20 : Letting Go

1K 118 41
                                    

Maafin aku. terlalu lama menunggu ya?

--Tomorrow Will Come--

"Park Mini! Jangan berlari lagi! Hentikan!"

Teriakan Jian di lorong membuat langkah Jimin terhenti. Begitu pula dengan Somi yang sedari tadi melangkahkan kaki selebar mungkin agar bisa meraih Jimin.

Jian mendekati Jimin dengan memasang wajah garang. "Kau mengganggu pasien lain, kau tahu?"

Jimin berdecak kesal sambil mengacak rambut. "Kak Somi yang menyebalkan. Dia menyuruhku minum obat disaat yang tidak tepat." Jimin menunjuk-nunjuk Somi. Somi ingin sekali mengangkat tangan dan melemparkan pukulan pada Jimin, tapi ia tentu harus menahan diri di depan Jian.

"Mini! Tidak sopan bicara begitu!" Jian sedikit membentak, membuat bibir Jimin mengerucut sebal.

"Berikan obatnya padaku dan kau bisa kembali pada tugasmu yang lain, Somi. Biar aku yang mengurus anak ini." Somi memberikan wadah plastik berisi obat Jimin pada Jian. Jian memegang tangan adiknya dengan kuat dan menarik Jimin menuju kamar. Jimin berontak, tapi tenaga Jian jauh lebih kuat.

Saat sudah masuk ke dalam kamar rawat, Jian menutup pintu dan menguncinya. Ia sedikit mendorong tubuh Jimin agar duduk di atas kasur

"Apa maumu, Park Jimin?" Jian melipat tangan di depan dada. Suaranya terdengar sangat rendah, tapi sangat tegas. Jimin berdeham kikuk. Matanya mengarah ke lain arah, tidak berani menatap sang kakak.

"Mini? Tidak punya telinga? Kenapa tidak jawab?" Jian kembali menyikut hati Jimin. Jimin memang keras kepala. Bagaimanapun Jian marah, tetap saja ia mengulangi kenakalannya. Namun, Jimin tidak akan berani menantang jika Jian benar-benar sedang marah.

Jian mengembuskan napas. Meredam amarahnya yang tadi sempat memenuhi hatinya. Hampir mengucap berbagai kata-kata tidak baik jika ia tidak menahan diri. Jian meraih tangan Jimin dan menggenggamnya. "Mini ..." suara Jian melembut. "Lihat aku, sayang."

Suara Jian yang menenangkan membuat Jimin berani mengangkat wajahnya.

"Kau tahu aku menyayangimu?"

Jimin mengangguk, menjawab pertanyaan Jian itu. "Aku pun sama, Mini. Bahkan aku menyayangimu lebih dari apapun."

Jimin menelan ludah dengan susah payah. Ia tahu jika sang kakak sangat sayang padanya, karena Jimin pun begitu.

"Aku ingin melindungimu. Aku juga ingin kau melindungi dirimu sendiri, Mini. Aku tidak ingin kau mengabaikan pengobatanmu. Pengobatan ini untuk kebaikanmu, agar kau bisa beraktivitas seperti biasa. Kau bisa melakukan apapun yang kau ingin lakukan. Melihatmu bahagia karena bisa melakukan hal-hal menyenangkan sudah cukup membuatku bertahan dan senang. Apakah itu terdengar sulit untukmu?"

Jimin terhenyak. Jian selalu mengajaknya bicara seserius ini setiap kali Jimin sulit dikendalikan. Jian juga selalu berhasil membuat Jimin merasa bersalah. Persis seperti saat ini. Rasa bersalah memenuhi hati Jimin setiap kali Jian menyampaikan isi hatinya.

"Aku meminta bantuanmu. Hargailah tubuhmu sendiri, sayangku. Kau bisa memahami apa yang disampaikan Dokter Song kan? Obat ini harus kau habiskan, rutin selama seminggu. Setelahnya, kau bisa bebas dari obat. Kau hanya perlu menjaga kondisi tubuhmu agar tidak terlalu lelah."

Jimin mengambil wadah obat yang Jian pegang. Kemudian, ia beranjak dari kasur untuk mengambil segelas dari di dekat dispenser. Ia kembali duduk menghadap Jian, menatap kakaknya sejenak sebelum akhirnya menenggak beberapa butir obat dengan dorongan beberapa teguk air.

"Sudah kuminum." Tutur Jimin sambil menyeka mulut dengan pinggir ujung lengan baju. Jian menyentil kening Jimin yang menimbulkan ringisan serta tatapan protes.

"Ada tisu kan di sana?" ujar Jian sambil menunjuk ke arah tisu di atas meja di sebelah ranjang. Ia menyindir Jimin yang berperilaku tidak steril dengan menggunakan ujung baju untuk menyeka mulut. Namun kegeraman Jian berubah menjadi perasaan lega setelah melihat sang adik meminum obatnya dengan baik.

"Aku menyayangimu." Jian mengusap pipi Jimin.

"Aku juga menyayangimu, Kak. Makanya, jangan marah-marah padaku lagi. Kau tidak lelah memarahiku terus? Jika kau terlalu sering memarahiku, kau bisa tua lebih cepat. Coba lihat kulit di bawah matamu itu. Sudah mulai keriput." Jimin menunjuk pipi sang kakak, lalu menggeleng pelan.

Jian mengangkat alis sambil membulatkan mata. Berlagak seolah terkejut. "Benarkah? Sudah separah itu ya? Aduh, aku memang tidak punya waktu untuk perawatan."

"Ini tidak bisa dibiarkan, Kak. Kau harus meluangkan waktu untuk melakukan perawatan. Jika tidak, kau akan jadi dokter keriput dan perawan tua." Jimin tertawa saat menyelesaikan kalimatnya. Sementara Jian menggigit bibir, kesal dengan ledekan sang adik. Ia menepuk pelan pipi Jimin sambil tersenyum gemas.

"Dasar, tidak sopan." Ujarnya.

***

Pernikahan Jian dan Yoongi seharusnya menjadi awal mula kebahagiaan baru bagi dua insan itu. Namun, tidak ada yang bisa mengetahui apa yang alam berikan pada manusia. Yoongi dan Jian harus kembali berpacu dengan rasa gelisah saat menunggu di depan ruang ICU. Sudah sehari semalam, Jimin berada di dalamnya.

Jian tidak mengenakan pakaian dokternya hari itu karena masih dalam masa cuti. Yoongi pun berada di sana, setia menemani istrinya yang kalang kabut karena kondisi sang adik.

"Jian, tenanglah. Semua akan baik-baik saja." Yoongi berulang kali mengucapkan kalimat itu. Namun Jian sudah sangat kebal dan tidak lagi mampu menerima perkataan tersebut. Ia tetap saja gelisah. Bersikap sepertii orang yang tidak tahu harus berbuat apa.

"Semua baik-baik saja, tapi kenapa Jimin belum sadar juga, Yoongi?" tanya Jian penuh dengan kekhawatiran. Beberapa menit kemudian, Dokter Song datang dengan rombongan perawat.

"Jian, bicara sebentar denganku?"

Jian mengangguk dan mengikuti Dokter Song. Mereka bercakap tidak jauh dari ruang ICU, tapi Yoongi memilih untuk menunggu di depan ruangan meski ia tak melepas pandangan sedikitpun dari istrinya. Yoongi bisa membaca apa yang disampaikan Dokter Song pasti bukanlah kabar yang baik, karena setelah kembali dari perbincangan itu, wajah Jian semakin muram.

"Jian, apa yang dikatakan oleh dokter?" tanya Yoongi. Jian mendongak, menatap suaminya dengan mata berkaca-kaca.

"Harus operasi." Jian tercekat. Yoongi langsung menarik Jian dalam pelukannya. Tangis Jian pecah dan Yoongi hanya bisa mengusap punggung Jian untuk menenangkannya.

"Lepaskah aku dan berbahagialah, Kak."

Kata-kata itu terngiang di kepala Jian. Kata-kata yang Jimin ucapkan untukmengubah jalan pikiran sang kakak.

"Aku tidak siap untuk melepaskan Jimin, Yoongi." Isakan Jian semakin menjadi dan Yoongi tetap setia merapalkan kalimat penenang.

"Shh ... Tidak akan ada yang melepas atau dilepaskan. Jimin tidak akan kemana-mana." Hati Yoongi sama kacaunya dengan Jian saat mengatakan hal itu. Namun ia tidak memiliki pilihan. Ia harus menjadi yang paling kuat untuk menopang tanggung jawabnya sebagai seseorang yang diandalkan dalam keluarga barunya ini.

"Jimin .... akan tetap bersama kita." Ujar Yoongi dengan suara bergetar.

To be continued

--Tomorrow Will Come--

Re-publish : 060319 (06.15 pm)

Repost

30 Mei 2020

(09.37 pm)

Tomorrow Will ComeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang