Luka yang Terungkap

7.7K 643 4
                                    

Raja Steven mengangkat tubuh Siren dari atas kuda dengan perlahan. Dayang serta pengawal yang menyambut mereka cukup terkejut. Sementara Siren masih diam mengikuti Raja Steven ke dalam istana. Ada hal yang ingin ditanyakannya,  namun lidahnya seketika menjadi kelu seiiring jantungnya yang berdegup kencang.

"Istirahatlah," ujar Raja Steven meninggalkan Siren di depan kamarnya. Sekilas Siren melihat luka di punggung tangan Raja Steven dan bermaksud unuk menahannya. Akan tetapi tangannya tidak sempat menggapai Raja Steven yang telah menghilang di hadapannya.

"Aku bahkan belum mengucapkan terima kasih," gumam Siren kemudian masuk ke dalam kamarnya. Sesaat di pandanginya tangannya yang tidak gemetar lagi. Bibirnya menguas senyum dsngan wajah yang ditelungkupkan di atas bantal.

                        ******

Jalina mengaduk teh yang baru saja diseduh kemudian membawanya ke kamar Raja Steven. Langkahnya berhenti di depan pintu ketika ia mendengar suara Angga dari dalam kamar sedang membicarakan sesuatu dengan Raja Steven. Jalina membelalak ketika mendengar sebuah kalimat yang sangat mengejutkan. Namun, ia berusaha menormalkan raut wajahnya dan mengetuk pintu dengan pelan. Tak berapa lama pintu kamar telah terbuka dengan sendirinya.

"Letakkan saja di meja!" perintah Raja Steven. Jalina meletakkan tehnya di meja kemudian menatap Raja Steven yang sedang duduk di atas tempat tidurnya. Raja Steven terlihat sedang membaca sebuah buku di tangannya. Tulisan Ibunya.

"Steven, aku...," kalimat Jalina terhenti saat dilihatnya Steven sama sekali tidak menghiraukannya. Jalina mengalihkan pandangannya ke arah Angga yang juga diam saja sejak kedatangannya. Jalina mendesah berat. Ia menunduk mempermainkan jarinya.

"Kalian berdua keluarlah! Aku ingin tidur," kata Raja Steven dan mulai berbaring. Badannya dimiringkan membelakangi Angga dan Jalina.

"Baiklah. Selamat tidur,  Yang Mulia," Angga memberi hormat dan meninggalkan ruangan diikuti Jalina.

"Angga aku...," Jalina kembali ingin berucap namun tertahan karena Angga langsung memotong ucapannya.

"Jika Putri merasa bersalah tentang kejadian tadi sore, jangan katakan padaku. Katakan langsung pada Yang Mulia. Tapi ketahuilah bukan hanya kamu yang takut padanya ketika dia berubah menjadi seperti monster. Semua orang takut melihatnya seperti itu. Semua orang, kecuali satu gadis, " kata Angga lalu meninggalkan Jalina yang kini berdiri mematung dengan kepala yang masih menunduk. Disembunyikannya pipinya yang basah karena air mata yang mulai menggenang.

"Putri Jalina kenapa?" tanya Siren mengagetkan Jalina yang langsung buru-buru mengusap air matanya. Jalina tidak langsung menjawab Siren ketika dilihatnya tangan Siren memegang sebuah buku.

"Oh,  saya suka membaca tulisan Ratu Larissa. Buku ini saya pinjam di perpustakaan istana," kata Siren berbohong mengerti maksud tatapan Jalina.

"Aku tidak apa-apa. Kamu belum tidur?"

"Eh, saya sedang tidak bisa tidur."

"Ngomong-ngomong, apa kamu tahu mengapa tulisan Ratu Larissa sangat disukai banyak orang?"

"Karena tulisannya bagus?"

"Itu memang salah satunya. Tapi setiap bukunya terkenal karena tulisannya selalu mengandung ramalan."

"Oooh....mengenai itu saya sudah tahu, Putri."

"Aku akan tidur sekarang, kamu juga tidurlah. Ada yang ingin kubicarakan denganmu besok," Jalina berbalik dan masuk ke dalam kamarnya. Sementara Siren melangkah keluar menuju taman istana setelah membungkuk. Namun,  begitu tiba disana ia dikejutkan dengan kehadiran Raja Steven yang tengah duduk di kursi taman. Pandangannya kosong menatap hamparan bunga staria di depannya. Siren mendekat kemudian berdehem kecil.

The Rain and The King of SanhariTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang