Semuanya terdiam mendengar ucapan Siren. Jalina sedikit mengepalkan tangannya menahan gejolak persaannya yang tiba-tiba saja bergemuruh.
"Ya, mungkin kamu akan jatuh cinta. Tapi, bersiaplah untuk sakit hati," kata Jalina dari belakang kuda Raja Steven.
"Sakit hati? Mengapa?" Siren bertanya bingung. Sementara Rina, Angga, dan para pengawal lainnya sedang berusaha untuk tidak menjawab pertanyaan yang sepertinya semua tahu jawabannya.
"Kamu mungkin bisa jatuh cinta tapi, jangan pernah berharap cinta yang sama dari Steven karena ada aku," Jalina dengan tanpa beban menyebut nama Steven tanpa sebutan "Raja" atau sebutan kehormatan lainnya. Sementara Siren hanya tersenyum ketika menyadari kedekatan Raja Steven dan Jalina.
"Begitu, yah. Sakit hati atau tidak itu urusan kedua bukan? Lagipula sakit hati itu...saya sudah terbiasa," kata Siren di balik senyumnya. Dia berbalik dan melanjutkan perjalanan diikuti yang lain. Namun sadar akan posisinya dia kembali ke belakang kuda Raja Steven.
"Kalian tahu buku tentang Putri Staria yang melegenda itu?" tanya Siren.
"Tentu saja. Buku itu ditulis oleh Ratu Larissa, ibu Raja Steven sendiri sebelum beliau meninggal. Buku itu sangat terkenal, siapapun pasti tahu buku itu," jawab Jalina. "Ada apa dengan buku itu?."
"Di akhir buku itu ada sebuah kutipan."
Senyumannya membuat bunga layu menjadi segar. Kesedihannya membuat bunga staria menjadi kering dan layu. Air matanya adalah kesembuhan. Bahagianya adalah matahari dan bintang yang gemerlap indah. Nyanyiannya adalah hujan dan cintanya adalah kehidupan.
"Lantas ada apa dengan kutipan itu?"
"Jika seandainya Putri Staria yang ajaib itu sungguh ada, apa yang akan kalian lakukan?"
Raja Steven menghentikan kudanya, berbalik, dan menatap Siren dengan dingin. "Jika memang ada, maka aku akan mencari dan menangkapanya kemudian memintanya menghidupkan kembali orang tuaku."
Siren terdiam, digengamnya gaunnya dengan erat."Berhentilah berbicara omong kosong dan lakukan saja tugasmu. Aku sudah mulai muak mendengar ocehanmu," lanjut Raja Steven kepada Siren tajam, sementara Siren hanya menatapnya tenang.
"Aku akan keluar istana sebentar," kata Raja Steven dan memacu kudanya diikuti oleh dua orang pengawalnya meninggalkan yang lain.
"Apa aku salah bicara?" tanya Siren. Semuanya hanya mendesah berat.
"Tentu saja. Kamu baru saja menyinggung sebuah buku karya mendiang ibunya. Berhenti menyinggung sesuatu yang berkaitan dengan ibunya atau dia akan membunuhmu," kata Jalina melanjutkan jalannya memasuki istana. Siren hanya mengangguk sambil tersenyum. Namun, ketika ia telah sendiri dalam kamarnya, senyum itu tidak lagi mengembang di bibirnya.
*****
Siren tersentak bangun dari tidurnya. Masih mimpi yang sama. Beberapa hari sejak awal pelatihannya, ia selalu bermimpi hal yang sama. Siren masih termenung ketika Rina mengetuk pintu kamarnya."Hari ini kita akan belajar memasak," kata Rina setelah Siren bersiap-siap. Mereka berjalan ke ruang dapur dan memulai kegiatannya.
"Seperti dugaan saya, Anda pasti pandai memasak," kata Rina ketika melihat Siren dapat menyelesaikan seluruh resep tanpa perlu arahan dari Rina.
"Ini juga bagian dari profesi saya sebelumnya. Ngomong-ngomong, Putri Jalina di mana, bukankah dia yang akan mengajariku?"
"Ah, beliau dan Angga sedang menemani Raja Steven keluar istana, sepertinya ada urusan penting."
"Urusan penting?"
"Ya, rakyat akhir-akhir ini sering mengamuk karena kekurangan air. Padahal hampir seluruh rakyat bahkan Raja sendiri sudah melakukan ritual pemanggil hujan, tapi tetap saja hasilnya nihil. Sementara sihir sama sekali tidak bisa diandalkan."
"Begitu, yah. Raja dan Putri Jalina itu sahabat dari kecil, kan?"
"Ya, benar. Raja Steven, Putri Jalina, serta Angga sejak kecil adalah teman bermain. Mereka tumbuh dan besar bersama-sama. Dulunya, Putri Jalina adalah putri tunggal dari kerajaan Trydar yang menjalin hubungan yang baik dengan Sanhari sebelum akhirnya menyatukan diri sebagai wasiat terakhir Raja Branin."
"Hmm, aku pernah dengar soal itu. Kejadian itu merupakan satu-satunya penyatuan kerajaan tanpa adanya pertumpahan darah. Iya, kan?"
"Yah, soalnya Raja Branin yang merupakan ayah Putri Jalina saat itu merupakan sahabat baik ayah Raja Steven. Nah, Angga sendiri merupakan putra dari penasihat terpercaya Raja. Tidak heran ketiganya menjadi sahabat yang dekat. Tapi semenjak Ratu Larissa meninggal dunia, Raja Steven menjadi orang yang berbeda. Bahkan di usianya yang masih 13 tahun, beliau sanggup membantai satu kerajaan penuh untuk membalaskan kematian ibunya. Tak heran, sih. Raja Steven memang sejak kecil telah pandai dalam ilmu sihir bahkan yang sulit sekalipun."
"Begitu, yah." Siren menunduk menatap adonan yang dikerjakannya sambil berbicara. Ia teringat mimpi yang terus saja muncul dalam tidurnya.
"Karena perubahan Raja Steven, hubungan ketiganya jadi sedikit merenggang juga. Yah, walaupun sama sekali tidak mengurangi kepercayaan di antara mereka. Putri Jalina maupun Angga tetap setia mendampingi Raja," lanjut Rina dan di balas dengan senyum oleh Siren.
"Sepertinya, aku mengerti sekarang mengapa semua orang begitu yakin akan cintaku yang pastinya tidak akan terbalas."
"Eh? Kalau soal itu...?" Rina memerlihatkan raut wajah bingung. Namun, akhirnya berkata, "Sebenarnya masalahnya bukan di situ, kok Tuan Putri. Hanya saja rasanya tidak mungkin Anda akan jatuh cinta pada Raja Steven."
"Mengapa? Karena dia Raja yang dingin dan kejam?" tanya Siren tersenyum. Rina mengangguk menjawab pertanyaan Siren.
"Iya juga, sih. Tapi, kemungkinan jatuh cinta akan tetap ada, sekecil apa pun itu," kata Siren, kemudian melanjutkan pekerjaannya, sementara Rina hanya memandanginya dengan raut wajah bingung. Begitu sulitnya mengetahui jalan pikiran Putri yang dilayaninya itu, bahkan dengan sihir sekalipun.
"Oh, iya. Terima kasih, Rina."
"Terima kasih? Untuk apa?"
"Untuk ketulusanmu padaku. Karena terlalu memperlakukanku dengan baik," ucap Siren. Rina semakin kebingungan.
"Eh? Anda terlalu berlebihan, saya hanya menjalankan tugas."
*****
Angga sedang berdiri di samping Raja Steven yang tengah memandangi rakyatnya dari kejauhan, sedangkan Jalina sedang sibuk dengan urusannya sendiri bersama pelayan-pelayannya.
"Bagaimana dia?" tanya Raja Steven kepada Angga.
"Dia? Ooh, maksudnya Putri Siren?"
"Ya"
"Seperti biasa, dia mampu menyelesakan pelatihannya dengan baik tanpa bantuan sama sekali. Sangat menakjubkan untuk ukuran orang yang tidak memiliki sihir. Saya rasa Anda tidak salah pilih," jawab Angga.
"Begitu, yah."
"Selain itu, dia juga selalu tersenyum. Bahkan dengan kata-kata kasar dari Anda dan Jalina serta perlakuan bebeda dari para pelayan sama sekali tidak meruntuhkan keceriannya. Sama sekali tidak memiliki beban," Angga menjelaskan sambil tersenyum. Sementara Raja Steven masih dengan wajah datarnya dan pandangannya yang menerawang jauh.
"Benarkah? Yang kulihat, mata itu selalu memancarkan tatapan penuh luka," kata Raja Steven membuat Angga hanya memandanginya bingung.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rain and The King of Sanhari
FantasyPutri Siren yang dikatakan sama sekali tidak bisa menggunakan sihir dinikahkan oleh Raja Hilton, ayahnya dengan Raja Steven yang terkenal kejam dari kerajaan Sanhari. Namun, Siren melihat kenyataan yang berbeda di Kerajaan Sanhari di mana kerajaan...