21 : Surgery

1.2K 122 62
                                    

Sudah, ayo lihat dulu ini...

--Tomorrow Will Come--

Taehyung baru saja sampai saat Dokter Song dan seorang perawat keluar dari ruang rawat Jimin. "Selamat si ...."

"Kau ini keras kepala sekali sih! Apa sulitnya menuruti dokter hah?"

Suara omelan Jian terdengar lantang dan membuat Taehyung mengurungkan niat untuk masuk ke ruangan. Ia memilih untuk menunggu di luar.

"Jian, jangan begini. Jimin sedang dalam kondisi tidak baik. Dia baru saja sadar dan ...."

Jian menepis kasar tangan Yoongi yang baru akan merangkulnya. Pandangannya yang berkaca-kaca tak lepas dari Jimin yang memalingkan wajah. Ia sedang tidak ingin melihat wajah sang kakak. Jimin sudah cukup lemah karena ia menyadari betapa sulitnya ia bernapas sekarang, terbukti dengan terpasangnya selang oksigen di hidungnya. Ia tidak ingin menambah kelemahan dengan melihat raut lelah sang kakak yang sejak kemarin tidak beristirahat cukup.

"Semua orang mengkhawatirkanmu dan bisa-bisanya kau bilang pada Dokter Song bahwa kau tidak ingin dioperasi? Apa yang sebenarnya kau inginkan, Park Jimin?" Jian meninggikan suaranya. Tanpa perlu membuka pintu, Taehyung mendengar jelas ucapan Jian. Taehyung menggigit bibir, bingung ingin melakukan apa. Jadi, ia memilih duduk di depan ruangan Jimin. Menunggu api emosi Jian mereda.

"Aku tidak ingin mati sia-sia di ruang operasi, Kak. Aku tidak ingin mengorbankan waktuku hanya untuk mencoba sesuatu yang tidak jelas hasilnya. Bagaimana jika aku tidak kembali setelah menjalani operasi itu?"

Jian memejamkan mata. Menahan emosinya setiap kali mendengar kepesimisan sang adik. Jian juga sama takutnya dengan Jimin. Ia paling tahu resiko yang tersaji setiap kali berhadapan dengan pembedahan. Namun Jian tidak ingin mengambil resiko yang lebih buruk. Membiarkan Jimin terus hidup dengan tumor yang kian tumbuh di dalam tubuhnya. Menyaksikan Jimin kesakitan dengan kondisi tubuh yang menurun. Jian tidak ingin tersiksa karena melihat itu semua.

Jian mengacak rambutnya kasar. Sikap Jimin benar-benar membuatnya frustasi. "Bisa tidak kau sampingkan egoismu dulu, Jimin?"

Jimin menoleh pada sang kakak dengan tubuh yang masih berbaring. "Apa Kakak kira aku yang paling egois di sini? Apa kau tidak berpikir bahwa pemaksaanmu ini adalah hal yang egois, Kak Jian?" Jimin menyahut sang kakak dengan berani. Meski suaranya tidak bisa selantang Jian, tapi terdengar jelas rasa kesal dari suaranya.

"Kau bilang aku egois?" Jian mendelik. Yoongi memegang tangan Jian dengan cukup kuat. Ingin mengingatkan istrinya untuk menahan diri. Yoongi tahu bahwa Jian mungkin sedang benar-benar kalut sehingga bersikap seperti ini. Namun seharusnya Jian memahami perasaan Jimin juga.

"Jian, hentikan. Kau tidak ingat kondisi Jimin bagaimana?" Yoongi berucap dengan sedikit menahan suara. Ia tidak ingin menambah runyam suasana dengan meninggikan suara pula. Jian menyadari teguran sang suami dan menoleh. Wajahnya yang mengeras perlahan menyendu saat menatap Yoongi. Yoongi pun memandangi Jian dengan tatapan memohon. Ia menggeleng pelan. "Sudah ya. Tenangkan dirimu. Jimin sedang sakit, sayang." Ucapan Yoongi berhasil meredam emosi Jian yang meledak-ledak.

Jian berdeham, lalu ia duduk di samping ranjang. Sementara itu, Yoongi mengambil alih untuk berbicara dengan Jimin. "Jimin, kau masih takut?"

Jimin menelan ludah dengan susah payah sebelum menjawab pertanyaan Yoongi. "Aku adalah golongan orang yang takut mati, Kak." Jawabnya.

"Tidak ada yang akan mati di sini, Jimin. Kau tidak boleh sembarangan bicara." Yoongi juga kesal dengan sahutan Jimin yang menambah rasa gusar. Namun Yoongi bisa menahan diri untuk tidak meledak seperti Jian. Ia tahu, jika berada di posisi Jimin, pasti semua ini akan terasa sangat berat.

Tiba-tiba, terdengar isakan. Yoongi yang menyadari bahwa suara itu berasal dari Jimin, segera memegang lengan Jimin. Cemas jika Jimin kesulitan bernapas. Jimin menggigit bibirnya sambil memejamkan mata. Air mata mengalir deras membasahi bantalnya. Jian juga melihat hal itu dan merasa sesak di dada. Ia mengusap pipi Jimin yang basah dengan ibu jari. "Tidak ada yang akan membawamu pergi dariku, Jimin. Kau akan terus bersamaku. Aku akan jamin itu. Jadi kumohon sekali ini saja. Kita beranikan diri untuk membawamu tetap bersamaku lebih lama, sayang." Tutur Jian dengan penuh kelembutan.

Jimin membuka mata, menatap Jian dalam-dalam. "Kau ingin aku bahagia kan?"

Jimin mengangguk.

"Aku akan bahagia jika ada kau di sisiku. Karena itulah, aku ingin membuatmu tetap bersamaku dan Yoongi. Kumohon, sayang." Kali ini, Jian tidak sanggup lagi menahan air matanya. Ia tertunduk, menenggelamkan wajahnya di atas punggung tangan Jimin.

Dua hari kemudian, operasi dilaksanakan. Jimin digiring dengan brankar ke dalam ruang operasi setelah dipeluk oleh Jian. Yoongi memeluk Jian yang kini menangis dalam kekhawatiran.

Lima jam sudah berlalu, tapi lampu tanda operasi masih menyala. Operasi tidak selesai dalam waktu yang dijanjikan oleh Dokter Song. Hal itu membuat Jian semakin was-was. Tak lama, seorang suster membuka pintu dan membuat Jian dan Yoongi berdiri, siap menyambut. Namun suster tersebut berjalan terburu-buru melewati keduanya. Tidak menggubris pertanyaan Jian yang menanyakan keadaan di dalam ruang operasi. Beberapa saat kemudian, suster tadi membawa dua orang dengan pakaian operasi. Hati Jian semakin berdegup kencang. Tenaga medis tambahan diperlukan dalam operasi Jimin dan hal itu pertanda yang kurang baik.

"Yoongi, bagaimana ini?" Jian menggenggam lengan baju Yoongi. Yoongi menghela napas panjang. Ia tak kalah paniknya, tapi Yoongi harus menjadi yang paling tenang.

"Berdoa saja, sayang. Kita harus berdoa agar Jimin tetap kuat.

Setelah tujuh jam akhirnya operasi selesai. Pintu ruangan terbuka dan Dokter Song muncul sambil menurunkan masker medisnya.

Dokter Song menghela napas panjang sebelum akhirnya mengucapkan sesuatu. "Jian .... Maafkan aku."

To be continued

--Tomorrow Will Come--

Apa? Maaf? Apa maksudmu Dokter Song?Huhu Gantung yee... gak apa, biar greget.

Love

Wella

Repost

1 Juni 2020

(01.35 pm)

Tomorrow Will ComeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang