…
Kebahagiaanku itu kamu.
Cukup kamu selalu di sampingku.
Menemaniku dalam suka dan duka.
…Dwi masih setia menunggu ibunya berbicara. Di dalam hatinya, ia merasa sakit. Ia tak menyangka jika dulu sewaktu ia kecil, keluarganya belumlah sesukses ini. Bahkan malah baru merintis kembali usaha yang sudah berjalan karena difitnah orang.
“Kata dokter, kamu terkena polio paralisis. Polio ini adalah tipe polio paling parah dan mengakibatkan kelumpuhan.” Dwi meluruh duduk di samping kursi roda ibunya. Kepalanya ditundukkan, tangan kirinya menggenggam tangan kanannya. Diamatinya sembari mendengarkan cerita ibunya dengan seksama. “Kami sudah mencoba terapi fisik. Tapi kami tidak bisa menyelamatkanmu, kamu harus kehilangan fungsi tangan kananmu karena otot-otot di tanganmu melemah dengan cepat. Dan mengakibatkan kamu cacat.” Bu Ayu menjeda ucapannya lagi. Rasa bersalah itu masih saja menghantuinya sejak dulu. Ia menatap anaknya yang menundukkan kepalanya. Pandangan mata itu kabur oleh kabut bening.
“Tapi kami bersyukur, karena kamu tidak kehilangan fungsi syaraf yang lainnya. Setidaknya, kamu masih bisa dilatih menggunakan tangan kiri sebagai ganti tangan kanan.”
“Bagaimana ibu atau romo tahu kalau saya terkena polio?” Nada Dwi sarat akan kesedihan. Ia tak bisa menyembunyikannya. Hatinya merintih kala tahu cerita di balik tangan kanannya.
“Kamu masih kecil, usia kamu baru lima bulan." Ibu menatap Dwi lekat-lekat. Tanpa terasa sebulir air turun dari pelupuk matanya. Ia buru-buru menyekanya kemudian melanjutkan, "Kakungmu telepon, kamu nangis terus, muntah, demam. Kami mengira itu karena efek ASI perah.” Bu Ayu masih mengingat-ingat lagi. Sesekali ia usap air yang terus menetes tak mau berhenti. “Saat usia kamu sepuluh bulan, kamu ibu asuh lagi. Menginjak usia satu tahun; leher, badan dan otot-otot kamu mulai kaku. Ibu panik, akhirnya ibu menelpon ayahmu yang sedang mengatasi masalah di toko, kami cepat-cepat membawamu ke rumah sakit.”
“Lalu kenapa kalian membedakan perlakuan kalian padaku? Apa karena Aku cacat?” Dwi tercekat kala melontarkan pertanyaan ini. Dari dulu, ia ingin bertanya.
“Tidak, Nak.” Bu Ayu mengulurkan tangannya mengusap kepala Dwi. Tanpa terasa setetes air mata jatuh mengenai kepala Dwi yang menunduk. Dwi mendongak, ia melihat mata ibunya memerah, menangis. Ia usap air mata itu. Tangan renta yang semula menyentuh pucuk kepalanya beralih mengusap pipinya. Diambilnya tangan itu, Dwi kecup tangan Bu Ayu. “Kami merasa bersalah padamu, karena kelalaian kami kamu seperti ini.” Bu Ayu kembali meneteskan air matanya. Kisah itu menjadi kisah yang ingin ia kubur dalam-dalam. Betapa dulu mereka bersalah sudah menitipkan Dwi pada kakeknya, paniknya mereka mengetahui Dwi terkena polio, susahnya mereka mendapat pengobatan hanya karena biaya. Bahkan mereka harus menjual rumah demi terapi Dwi yang mahal.
Benci itu menguap seiring dengan terbukanya luka kedua orang tuanya. Luka yang sampai kapanpun akan meninggalkan bekas. Dan tak dapat dihapus.
Dwi tersentak kala tangan ibunya menyentuh kepalanya. “Sudah, ndak apa-apa. Yang lalu biarlah berlalu. Kita buka lembaran baru. Bukan begitu, Romo?”
“Ya.” Romo melihatnya dengan mata berkaca-kaca, senyum tersungging di bibirnya. Hatinya dipenuhi rasa haru.
“Jadi, Dwi ngajak Ricka ke sini buat dikenalin ke Romo dan ibu?” tanya Bu Ayu merubah suasa canggung.
“Inggih, Bu. Mbak Yanti dan Agung kemana?” ucap Dwi mendongakkan kepala.
“Mbakmu sama suaminya, kan mbakmu sudah nikah sebulan setelah kepergian kamu." Tertegun di tempatnya. Dwi tak sanggup berkata lagi. Ia melewatkan begitu banyak momen di keluarga ini. "Agung lagi di kamarnya. Dia habis latihan karate tadi sore.”
KAMU SEDANG MEMBACA
Till I Reach It [Complete] - Revisi
RomansaDwi berpikir bahwa ia harus mencari pasangan karena usianya yang sudah cukup matang yaitu 32 tahun. Tidak mungkin sampai tua ia akan melajang terus, ada saatnya ia tidak bisa berbuat apa-apa dan ia butuh seseorang yang mau mengurusnya. Ia butuh seor...