Siren membuka matanya perlahan dan mendapati dirinya sedang terbaring di atas tempat tidurnya. Cahaya matahari pagi masih remang-remang menembus jendela kamarnya. Siren mengerjap, merasa ada beban di atas perutnya, Siren segera bangun dan menoleh ke sampingnya. Ia sedikit terkejut melihat Raja Steven sedang tertidur di sampingnya dengan tangan kanan yang memeluk pinggangnya. Merasa posisinya aneh, Siren buru-buru memindahkan tangan Raja Steven dan mengambil posisi duduk dengan debaran jantungnya yang mulai tidak beraturan. Gerakan Siren membuat Raja Steven terbangun dari tidurnya. Matanya masih berwarna merah tua seperti kemarin. Ia menguap dengan sisa-sisa kantuknya, kemudian menatap Siren yang tengah memandanginya dengan raut wajah penuh kebingungan.
“Apa kau sudah merasa lebih baik?” tanya Raja Steven ikut duduk. Dengan lembut, Raja Steven membelai rambut Siren yang sedikit berantakan sehingga Siren hanya dapat menjawab pertanyaanya dengan anggukan. Ia menunduk, tak berani menatap Raja Steven kala gugup mulai menguasainya.
“Apa kau kaget melihat mataku?” tebak Raja Steven dan sekali lagi dibalas dengan anggukan oleh Siren.
“Warna mataku akan berubah ketika aku menggunakan sihir yang tersembunyi dalam diriku,” lanjut Raja Steven.
“Anda tidak pernah menggunakannya sebelumnya.”
“Ya. Sihir ini hanya muncul ketika aku dikuasai kemarahan yang amat sangat. Karena itulah aku bisa mengancurkan sebuah kerajaan dulu ketika aku masih kecil. Aku menggunakannya untuk situasi yang penting. Mataku akan kembali dengan sendirinya nanti.”
“Situasi yang penting? Oh, iya juga ya. Saya belum melakukan tugas saya terhadap Ratu Larissa,” Siren masih menunduk dengan senyum kecil yang dipaksakan. Ada rasa sakit yang kembali mengganjal di hatinya.
“Apa kau berpikir bahwa aku menyelamatkanmu karena kau belum menghidupkan ibuku?” tanya Raja Steven dengan mata merahnya.
“Apakah ada alasan lain, Yang Mulia? Sesungguhnya saya sudah siap mati kapan saja untuk Ibu Anda, tapi terus terang saya sangat takut ketika memikirkan akan mati di tangan penyihir mengerikan seperti Cloiry,” kata Siren tidak dapat menyembunyikan ketakutannya. Ekspresi tenangnya seketika berubah menunjukkan bahwa dia masih seorang gadis biasa yang butuh perlindungan.
“Hahaha...,” Raja Steven tertawa membuat Siren terpana. Untuk pertama kalinya Ia melihat Raja Steven tertawa. Semua ekspresi dinginnya sirna oleh tawanya. Namun, sadar bahwa Siren memandanginya, membuat Raja Steven mengganti tawanya dengan senyuman hangat, kemudian berubah lagi menjadi serius.
“Aku khawatir....Untuk pertama kalinya setelah sekian lama, aku mengkhawatirkan seseorang,” ujar Raja Steven balas memandangi Siren dengan manik mata merahnya. Seketika wajah Siren memerah karena tersipu.
“Mungkin karena kau sama sekali tidak bisa menggunakan sihir,” tambah Raja Steven lagi memberi nada cuek pada perkataannya sambil berdiri, meninggalkan Siren yang masih terdiam dengan detak jantungnya yang semakin tidak teratur. Siren memiringkan kepalanya bingung atas sikap Raja Steven yang kembali seperti semula.
Sementara itu, diluar kamar Raja Steven berpapasan dengan Rina yang baru saja bermaksud untuk membangunkan keduanya.
“Selamat pagi, Yang Mulia. Bagaimana keadaan Anda dan Tuan Putri?” sapa Rina sekaligus bertanya.
“Rawat dia baik-baik dan obati luka di kakinya. Katakan pada Jalina untuk tidak mengganggunya dengan memberinya pekerjaan!” perintah Raja Steven.
“Baik, Yang Mulia,” jawab Rina menundukkan kepalanya. Raja Steven meneruskan langkahnya kemudian menghilang dibalik pintu ruangannya.
Rina masuk ke dalam kamar Siren setelah mengetuk sambil membawa sekotak perlengkapan obat-obatan. Siren yang baru saja mandi dan berpakaian berkerut dahi melihatnya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Rain and The King of Sanhari
FantasyPutri Siren yang dikatakan sama sekali tidak bisa menggunakan sihir dinikahkan oleh Raja Hilton, ayahnya dengan Raja Steven yang terkenal kejam dari kerajaan Sanhari. Namun, Siren melihat kenyataan yang berbeda di Kerajaan Sanhari di mana kerajaan...