BAB 17

1.2K 31 0
                                    

Hanya dengan satuan waktu, nafas terus berjalan. Melangkah menuju sebuah ruang waktu yang ntah akan seperti apa akhirnya.

Seperti biasa, selepas pulang sekolah Vena harus latihan basket. Jadwal turnamen sudah semakin dekat. Terhitung Minggu ini saja Vena dan kawannya yang lain harus berlatih.

Dentuman bola dengan lapangan mengisi pendengaran dengan jelas. Suara bola yang bersentuhan dengan ring pun menggema.

"Yasss!" Ujar Vena seraya bertosria bersama Rere.

Suara Pluit pun sudah menerobos pendengaran. Mengakhiri latihan sore ini tentunya.

"Hari Sabtu ini, kita tanding babak penyisihan. Jika kita lolos, sudah dipastikan kita langsung menunggu di semifinal." Ujar Coach mereka.

Semuanya mengangguk, paham akan perkataan pelatihnya. Semua bubar dari lapangan, tak terkecuali Vena yang langsung membawa tasnya.

"Vena!" Teriak Rere menghentikan langkah Vena.
"Paan?"

Rere menyusul Vena, "Lo pulang sama siapa?"
"Dijemput Biru." Ujar Vena senang.
"Biasain panggil dia Lucky deh."
"Serah gue lah. Lo mau nanya itu doang?"
Rere hanya mengangguk, lalu ia sedikit tersenyum. Vena membalikkan badannya setelah berpamitan pada Rere.

Vena kembali dengan fokusnya. Ia segera menuju gerbang. Sudah dipastikan Biru sudah menunggunya sejak tadi.

"Sore, Biru." Sapanya ketika sampai dihadapan Biru.
"Kembali sore. Gimana sama latihannya?"
Vena sedikit tersenyum,"Lancar. Hari Minggu Raina ada turnamen. Biru nonton ya?.l"

"Biru nggak bisa janji."
"Pliss." Bujuk Vena menampilkan pupy eyes nya.

"Raina tahukan Biru itu nggak suka berjanji."
"Takut tidak ditepati?"
"Bukan."
"Lalu."
"Takut Raina kecewa kalau Biru sampai tidak memegang janji. Biru gak suka kalo kamu gak nurut sama Papa Kamu."
"Biru mau Raina berhenti main basket?"
Biru tak menjawab. Ia mengambil helm untuk Raina gunakan dan memasangkannya dikepala Raina.

***

"Bunda, kalau Abang suka sama Vena gimana?"

Bunda langsung memegangi kening Athlas. Tak biasanya Athlas seperti ini.

"Kok malah ngecek kening Athlas sih,Bunda?"
"Aneh aja, sejak kapan kamu curhat begini sama Bunda?"
"Ini baru perdana,Bun." Ucap Athlas datar.

Sore ini, Athlas tidak keluar rumah. Sedang malas katanya. Tapi yang lebih tepatnya Athlas menjadi tidak mood untuk keluar rumah.

"Abang mending main sama Lucky deh dari pada curhat gini. Jadi aneh kamunya."
"Yah, Nggak asik ah. Abang mending main PS sendiri daripada main sama kanebo kering cap congcorang mah."

"Abang, anterin Veli!!" Teriak Veli dari tangga lantai dua.

Belum juga sampai, Veli sudah berteriak. Memang itu kebiasaan adiknya. Ya namanya juga adikkan bebas.

"Abang anterin dong."
"Ndak mau." Athlas menenggelamkan wajahnya dalam bantal sofa.
"Bunda, Abangnya nggak nurut. Sumpahin jadi batu dong Bunda." Rengek Veli.

"Heh, jadi Adek nyusahin Mulu Lo." Ucap Athlas sambil melempar bantal kearah Veli.

"Bentar doang kok. Cuman beli buku di mall abis itu ke Starbucks."
"Ngapain ke Starbucks?"
"Ngecengin baristanya lah."

Athlas sedikit terkejut,"Apa?!" Ucapnya setengah membentak.

"Yakali sih, Ya mau jajan lah. Masa iya Veli mau Selfi doang. Nggak banget."

"Anak SMP aja belagu Lo."

"Tapi Abang maukan?"
"Iya. Tunggu bentar."

Athlas kembali kekamarnya membawa kunci motor dan jaketnya. Rencananya sehabis mengantar Veli ia akan berkumpul dengan kawannya. Tak lama Athlas sudah menghampiri Veli yang sudah siap diteras depan.

Jarak Mall dari rumah Athlas tak terlalu jauh. Jadi hanya sepuluh menit saja sudah sampai. Veli buru-buru menyeret Athlas menuju toko Bukunya.

Sedari tadi Athlas hanya mendengus sebal. Mengikuti Veli dari rak satu ke rak lainnya. Ntah apa yang dicari adiknya itu, Athlas nggak tahu sama sekali.

"Bang, ke Timezone aja yu..." Rengek Veli.
"Lo sebenernya kesini mau ke Timezone kan?" Tuduh Athlas.

Veli menyengir lebar. Memang benar apa yang Athlas tuduh tersebut.

"Pliss jangan kasih tahu Bunda. Veli kan mau main,Bang. Temenin..... Pliss."

Athlas mengacak rambut Veli dengan gemas. "Untung Adek gue."

Athlas langsung keluar dari toko buku.
"Jadikan bang?" Tanya Veli kekeuh.
"Iya, tapi jangan lebih dari setengah jam."
"Siap boskuuu." Ucap Veli kegirangan.

Sebenarnya,Athlas harus melarang Veli untuk main. Tapi adiknya sudah selalu membanggakan keluarganya, dan ini layak Veli dapatkan. Bahkan, seharusnya Veli mendapatkan lebih.

Athlas duduk disalah satu bangku, memesan minum dan mengecek handphonenya.

Tidak ada notifikasi seperti yang ia harapkan. Ngapa musti cowok dulu sih yang selalu ngasih kabar. Padahal cuma tinggal chat doang.

Athlas masih asik dengan ponselnya. Meminum teh upet yang ia pesan tanpa melihat sekitar.

"Jodoh bener nih kita." Ucap seorang perempuan yang Athlas tahu suara siapa itu.

Athlas celingukan. Pura pura mendengar sesuatu tanpa adanya orang didepannya saat ini.

"Ih.. Lo kenapa sih? Semenjak Lo dihukum sama si bule itu jarang lihat gue?"
"Lo ngomong sama gue?" Tanya Athlas polos.

"Yaampun Tha. Gue dari tadi ngoceh tuh ya ke elo. Emang ke siapa lagi?"

"Sorry. Gue nggak fokus." Ucap Athlas sembari tetap memperhatikan ponselnya.

"Tha, nonton yuk!" Ajak Nalda dengan semangat.

"Nggak."
"Gue yang bayarin deh."
"Tetep nggak."
"Astatang.... Gua jadi aneh Ama Lo. Pas awal masuk Lo deketin Gua dan sekarang Lo lebih milih sibule itu?"

Athlas menyimpan ponselnya. Menatap Nalda dengan sedikit kesal.

"Nal, udah ya. Dari awal juga Lo yang deketin Gue. Dan iya gue emang suka sama Vena."

***

"Nggak mau dulu pulang pokoknya." Ucap Raina sembari duduk di sofa dengan lucunya.

"Biru harus anter Raina pulang sekarang. Ayolah, nanti Papa kamu marahin Biru lagi."

Vena mengerucutkan bibirnya. Sedari tadi, memang Vena tidak pulang kerumahnya. Ia ingin berkunjung kerumahnya Lucky dengan memaksa tentunya.

"Besok boleh kesini lagi."
"Janji dulu bakal nonton Raina turnamen."
"Raina, kita udah bahas ini ya."
"Kenapa? Masih takut nggak bisa nepatin?"
"Bukan seperti itu."
"Ada ya cowok kayak Lo. Cuma bisa manis dengan kata-katanya dan nggak bisa janji karena takut."
"Raina,,,,"
"Oke Gue pulang. Jangan panggil Gue Raina lagi!"

Vena membawa tasnya, lalu ia segera menuju pintu keluar. Namun, lengannya ditahan oleh Lucky.

"Lepasin."
"Dengerin dulu." Ucap Lucky.
"Nggak,Lo tadi nyuruh Gue pulangkan? Yaudah lepasin." Vena berontak.

Tetap saja Lucky bisa menahan Vena dalam genggamannya. Vena semakin memberontak, meminta dilepaskan. Namun, Lucky memeluknya. Vena tetap brontak, ia memukuli dada Lucky dengan kecewa.

"Pukul saja. Jangan pergi dalam keadaan marah, Raina."

Vena sedikit terisak. Ia menghentikan kegiatannya memukuli dada Lucky. Ia menangis diperlukan Lucky.

Didepan rumah, Teman Lucky seperti biasanya datang. Meskipun malam seperti ini. Dan betapa terkejutnya dengan mereka melihat kejadian didalam rumah itu.

"Bebek beruang monyet kek orang nya anjir." Ucap Jimmy refleks saat melihat Vena dan Lucky sedang berpelukan.

Disisi lain, Athlas yang melihat hal itu langsung keluar tanpa memberikan satu katapun.

"Jim, Athlas pergi." Ucap Zilan disamping Jimmy.

"Lo bedua susulin si Athlas. Gue urus mereka berdua dulu."

Vena & Athlas ✓Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang