TIRI-DUA PULUH SATU

2.1K 155 18
                                    

...
Cinta jangan cuma sekadar ucapan.
Tapi
Buktikan.
...

Dwi masih memikirkan cara-cara untuk membuktikan perasaannya pada Ricka. Ia bingung dari mana ia harus memulainya. Untuk mengalihkan pikirannya yang kacau akibat terus memikirkan langkah apa yang harus diambilnya, ia memutuskan untuk jalan-jalan di sekitar Malioboro. Ia ingat dengan kejadian semalam saat dirinya melihat sebuah ruko perhiasan.

Dwi jalan menuju deretan ruko-ruko perhiasan. Dibacanya satu persatu nama toko perhiasan di sana. Ia masuki salah satu ruko. Mengedarkan pandangannya lalu melihat seorang pelayan perempuan berseragam putih dengan name tag Silvia datang menghampirinya.

"Silakan, Mas. Mau cari perhiasan apa?"

"Cincin, Mbak."

"Cincin buat tunangan atau nikah, Mas?"

"Dua-duanya, Mbak."

"Mau yang seperti apa?"

"Simple saja. Unik dan bisa dikasih nama."

"Three pieces? Atau bagaimana, Mas?"

"Boleh, Mbak Three Pieces."

"Mau gold, silver atau bagaimana Mas?"

"Gold saja kalau ada."

"Sebentar, Mas. Saya carikan dulu. Silakan dilihat-lihat siapa tahu ada yang suka."

"Ya."

Dwi duduk menunggu sembari melihat-lihat perhiasan yang terpajang di etalase. Ada banyak sekali perhiasan di sana namun hanya dua set perhiasan yang menarik hatinya. Ia mendongak begitu sang pelayan kembali dengan tiga set cincin dalam kotaknya masing-masing. Ia ulurkan tangannya, ia ambil satu persatu, diamond dengan seksama lalu dipilihnya satu yang disukainya.

"Saya pilih ini. Tolong dibungkus ya, Mbak. Sama yang ini dan ini." Dwi menunjuk dua set perhiasan yang mencuri perhatiannya.

"Baik. Apa perlu cincinnya diberi nama?"

"Nanti saja kalau memang lamaran saya sudah diterima. Apa bisa?"

"Bisa kok, Mas. Nanti sila bawa kembali ke sini dengan nota pembelian."

Dwi mengangguk paham. Ia menunggu perhiasannya dibungkus. Begitu selesai dibungkus ia bertanya, "Berapa jumlahnya?"

"Totalnya tujuh belas juta lima ratus lima puluh sembilan ribu, Mas."

Dwi mengulurkan kartu debit di saku kemejanya. Ia menunggu kembali kartunya dan struk pembelian.

"Silakan, Mas. Ini kartu dan struknya. Surat-surat perhiasannya ada di dalam."

"Terima kasih."

Dwi meninggalkan toko itu. Ia berjalan menenteng tas perhiasannya. Dengan sedikit cepat, ia menuju kantornya dan segera memasuki ruangannya. Diabaikannya tatapan tteman-temannya yang bingung melihat kelakuannya. Ia henpaskan tubuhnya di kursi kerjanya.

Dengan senyum terkembang, Dwi membuka kembali kotak perhiasan kecil itu. Terdapat tiga cincin di dalamnya. Satu untuk acara pertunangan sedangkan satunya untuk pernikahan dan untuknya satu buah. Ia memang tidak berniat untuk bertunangan dengan Ricka, tapi ia akan memberikan cincin itu untuk melamar Ricka esok.

Dwi bertekat dalam hati. Ia akan ke rumah Ricka untuk melamar Ricka kembali. Setelah ini ia harus segera pulang dan membicarakan ini dengan Mbok Djum dan Pak RT.

Dwi menatap kembali perhiasan di dalam tas. Ada dua set perhiasan lagi. Ia ingat dengan ibu dan kakaknya, ia akan memberikan perhiasan itu untuk mereka.

Selama ini, Aku belum mampu memberikan apapun untuk ibu dan Mbak Yanti. Aku berharap dengan ini, hubunganku dengan keluarga bisa membaik. Aku sadar, ini kesalahanku. Aku salah mengartikan sikap mereka. Aku sayang mereka.

***

Dwi melangkah memasuki rumah dengan perasaan bahagia, sorot matanya berbinar penuh kasih saat mengingat Ricka. Ia berjalan mencari keberadaan Mbok Djum. Ia letakkan tas kerjanya di sofa ruang tengah.

"Mbok...," teriaknya memanggil Mbok Djum.

Mbok Djum datang tergopoh-gopoh mendengar seruan itu. "Ya, Mas. Ada apa?" tanya Mbok Djum yang sudah berada di hadapan Dwi. Ia mengatur napasnya yang sedikit lebih cepat.

"Duduk dulu, Mbok. Aku mau tanya pendapat simbok."

"Pendapat opo toh, mas?"

"Tadi Aku ke toko perhiasan, Mbok. Aku cari cincin untuk Ricka." Dwi berucap dengan nada ceria.

Mbok Djum mengangguk, senyuman terukir di bibir tuanya. Dwi mengambil tasnya. Dibuka lalu diambilnya tiga buah kotak, satu kotak kecil dan dua kotak berukuran sedang. Mbok Djum mengernyit melihat ketiga kotak itu. Jelas terlihat di wajahnya jika ia sedang kebingungan.

Dwi membuka satu kotak cincin yang berukuran kecil. Ia perlihatkan pada Mbok Djum. "Bagaimana, Mbok?" Dwi tidak tahu selera perempuan. Ia berharap Ricka menyukai cincinnya. Kalau Ricka tidak suka ia akan menukarnya. Dan mencari cincin bersama Ricka. Agar Ricka bisa memilih sendiri perhiasan seperti apa yang disukainya.

"Bagus, Mas. Mbok yakin neng Ricka pasti suka."

Dwi tersenyum membalasnya namun ada kekhawatiran di raut wajah itu. Bagaimana kalau Ricka nggak suka? Ia mencoba mengusir pikiran itu. Lalu diambilnya dua kotak berukuran sedang, ia perlihatkan pada Mbok Djum.

Mbok Djum menatapnya dengan penuh kekaguman, perhiasan itu cantik sekali. Saking bagusnya, ia tak mampu berkata-kata. Ia hanya menunjukkan kesukaannya dengan jari jempolnya.

Dwi senang jika ternyata pilihannya dinilai bagus. Senyum terus terukir di bibirnya. Mbok Djum bertanya, "Dua kotak ini untuk siapa mas?"

"Untuk ibu dan Mbak Yanti, Mbok. Aku sadar. Di sini Aku yang salah. Aku selalu saja menyalah artikan sikap mereka." Dwi mengesah. Raut wajah berubah murung. Dadanya berdenyut sakit mengingat keluarganya. Demi egonya ia meninggalkan keluarga. "Aku ingin memperbaiki hubunganku dengan keluarga, Mbok. Aku tidak mau terus-terusan seperti ini." Mata Dwi berkaca-kaca. Ia mengingat tatapan sayang keluarganya saat ia lulus kuliah, walaupun mereka tidak menunjukkan rasa itu dengan sikapnya. Tapi mata tak bisa dibohongi.

"Tapi Aku masih bingung dengan sikap mereka, Mbok."

Mbok Djum merangkul Dwi. Ia usap punggung rapuh itu. "Apa pun alasan mereka. Yakinlah. Itu untuk kebaikanmu. Tidak ada orang tua yang menginginkan anaknya cacat. Tapi cacat juga bukan kesalahan." Dwi mempererat pelukan itu. Ia menangis. Ia membenarkan ucapan Mbok Djum. Ia sadar, introspeksi diri. Dirinya terlalu banyak menuntut di keluarganya.

"Minta maaf, Le. Nggak akan merendahkan harga dirimu. Apalagi dengan orang tua. Bicarakan baik-baik dengan mereka."

"Iya, Mbok. Dwi coba." Dwi melepas pelukan itu. Dihapusnya sisa air mata. Lalu dengan hati penuh tekat, ia akan mencoba memperbaiki semuanya.

...

To be continued

911 Words
Minggu, 07 Januari 2018
03.32 am

Till I Reach It [Complete] - RevisiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang