TIRI-DUA PULUH TUJUH

3.5K 202 16
                                    

...
Kebahagiaan itu sederhana.
Ikhlas dan menerima semuanya.
...

Terlihat seorang laki-laki duduk di kursi ruang tamu ditemani seorang pria paruh baya. Di meja terhidang beberapa toples cemilan dengan dua cangkir teh.

"Bagaimana kabar ibu kamu?" tanya pria yang lebih tua itu, yang tak lain ayah Ricka, Pak Rochim.

"Alhamdulillah sudah membaik, Pak," jawab seorang pria muda, Dwi.

Pak Rochim mengangguk. Ia sebenarnya ingin ikut membesuk. Tapi jika ingat hubungan anaknya dan Dwi, ia merasa seperti mengemis ke keluarga Dwi untuk bertanggung jawab. Jadi ia memlilih jalan tengah. Ia membiarkan Ricka yang membesuk, mewakili dirinya dan keluarga.

"Bapak titip salam untuk keluarga."

"Inggih, Pak. Nanti saya sampaikan."

"Tunggu sebentar. Bapak panggilkan Ricka. Lama sekali anak itu." Pak Rochim sedikit menggerutu.

"Nggih, Pak. Nggak apa-apa. Mungkin Dek Ricka sedang sedikit repot."

Pak Rochim tersenyum mendengarnya. Pengertian sekali anak ini. Batinnya. Kemudian ia beranjak masuk. Beberapa menit kemudian Ricka keluar membawa dua bungkusan di tangannya.

"Itu apa, Dek?"

"Buah tangan untuk keluarga mas."

"Nggak perlu repot-repot, Dek."

"Nggak kok, Mas."

"Ya udah, berangkat sekarang atau nanti?"

"Sekarang aja. Tadi aku udah pamit ma bapak, ibu kok."

"Aku pamit dulu."

"Aku udah bilang kok, Mas."

"Oh gitu. Oke deh. Yuk."

Dwi dan Ricka berjalan beriringan keluar rumah. Melangkah ke arah motor Dwi, lalu berangkat ke rumah orang tua Dwi.

***

Dwi mengajak Ricka masuk ke dalam rumah. Ricka merasa khawatir, cemas, bahagia semua rasa bercampur aduk saat memasuki rumah orang tua Dwi. Jantungnya berdebar. Bahagia, akhirnya ia berkenalan dengan keluarga Dwi. Namun rasa takut itu mendominasi, rasa itu menjalari hatinya. Takut tidak diterima keluarga Dwi. Ricka tersentak dari pikiran takutnya kala merasakan sebuah tangan mengalirkan rasa hangat, menggenggam tangannya yang mungil.

Dwi tersenyum. Ia mengerti Ricka khawatir akan reaksi keluarganya. Sebisa mungkin ia mencoba menguatkannya dengan genggaman tangannya.

"Mereka baik kok."

Ricka hanya mampu merespon dengan anggukan. Rasa gugup mulai menjalari dirinya. Keringat dingin keluar dari tangannya. Tak sadar ia memilin ujung bajunya. Dwi semakin erat menggenggam tangan itu. Lalu membiarkan Ricka duduk sendirian di ruang tamu, sementara dirinya pergi ke dalam untuk memberitahu keluarganya jika Ricka sudah datang.

Dwi datang bersama seorang wanita paruh baya mengenakan baju ala penjual jamu. Ricka menebak itu adalah Mbok Larsih yang diceritakan Dwi.

"Silakan, Non," ucap wanita paruh baya itu, Mbok Larsih.

"Terima kasih, Mbok," jawab Ricka.

"Sama-sama, Non. Simbok permisi, Non, Mas, masih banyak pekerjaan di dapur."

"Monggo, mbok," jawab Dwi.

Terdengar tapak sandal, Ricka maupun Dwi menatap ke arah datangnya suara. Terlihat seorang pria paruh baya, Romo Dwi, melangkah menghampiri mereka. Ricka semakin gelisah, apalagi melihat ayahnya Dwi yang menghampiri mereka tanpa senyum. Ia tak enak hati.

Till I Reach It [Complete] - RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang