuah universitas ternama di kotanya. Ia ngekos dengan biaya tabungannya, saat kuliah, ia nyambi bekerja di sebuah warnet. Begitu lulus kuliah, ia bekerja di sebuah perusahaan teknologi hingga bertemu dengan teman-teman penyandang cacat lainnya dan membangun perusahaan mereka sendiri.
Dwi maupun Mbok Djum terdiam dengan benak berputar mengingat seluruh kejadian di dalam hidupnya masing-masing. Mbok Djum yang selepas ditinggal suaminya, tak pernah dihargai putra putrinya, dianggap beban. Dwi yang merasa bukan bagian dari keluarganya akibat kekurangannya. Semua itu berputar di benak masing-masing.
"Mbok...," ucap Dwi memecah lamunan mereka.
"Iya, mas."
"Dwi mau cerita sesuatu, Mbok."
"Cerita apa, Mas?"
Dwi menceritakan kejadian di rumah Ricka. Ia juga bilang kalau, ia akan mengungkapkan perasaanya pada Ricka. Mbok Djum yang mendengarnya begitu bahagia. Mbok Djum mendoakan yang terbaik untuk Dwi kelak. Walaupun di hatinya meyakini, bahwa jalan Dwi tidak akan mudah dan mulus untuk mendapatkan Ricka.
Malam itu mereka tutup dengan pembicaraan mengenai Ricka. Dwi tidak ingin, baik dirinya maupun Mbok Djum, mengingat lagi hal buruk yang sudah terjadi.
***
Pagi ini Dwi sarapan bersama Mbok Djum. Baik Mbok Djum maupun Dwi sama-sama diam. Mereka hanya bicara seperlunya. Mereka masih larut dalam perasaan sedih mengingat keluarga. Walaupun pembicaraan itu sudah lewat satu hari, tapi ternyata pembicaraan itu masih sering menjadi pikiran. Dwi menghentikan pikirannya yang melayang ke kejadian kemarin lusa. Ia segera berpamitan pada Mbok Djum.
Dwi melangkah ke garasi samping rumah. Ia mengeluarkan motornya dari garasi. Ia kenakan jaket dan helmnya. Lantas ia lajukan motornya ke arah jalan raya.
Dwi yang mempunyai janji dengan Ricka untuk menjemputnya hari ini, akhirnya mengarahkan motornya ke arah rumah Ricka. Terlihat ayah Ricka sedang membaca koran ditemani secangkir kopi dan sepiring pisang goreng. Dwi mematikan mesin motornya di depan gerbang, ia tepikan motornya di bawah pohon. Lantas ia berjalan memasuki halaman rumah Ricka.
"Assalamu'alaikum, Pak."
"Wa'alaikumsalam, janjian mau berangkat bareng?"
"Nggih pak kemarin lusa."
"Oalah... Ricka baru siap-siap. Duduk, Le."
Dwi mengangguk, ia kemudian mengambil tempat di sebelah Pak Rochim, ayah Ricka. Lima menit kemudian, muncul Ricka. Ricka yang melihat Dwi sudah di depan bersama ayahnya, ia segera berpamitan dengan ibunya, lantas menghampiri Dwi dan ayahnya. Ia kembali berpamitan, lantas berangkat bersama Dwi.
"Dek...," panggil Dwi dengan suara sedikit kencang supaya Ricka mendengar suaranya.
"Ya, Mas. Ada apa?" Ricka bersuara tak kalah kencang. Ia takut suaranya teredam suara mesin kendaraan lain.
"Nanti malam kamu ada acara nggak?"
"Nggak kok, Mas."
"Aku mau ngajak makan. Mau?"
"Di mana, Mas?"
"Rumah makan lesehan Iwak Kali."
"Boleh."
Percakapan mereka terhenti oleh suara kendaraan lain yang lebih keras. Mereka diam sampai tiba di tempat tujuan. Ricka menyerahkan helm dan segera beranjak ke restoran. Sedangkan Dwi masuk ke kantornya.
***
Sore harinya, Dwi datang menjemput Ricka di rumahnya. Dari rumah Ricka, mereka langsung ke Iwak Kali. Dwi sudah menyiapkan mental sejak pagi bahwa ia mampu mengutarakan perasaannya.
Setengah jam perjalanan tak membuat rasa was-was di hati Dwi menghilang. Mereka memasuki rumah makan Iwak Kali, duduk di salah satu saung di sana. Karena rumah makan Iwak Kali merangkap sebagai tempat pemancingan, jadi tersedia saung-saung di atas kolam. Mereka memilih salah satu saung di sana. Lalu mereka memesan makanan. Sembari menunggu pesanan, mereka mengobrol ringan.
Ricka dan Dwi sama-sama diam saat makan. Dwi masih memikirkan bagaimana caranya ia mengungkapkan perasaanya, sedangkan ia tak mau kejadian saat di hutan pinus itu terjadi lagi. Namun ia juga tak mau memendam terlalu lama perasaannya. Akhirnya ia memutuskan, setelah makan ia akan berbicara dengan Ricka.
"Eheem...," dehem Dwi mencairkan kediaman mereka.
Ricka menatap Dwi. Dwi sedikit menunduk saat ditatap Ricka, ia malu, setelah beberapa menit, ia angkat kepalanya. Kalau ia diam saja, kapan ia akan bicara pada Ricka.
"Dek," panggil Dwi. Merasa Ricka sudah memfokuskan perhatian padanya, ia kembali berbicara, "Aku mau ngomong sesuatu, dek."
"Mau ngomong apa mas?"
Dengan jantung berdegup kencang. Dwi mulai berbicara, "Sebenarnya... Aku suka ma kamu, Dek. Kamu mau nggak jadi kekasihku."
Ricka terkejut. Ia diam. Tidak tahu harus berbuat apa. Akhirnya ia bersuara, "Aku pulang, Mas."
Ricka meninggalkan Dwi begitu saja setelah mengucapkan 'aku pulang'. Dwi belum sempat mencerna ucapan Ricka, Ricka sudah pergi. Dwi segera mengejar Ricka. Namun sayang, Ricka sudah pergi menggunakan taksi.
Dwi mengambil ponselnya, menghubungi Ricka. Namun tidak dijawab, boro-boro dijawab. Panggilannya di-riject. Dwi melangkah ke kasir, setelah membayar ia segera beranjak ke parkiran dan melajukan motormya.
...
TO BE CONTINUED
927 Words
Thursday, 28 Desember 2017
00.10 am
KAMU SEDANG MEMBACA
Till I Reach It [Complete] - Revisi
RomanceDwi berpikir bahwa ia harus mencari pasangan karena usianya yang sudah cukup matang yaitu 32 tahun. Tidak mungkin sampai tua ia akan melajang terus, ada saatnya ia tidak bisa berbuat apa-apa dan ia butuh seseorang yang mau mengurusnya. Ia butuh seor...