08 : Worry

661 76 14
                                    

Yuhuu~

--Tomorrow Will Come--

Baru selesai mengecek tiga papan catatan medis pasien, Jian sudah menghela napas panjang. Ia melempar pelan pulpen yang ia pegang ke atas meja, lalu dengan kasar menggaruk kepalanya yang tidak gatal, hingga membuat rambut yang tadinya terkuncir rapi menjadi berantakan.

"Room service~" seseorang masuk tanpa permisi ke ruangan Jian. Ia mengangkat dua lunchbox dan memamerkannya pada Jian.
"Lupa cara mengetuk pintu, Kim Namjoon?"

“Ingin buat kejutan." Sahut Namjoon santai sambil terkekeh.

"Aku belum melihatmu di kantin sedari tadi dan kupikir kau belum makan siang. Aku juga sudah tanya pada Somi atau Miri apakah mereka sudah melihatmu makan atau belum." Ujar Namjoon sambil menyiapkan lunchbox yang ia bawa, satu untuknya dan satu untuk Jian.

"Ayo, makan." Namjoon menyodorkan sendok plastik.

"Tidakkah kau merasa perlu untuk bertanya apakah aku lapar atau tidak?" Tanya Jian pada Namjoon yang sudah sibuk melahap makanannya.

Namjoon menggeleng sambil menikmati setiap kunyahan. "Kau akan menyuruhku membiarkanmu tidak makan seharian." Balas Namjoon disela-sela kunyahannya. Jian memelototi Namjoon, berniat membalas ocehan Namjoon, namun jari telunjuk Namjoon sudah lebih dulu mendarat di bibir Jian.

"Shh .... berhentilah menghabiskan energimu untuk berdebat dan biarkan aku makan dengan damai, Park Jian." 

Jian mengembuskan napas kesal. Ia pun mulai menyendok makanan dan memasukkan ke mulutnya.

"Bagaimana hasil check-up Jimin?" Tanya Namjoon.

"Paru-parunya mulai membaik. Tapi, harus tetap waspada kalau saja cairan memenuhi paru-parunya lagi." jawab Jian sambil giat mengunyah. Namjoon mengangguk mengerti. 

"Sepertinya aku harus bicara dengan wali kelas Jimin untuk tidak membiarkannya mengikuti terlalu banyak kegiatan di sekolah. Mungkin aku akan datang sekolahnya besok untuk memberikan hasil pemeriksaan dan surat keterangan sakit agar guru-guru paham kondisi Jimin. Jadi, mereka tidak bisa seenaknya menyuruh Jimin untuk melakukan kegiatan berat di sekolah. Aku mungkin akan mengantar-jemput Jimin, tidak akan membiarkannya jalan kaki sendirian kemana pun. Mungkin sesekali, aku akan meminta bantuanmu untuk menjemputnya kalau aku benar-benar sibuk. Aku juga akan membatasi jam bermain Jimin karena Jimin butuh isti—"

"Park Jian ..."

Namjoon memotong ocehan Jian. "Tidakkah kau berpikir jika rasa khawatirmu bisa membuat Jimin merasa terkekang?" Jian terdiam sejenak mendengar pertanyaan Namjoon, lalu menggeleng pelan.

"Kau tidak mengerti, Namjoon."
"Kau yang tidak mengerti." 

Jian menatap Namjoon serius, begitu pula Namjoon yang menatap Jian lebih tajam. "Rasa khawatirmu kau tunjukkan dengan cara yang berlebihan. Aku tahu, kau mencintai Jimin lebih dari apapun dan siapapun di dunia ini. Tapi, kau tidak perlu mengikat Jimin terlalu kuat. Dia punya dunia juga. Dia punya hal yang dia senangi. Kau memang perlu menjaganya, tapi tidak perlu mengurungnya. Apa kau pikir Jimin menikmati hari-hari dengan rasa cemasmu? Apa kau pikir Jimin senang melihatmu yang menganggapnya seperti pasien tak berdaya yang tidak bisa melakukan apa-apa?"

Jian tertegun. Yang dikatakan Namjoon menancap tepat di hatinya. Jian terlalu menyayangi Jimin hingga ia lupa bahwa Jimin memiliki cara pandang terhadap hidupnya sendiri. Jimin masih remaja. Ia pasti ingin ruang gerak yang lebih luas untuk mengembangkan dirinya.

Jian tertunduk sambil menghela napas kasar. Namjoon mengetukkan telunjuknya di bagian atas kepala Jian beberapa kali hingga Jian mendongakkan kepalanya.

"Sudahlah. Jimin pasti bisa menjaga dirinya sendiri. Sesekali dia memang nakal. Tapi aku yakin, Jimin sadar batas kemampuannya. Jimin hanya tidak ingin kebebasannya harus terenggut karena sebuah keadaaan yang tidak pernah dia inginkan. Lagipula, Jimin adalah orang yang kuat. Kau mencintainya, jadi berikan dia kebahagiaan, bukan dengan perlindungan berlebihan seperti itu." Ujar Namjoon sambil tersenyum lebar, memamerkan lesung pipi manisnya pada Jian hingga Jian tersugesti untuk ikut menarik sudut bibirnya, meski hanya sedikit. Nasihat Namjoon sedikit melegakan, namun Jian masih merasa gelisah.

"Akhir-akhir ini Jimin bersikap dingin padaku. Apakah dia mulai ...." Jian menggigit bibirnya. "... .ingin berontak?" 

Namjoon mengedikkan bahu. "Eum, mungkin saja, atau Jimin hanya sedang ingin sendiri? Remaja seumuran Jimin memang memiliki emosi yang labil. Sesekali, kau harus memahami psikis remaja."

Perkataan Namjoon membuat Jian merasa bersalah karena selama ini ia tak pernah mencoba mengerti perasaan Jimin. Ia tidak pernah bertanya apa yang Jimin inginkan. Ia hanya selalu ingin Jimin mengerti keadaannya, sebagai seorang dokter yang tidak bisa selalu punya waktu luang untuk adiknya. Ia selalu ingin Jimin mengerti bahwa Jian mengkhawatirkannya.

"Apa yang harus aku lakukan sekarang? Aku takut Jimin jadi membenciku. Aku takut sekali. Aku tidak ingin dia pergi dariku."

Namjoon malah terkekeh melihat wajah risau Jian yang menurutnya menggemaskan. Hal itu membuat Jian mengernyit heran bercampur kesal. Jian tidak mengerti bagaimana bisa Namjoon tertawa saat dirinya sedang kebingungan.

"Sudah kukatakan padamu. Jimin memerlukan kasih sayangmu, tidak berupa perlindungan berlebihan. Dia mungkin perlu berlibur. Jalan-jalan ke museum atau sekadar mengajaknya makan di luar mungkin bisa membuat hatinya melembut dan menghangatkan sikapnya lagi. Tawarkan dia sesuatu yang sedang dia inginkan. Kau tahu, remaja seusia Jimin itu sebenarnya tidak sulit untuk dibujuk.”

“Begitukah?”

“Ya. Kau juga bisa mengungkapkan rasa pedulimu dengan menghadiri undangan pentas di sekolahnya. Sesekali, luangkan waktumu untuk menyaksikan Jimin berkegiatan di sekolah. Selama ini, kau selalu meminta Jimin untuk menelepon bibimu kalau ada pertemuan orang tua, sedangkan kau tak pernah bertanya apakah Jimin betul-betul menelepon bibimu atau tidak, ya kan?"

Benar juga, pikir Jian. Ia memang jarang sekali bertanya pada Jimin tentang banyak hal. Ia hanya bersikap seperti sipir penjara bagi Jimin. Hanya dengan ucapan saja tidak cukup untuk membuat Jimin merasa diperhatikan.

Setelah berpikir sejenak, Jian mengangguk mantap, lalu menatap Namjoon dengan penuh semangat. "Aku akan mencobanya." Ujarnya.

Senyum Namjoon merekah, membuat lesung pipinya terpamerkan kembali. Ia mengelus lembut kepala Jian, membuat Jian sedikit terlonjak. Terkejut dengan perlakuan Namjoon yang sebenarnya sudah sering Namjoon lakukan. Namun entah mengapa, Jian selalu berdegup setiap menerima perlakuan Namjoon. Tak bisa ia pungkiri, hati gelisahnya selalu menjadi lebih tenang setiap kali mendengar ucapan nasihat dari mulut Namjoon.

"Lihat. Makananku sudah habis. Cepat habiskan makananmu. Pekerjaanmu masih banyak." Namjoon menunjuk pada tumpukan papan catatan medis pasien yang masih menggunung di meja Jian. Jian hanya terkekeh pelan sambil menggeleng, lalu melanjutkan menyantap makan siangnya.

To be continued

--Tomorrow Will Come--

Hei, ini aku akan memisahkan chapter yang terlalu panjang. Sepertinya, Tomorrow Will Come akan evolving, bisa jadi konfliknya nambah or cuma beberapa momen yang nambah.
Mari kita lihat dan nikmati saja~

Love
Wella

Repost
4 Mei 2020

Tomorrow Will ComeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang