BAB 4

2.5K 52 3
                                    

“Gue dikasih tawaran sama om-om, katanya Gue harus bikin Vena gak betah di Sekolah.” Ucap Athlas lempeng banget. Iya, dia pasti bilang itu pada Jimmy. Secara Jimmy adalah orang paling enak buat diajak bicara apapun. Makanya Athlas kali ini mampir kerumah Jimmy. Bukan mampir sih, jatuhnya lebih ke sengaja datang.
“Lo tahu siapa nama Om-Om nya?”
Athlas membuka dompetnya. Ia memberikan kartu nama Om-Om yang ia maksud. Ya, Om-Om itu datag kepada Athlas saat hari pertama masuk sekolah. Tapi Athlas baru menceritakannya pada Jimmy hari ini.
“Ini Bokapnya dia. Lo tahu? Vena itu hidupnya selama ini Cuma di rumah itu.” Tunjuk Jimmy pada rumah besar disampingnya. “Cuma Gue yang bisa masuk kerumah itu. Dikomplek ini gak ada yang mau temenan sama dia. Belum lagi Om Aland emang gak gampang percaya sama orang. Gue mau temenan sama Vena awalnya Gue kasihan dia selalu natap anak kecil main dari pagar rumahnya. Saat itu dia abis oprasi dikepalanya. Dia punya trauma berat. Saran Gue, Lo pikirin lagi deh tuh rencana buat nerima tawaran Om Alan.”
“Lo kenapa cerita sama Gue?”
“Gue gak mau Vena nantinya suka sama Lo tapi bokap dia malah ngilangin Lo. Cukup satu orang dimasa kecil dia yang Om Alan hilangin.”

Ø

Bau obat mendominasi ruangan ini. Peralatan medis berada disetiap sudut ruangan yang tertata rapi. Sebuah ingatan selalu saja muncul saat dirinya berada diruangan ini. Rasa sakit yang pernah dialaminya kini teringat kembali.

Seorang dokter sudah duduk berhadapan dengannya. Ibunya selalu mengantar dan memberi dukungan padanya. Sebuah amplop cokelat berisi data hasil lab telah keluar. Hari ini waktunya untuk mengetahui apa yang dideritanya membaik atau sebaiknya.
“Raina, masalah dikepalamu ini benar-benar mengalami kemajuan. Tapi kamu harus hati-hati dengan olahraga yang beresiko tinggi.” Papar sang Dokter.

“Apa maksudnya?. Aku gak boleh olahraga kalo disekolah?. Aku menyukai basket, Mama saja setuju kalo Aku masuk tim basket.” Ucap Vena.

“Bukan tidak boleh. Kamu hati-hati saja. Papa kamu bisa saja menghentikan Kamu sekolah umum.” Ucap Dokter Rey.
“Bisa saya berbicara dulu dengan Mama Kamu?.” Lanjut sang dokter.

Tanpa mengeluarkan sepatah katapun, Vena langsung keluar. Ia sudah muak dengan semua ini. Bolak-balik rumah sakit sudah seperti kebiasaan yang membuatnya bosan. Sekarang Vena hanya bisa menuruti apa yang Papa –nya tegaskan.

“Sebuah jaringan sudah membalut peluru itu.” Ucap sang dokter.
“Apa itu tidak akan membuat Raina terganggu?.”
“Tentu tidak. Namun, lambat-laun sebuah geja akan ia alami. Jika ia sering merasa pusing, lalu ia tidak mengingat orang disekitarnya sampai ia akan lupa siapa dirinya sendiri.”
“Apa yang harus kita lakukan agar Raina bisa kembali seperti dulu?.”
“Operasi pengangkatan peluru itu. Namun kemungkinan untuk berhasil sangat kecil. Dan rumah sakit kami belum bisa menangani hal seperti ini. Sebuah rumah sakit di Singapura bisa menanganinya. Tapi menurut saya, biarkan Raina mencari jati dirinya.”
“Jadi sekarang masih belum perlu operasi?.”
“Belum. Raina baik-baik dengan keadaan seperti ini.”

ØØØ

“Re?. lo ikut basket kan?.” Tanya Vena.
“Kenapa gitu?. Mau masuk juga?.” Balas Rere.
“Emangnya bisa?.” Tanya Vena.
“Bisalah. Nanti Lo ikut Gue kalo mau.”
“Kapan?.”
“Pulang sekolah.”

Vena sedikit bahagia. Sudah lama ia menginginkan hal seperti ini. Masuk di club olahraga kesukaannya. Ia tahu bahwa olahraga ini memang berat untuk dirinya. Tetapi semua terkalahkan, karena ia mengingat apa yang dikatakan sang Papa,”Apa saja, asal kamu bahagia.”

Vena & Athlas ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang