22 : END

1K 70 21
                                    

Gimana hari ini liburnya? Kerasa libur nggak?

Nih nih nih. Yang tadinya deg deg serr 

--Tomorrow Will Come--

"Tadi aku menyuruhmu untuk mengambil apa? Kenapa tidak bergerak juga?"

Suara tegas itu membuat semua suster dalam kamar rawat tertunduk. "Ambil kateternya sekarang. Biar suster lain yang mengurus ini."

"Baik, Dokter." Suster yang baru saja dimarahi itu segera berlari dari ruangan. Melaksanakan apa yang diperintahkan. Dokter galak itu kembali tersenyum saat menoleh pada pasiennya.

"Sebentar lagi suster akan memasangkan alat ke tubuhmu. Bersabarlah sedikit jika terasa sakit ya. Sekarang, ini diminum dulu untuk mengurangi nyeri." Dokter itu membantu pasien wanita paruh baya itu untuk menelan obatnya.

Sang dokter tersenyum puas melihat pasiennya yang penurut. Saat suster sebelumnya kembali, wajah dokter itu kembali garang. "Pasangkan dengan hati-hati. Jangan sampai keliru. Tanya pada suster lain jika memang tidak tahu."

Suster tersebut mengangguk sambil menggerakkan tangannya lebih cepat.

Merasa tugasnya sudah selesai, sang dokter berjalan ke luar ruang rawat dengan napas terengah-engah. Tangan kanannya memegang pinggang, sementara tangan kiri bergerak mengibas lehernya. Sang dokter merasa gerah.

"Dokter Jian, belum mengambil cuti?" Somi mengangkat alisnya, lalu mendekati Jian sambil tersenyum sumringah melihat perut Jian yang sudah membuncit.

"Aku akan cuti mulai minggu depan. Sudah kau ajari apa suster-suster baru?" tanya Jian.

"Belum banyak, Dokter. Mereka akan langsung terjun untuk mengurus pasien. Aku juga banyak sekali yang harus dikerjakan, jadi ...."

"Pokoknya, ajarkan mereka untuk bergerak lebih cepat."

Somi tersenyum kikuk. "Dokter baru memarahi salah satu suster baru ya?" tuduh Somi. Jian mendelik, lalu menggeleng cepat. "Tidak kok. Tidak memarahi. Hanya memberikannya sedikit teguran."

"Jangan terlalu galak, Dokter. Marah-marah terlalu sering tidak baik untuk bayi. Iya kan, adik?" Somi dengan iseng mengelus perut Jian. Somi mendongak, menyipitkan mata saat menangkap sosok yang sedang tampak kebingungan di sudut lorong di dekat lift.

"Jimin? Hei, sedang apa?" teriak Somi, yang memancing Jian untuk menoleh ke belakang. Seketika Jimin mati kutu. Tidak bergerak saat sang kakak melambaikan tangan, memberi isyarat padanya untuk segera mendekat. Jimin melangkah semakin dekat dengan sang kakak. Ia menunduk sambil melirik sesekali. Jian sudah siap dengan tangan yang terlipat di depan dada.

"Sedang apa di depan lift? Ingin kabur? Dengan pakaian rumah sakit dan sandal? Tidak malu dilihat orang?" serang Jian.

"Aku hanya ingin mengejar Gyunam. Tadi dia mengejekku dan mengambil sesuatu dariku. Aku mengejarnya dan kurasa dia berlari ke arah lift."

Jian memutar bola matanya malas. "Somi, benar ada pasien bernama Gyunam?"

"Seingatku ada, Dokter. Di bangsal anak. Namun sepertinya, adik kecil itu sudah pulang kemarin sore." Penuturan Somi membuat Jimin hanya bisa tertawa kikuk karena ditatap garang oleh sang kakak.

"Berlari sekali lagi atau aku akan mengikat kakimu di kamar. Kembali ke kamar sekarang!" Jian meninggikan suaranya. Somi terkikik, sembunyi-sembunyi menjulurkan lidah pada Jimin yang ciut karena dimarahi sang kakak.

Jimin tidak pernah berubah. Sebelum atau sesudah operasi pun, Jimin masih saja nakal. Tidak mendengarkan nasihat kesehatan untuk dirinya. Senang sekali berjalan-jalan saat ia seharusnya beristirahat di kamar. Jimin memang sudah sehat. Tumornya berhasil diangkat. Namun kondisi paru-paru Jimin tetap lemah. Demam sedikit saja sudah mengharuskan Jimin dirawat di rumah sakit.

Tomorrow Will ComeTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang