02 : Happening

1.3K 145 21
                                    


--Tomorrow Will Come--

"Dokter Park Jian?" Seseorang membuyarkan lamunan Jian dengan menempelkan sekaleng kopi hangat di pipi. Jian sempat terlonjak, lalu tersenyum tipis sambil menerima kopi yang disodorkan padanya.

"Apa kau sedang memikirkan jodohmu yang tak kunjung datang, hah?" tanya orang itu sambil memposisikan diri di samping Jian yang masih kosong. Jian hanya menjawab dengan kekehan kecil.

Orang itu membuka kaleng kopi, lalu menenggak satu teguk. "Itu salahmu sendiri, Jian. Kau menolak perjodohanmu dengan Presdir Perusahaan besar itu. Sekarang kau menyesal, bukan?"

Jian menggeleng. "Bukan itu yang sedang kupikirkan, Kim Namjoon. Aku juga tidak menyesal karena tidak menikah dengan orang kaya itu, Kau pikir aku menyesal dan depresi karena tidak bisa menjadi istri orang kaya hah?" Jian melemparkan tatapan kesal pada teman sejawatnya. Namjoon terkekeh ringan. Ia tentu sangat mengerti bahwa Jian tidak memikirkan tentang 'jodoh'. Namjoon hanya ingin meledek Jian saja. "Jadi, apa yang kau pikirkan?"

Jian menghela napas. Pandangannya lurus ke depan. Memandangi beberapa staf yang sedang istirahat sambil bermain basket.

"Aku hanya memikirkan adikku." Gumam Jian.

"Bukankah kesehatan adikmu sudah lebih baik daripada sebelumnya?" tanya Namjoon setelah menyeruput kopinya.

"Memang iya. Tapi—"

"Terkadang kau terlalu berlebihan ketika mengkhawatirkan adikmu. Kau overprotective padanya, Jian." Potong Namjoon.

"Aku tidak overprotective, Namjoon-ah." Jian meninggikan suaranya, lalu menghela kasar. "Aku hanya... aku tidak ingin adikku terluka lagi."

"Bagaimana dengan ibumu?" tanya Namjoon.

"Entahlah. Aku tidak ingin memikirkannya lagi. Yang akan aku pikirkan hanyalah kehidupanku dan adikku. Aku sudah cukup bahagia hidup berdua dengannya."

"Tapi bagaimanapun, Bibi Yeonha adalah ibu kandungmu. Kau dan adikmu masih membutuhkannya. "

Jian tersenyum remeh. "Membutuhkan kami? Kurasa kau sudah dicuci otak oleh ibuku ya, Kim Namjoon? Jujur padaku, dia mendatangimu lagi kemarin? Apa yang dia lakukan? Berlutut dan menangis-nangis memohon padamu untuk membujukku?"

Namjoon hanya mengedikkan bahu. Memang ibu Jian, Yeonha, beberapa kali mendatangi Namjoon. Memohon, meminta bantuan Namjoon untuk membujuk Jian agar memaafkannya. Namun, Jian adalah si keras kepala yang ditempa oleh kehidupan untuk menjadi sekeras baja. Kesalahan sang ibu sudah membuatnya benci. Benar-benar benci.

Pertanyaan yang Namjoon ajukan bukan semata-mata membela Yeonha. Hanya sebuah pengingat kepada seorang teman, bahwa seberapa besar kesalahan seorang ibu, ia tetaplah ibu. Namjoon hanya ingin mengingatkan hal itu pada Jian. Namun, Jian menanggapi dengan cara pikir yang berbeda dan Namjoon tak bisa berkata banyak.

Tak lama, ponsel Namjoon bergetar. Ada pesan.

"Aku harus kembali ke dalam. Ada pasien gawat darurat yang membutuhkanku." Namjoon beranjak, lalu menepuk pelan bahu Jian yang dibalas dengan anggukan.

Setelah puas menghirup udara di luar rumah sakit, Jian pun memutuskan untuk kembali berkutat dengan aroma disinfektan dan obat-obatan lainnya yang merupakan ciri khas rumah sakit. Jian menghampiri resepsionis untuk bertanya pada perawat yang berjaga apakah ada pasien yang harus diperiksa. Tiba-tiba, seorang perawat berlari kecil mendekati Jian.

"Kenapa kau tampak terburu-buru seperti itu, Somi?" Jian memandangi Somi yang masih terengah.

"Jimin..." satu kata dari mulut Somi itu membuat Jian membelalak dan langsung berlari ke ruang UGD.

Sesampainya di UGD, Jian langsung disambut oleh seorang gadis.

"Kakak..." Suara gadis itu parau, seperti habis menangis. Jian memeluk gadis itu untuk menenangkan. Kemudian ia menoleh pada Jimin yang sudah terbaring dengan masker oksigen menutupi wajahnya. Jian menggeram pada dirinya sendiri.

"Tenanglah, Haewon. Jimin akan baik-baik saja." Ujar Jian, mencoba untuk tenang, meski sebenarnya jantungnya berdegup lebih keras daripada siapapun setelah melihat keadaan Jimin. Haewon masih terisak karena emosinya yang bercampur aduk. Dirinya cemas akan keadaan Jimin, dan juga merasa bersalah karena tidak bisa menjaga Jimin dengan baik. Jian terus mengusap punggung Haewon, sementara dirinya menyimpan kekalutannya sendiri.

:::: :::: :::: :::: ::::

"Bagaimana keadaannya, Dokter?" tanya Hoseok yang tidak meninggalkan Yoongi sedikit pun selama dokter melakukan pemeriksaan.

Sang dokter menghela pelan, "Kurasa dia terkena usus buntu. Demamnya tinggi dan perut kanan bawahnya terasa sangat sakit jika ditekan. Dia harus di operasi."

Hoseok terbelalak mendengar kata terakhir.

"Tenanglah. Pasien akan baik-baik saja setelah operasi. Kau tidak perlu khawatir." Dokter itu tersenyum pada Hoseok yang tampak panik. Hoseok mengangguk pelan sambil menelan ludah. Wajahnya masih tampak sangat khawatir.

"Miri, siapkan ruang operasi sekarang." Ujar sang dokter pada perawat di sampingnya.

"Baik, Dokter Kim."

Dokter Kim itu menepuk pelan bahu Hoseok. "Kau bisa melakukan pengisian dokumen yang dibutuhkan di sebelah sana."

"Ah iya, perkenalkan... Aku Kim Namjoon, dokter yang akan menangani temanmu. Catat namaku agar kau bisa berterima kasih nantinya." Namjoon mengedipkan matanya pada Hoseok sebelum melenggang pergi. Hoseok mengangkat bahunya dan memasang ekspresi yang tak bisa dibendung. Ekspresi kaget bercampur geli karena seorang dokter baru saja bersikap genit padanya.

Namjoon tersenyum usil karena merasa berhasil menggoda pasiennya. Tak sengaja ia berpapasan dengan Jian ketika hendak menuju ruangan.

"Park Jian." Namjoon berdiri di hadapan Jian yang tengah tertunduk lemas. "Kenapa kau mendung sekali hm?"

Jian mendongak, menatap sendu pada Namjoon. "Jimin masuk rumah sakit lagi, dan aku—" perkataan Jian terhenti karena Namjoon tiba-tiba memeluknya. Jian sedikit terkejut ketika tubuhnya terdorong dalam pelukan Namjoon. Namun, ia terlalu malas untuk memberontak. Entah mengapa hatinya sedikit menghangat. Pelukan ringan itu membuat hatinya sedikit tenang.

"Tutuplah matamu sejenak. Pikirkan tentang hal-hal yang indah. Matahari sedang tersenyum. Pelangi berlarian mewarnai langit. Burung-burung berterbangan di atas awan."

Perkataan Namjoon seperti hipnotis yang membuat Jian memejam sejenak dan benar-benar memikirkan apa yang Namjoon ucapkan. "Banyak hal baik di dunia ini yang bisa kau pikirkan." Namjoon menepuk pelan punggung Jian. Jian mulai merasa tenang. Ini yang ia butuhkan. Yang tidak pernah ia dapatkan dari siapapun, termasuk ibunya sendiri.

Namjoon melepas pelukannya, lalu memegang lengan Jian. Mengguncangnya sedikit untuk membangunkan Jian dari ke

"Kau butuh istirahat. Percayalah... Jimin akan membaik kalau kau tersenyum dan ceria dihadapannya, ya kan?" Jian akhirnya tersenyum tipis. Ia merasa sangat bersyukur karena dikaruniai seseorang yang bukan hanya sekedar teman sejawat.

"Aku harus bersiap-siap. Aku memiliki pasien usus buntu yang harus segera dioperasi." Ujar Namjoon sambil memasukkan kedua tangannya ke saku jas dokter. Jian mengangguk pelan, "Terima- Aw!!"

Baru saja Jian hendak mengucapkan terima kasih, Namjoon menjetikkan jari ke kening Jian. "Namjoon?! Sakit!" protes Jian sambil meninju pelan dada Namjoon. Namjoon terkekeh sambil berlari kecil meninggalkan Jian yang masih mengusap keningnya.

.
To be continued

--Tomorrow Will Come--

NB: 

Tomorrow Will Come proses re-publishnya akan memakan waktu agak lama ya. Karena ada pola kalimat yang diperbaiki dan sebagainya. 

Semoga hari ini kalian bahagia :*

Love

Wella

Re-published : 111218 (10.10 am)

Repost II 17 April 2020

Tomorrow Will ComeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang