TIRI-TUJUH

2.9K 213 34
                                    


Cinta itu butuh perjuangan.

Jangan pahlawan saja yang berjuang.

Hari ini Dwi benar-benar tidak mampu bekerja dengan baik. Setiap kali ia menyentuh kertas, saat itu pula pikirannya melayang mengingat Ricka. Senyuman, tawa, cemberutnya, dll. Rasa rindu menyusup, merasuki hatinya perlahan.

Diangkatnya kaki hingga ke atas meja. Disandarkan punggungnya, tangan bersedekap di dada. Dwi memejamkan matanya. Pikirannya asyik mengingat momen kebersamaannya dengan Ricka. Dwi tersenyum tanpa sadar. Hingga sore menjelang ia masih saja tidak beralih posisi. Jika bukan karena Dion, ia tak mungkin tahu jika waktu sudah melebihi jam pulang.

Hanya dengan mengingat kebersamaan merekalah, rindu itu sedikit terobati.

***

Dwi tiba di rumah dengan perasaan aneh. Ada sebuah firasat tak enak ke depan. Biasanya ia merasakan ini jika bersangkutan dengan keluarganya. Saat Dwi akan melangkah menaiki tangga. Ponselnya berdering.

Nama Mbok Djum tertera di layarnya. Dengan perasaan kalut, Dwi geser icon call di layarnya. Lantas ia tempelkan ke telinganya. Semoga tidak terjadi apa pun. Masalah Ricka saja belum selesai, masa harus ditambah lagi. Benaknya.

Assalamu’alaikum Mbok…

Wa’alaikumsalam Mas.

Iya, Mbok. Kenapa?

Simbok minta maaf, Mas. Simbok sakit. Ndak bisa kerja.

Dwi terdiam. Masih mencerna informasi dari Mbok Djum. Perasaannya berubah khawatir. Tadi pagi, simbok masih sehat-sehat saja. Sakit apa? Batinnya Dwi bertanya-tanya. Ia khawatir bukan main.

Simbok sakit apa? Tadi pagi simbok baik-baik aja. Masih kuat kerja? Dwi jemput ya, Mbok? Kita ke dokter.

Nggak perlu, Mas. Ini simbok udah ndak apa-apa. Tadi waktu pulang ke rumah, Mbok, nggak sengaja ada yang mau nyerempet simbok. Untung ada beberapa warga yang nolong.

Dwi tidak menyangka jika simbok akan mengalami hal ini. Ia termangu di tempatnya. Ia khawatir dengan simbok yang sudah ia anggap seperti ibu kandungnya itu. Ia berbicara lagi dengan nada khawatir yang terdengar jelas.

Apa yang sakit, Mbok?

Kaki simbok kekilir sama lecet-lecet, Mas.

Oh… Gitu. Anak mbok gimana?

Sudah dulu, ya, Mas. Simbok mau makan.

Saya jemput ya, Mbok. Mbok istirahat di rumahku aja.

Tapi, Mas…

Nggak apa-apa, Mbok. Nggak usah nunggu besok atau lusa. Sekarang saja pindah ke sini. Perasaanku nggak tenang kalau mbok di sana. Saya ke sana sekarang. Wassalamualikum, Mbok.

Wa’alaikumsalam.

Dwi mematikan sambungan telfonnya. Ia tidak bisa diam saja jika terjadi apa-apa pada Mbok Djum. Dwi memutuskan untuk menelfon taksi online dan menjemput Mbok Djum setelah mandi. Bahkan saat di dalam taksi pun, Dwi Masih sempat terpikirkan Ricka. Ia ingat kejadian saat dirinya menawarkan taksi pada Ricka. Dwi tersenyum miris. Ia hela napasnya lagi, menggelengkan kepalanya mencoba mengusir bayang-bayang Ricka dan fokus untuk mengurus Mbok Djum terlebih dahulu.

***

Karena Mbok Djum sakit dan Dwi memaksa untuk tinggal di rumahnya. Akhirnya Mbok Djum pindah ke rumah Dwi kemarin. Ia juga diminta untuk istirahat total sampai sembuh. Bahkan Dwi bangun lebih pagi hanya untuk beres-beres rumah lalu berangkat bekerja. Karena ia berangkat lebih pagi dari biasanya. Ia tidak menggunakan motor melainkan angkot. Ia kangen dengan suasa angkot yang mengingatkannya akan Ricka.

Suasana hatinya masih kacau sejak kemarin. Tapi setelah Dwi curhat dengan Aryo, hatinya sedikit terbuka. Ia memasrahkan semuanya pada Tuhan pemilik hidup. Ia yakin, jodoh, rezeki dan maut sudah ada jatahnya masing-masing. Hanya bagaimana usaha kita menghadapinya.

Pagi ini dikarenakan Dwi berangkat lebih pagi, ia tidak melihat dan berangkat bersama Ricka. Begitu Dwi sampai kantor, ia meletakkan laptopnya di meja depan dekat jendela. Ia ingin melihat Ricka. Ada rindu di hati saat ia tidak melihat Ricka. Tebersit rindu dan kehilangan di mata itu. Apalagi sudah tiga hari mereka tidak ada komunikasi sama sekali.

Teman-temannya datang setelah ia menyelesaikan satu berkas laporan. Saat ia akan beranjak ke dapur. Dwi melihat sebuah bus berhenti di halte. Mengurungkan niatnya untuk ke dapur ia kembali duduk, melihat bus itu. Hatinya berdebar. Jantungnya berpacu cepat.

Dwi melihat Ricka turun dari bus, berjalan sembari mendengarkan lagu melalui earphones. Begitu sampai di dekat kantornya, ia sempat melihat Ricka menoleh ke arah kantornya beberapa detik. Kemudian ia menyeberang jalan, membuka pintu resto dan masuk ke dalam. Tidak berapa lama Ricka keluar lagi membawa lap dan semprotan kaca.

Ricka membersihkan jendela dengan telaten. Begitu tiba saatnya resto buka, ia masuk dan duduk di depan kasir. Karena belum ada pengunjung, ia membersihkan area depan meja kasir.

Dwi terus saja mengamati gerak gerik Ricka hingga seseorang menepuk pundaknya. Ia menoleh ke asal tangan yang menepuknya. Yadi berdiri di belakang sofa tempatnya duduk.

“Nih… jangan ngelamun aja. Kerja. Kalau jodoh nggak kemana,” kata Yadi.

Memang seluruh teman kerjanya sudah tahu perihal ia dan Ricka. Seluruh temannya mendukungnya, demi kebahagiaan sahabat.

“Ya. Aku ke dalam dulu. Nanti kalau ada yang nyari, suruh sama Mas Aryo aja.”

Yadi membaca gerak bibir Dwi dengan cermat. Dia mengangguk paham.

Dwi melihat anggukan Yadi. Ia bangkit dari duduknya, merapikan meja dan melangkah ke dalan ruangannya membawa laptop dan beberapa berkas. Sebelum benar-benar menghilang di balik pintu. Ia berpapasan dengan Dion, ia berpesan untuk dibuatkan kopi.

Sedikit rasa di hatinya terobati saat melihat Ricka. Dwi tersenyum getir. Masih saja pikiran dan hatinya tak bisa lepas dari Ricka.

***

Ricka turun dari bus. Ia menghela napasnya berat. Ada sedikit rasa menyusup ke dalam dada saat ia mengingat seseorang. Ia shock. Pikiran dan perasaannya benar-benar campur aduk. Ia butuh waktu untuk berpikir. Ricka tidak menyangka akan melihat dan mendengar sebuah fakta yang cukup kontra. Ia buka tasnya, ia cari earphones, lalu dipasangnya di telinga, dicolokkan ke ponsel ujung kabelnya. Ia cari lagu yang enak didengarnya. Ia berjalan santai menuju tempat kerjanya. Sembari berjalan ia paksa otaknya untuk berpikir. Ia masih bingung dengan fakta tentang Dwi, dengan rasa yang ia rasakan.

Dwi yang terlihat normal kecuali postur tubuhnya yang memang seperti perempuan. Ricka tidak menyangka bahwa Dwi juga penyandang cacat. Tapi cacat apa? Kenapa Aku tidak sadar? Selama ini Aku berinteraksi dengannya. Pikirnya terus.

Ricka menoleh sekejap ke arah kantor Dwi. Ia masih berpikir. Ia menyeberang jalan kemudian masuk ke resto. Membantu karyawan lain membersihkan resto. Ia duduk di kursinya begitu tugasnya selesai. Ia kembali merenung.

Ricka duduk dengan tangan ia topangkan di dagu. Matanya menerawang ke depan.

Ricka bertekat dalam hati, 'aku harus tahu apa yang terjadi dengan mas Dwi. Nggak mungkin dia cacat tapi fisiknya normal. Aku harus tahu. Tapi… bagaimana caranya Aku tahu?’

Seketika Ricka terperanjat bangun kala menemukan sebuah ide.

To be continued

1033 Words
Friday, 22 Desember 2017
05.10 AM

Till I Reach It [Complete] - RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang