Kabar Kepulangan Kak Chaka

934 207 513
                                    

Sejak kejadian roti asin, aku sudah tidak pernah mengirimkan makanan lagi untuk Kak Chaka. Alasan pertama karena malu kue buatanku asin, alasan kedua karena Kak Chaka sedang tidak ada di rumah. Kak Chaka sedang melakukan dinas ke luar kota,  selama seminggu.

Aku tahu hal itu dari Si Buluk yang setiap hari pura-pura bertamu ke rumahku pas disaat jam makan. Aku sebenarnya mengetahui tujuannya ke sini apa? Ketika kami sedang makan bersama. Tepat. Apalagi kalau bukan, agar diajak makan bersama oleh Bundaku. Dasar ada saja modus Si Buluk ke Bunda dengan gayanya yang sok akrab banget. Mana kalau makan banyak menghabiskan jatah makanan di rumahku. Begitu Bunda dengan legowo[1] mengizinkan pasokan makanan kami diserang musuhku.

’Alasannya cuma satu, kasihan Nduk[2] kan Choki sendirian di rumah. Orang tuanya di Ambon, kakaknya sedang berdinas di Jogja. Dia di Semarang sendirian nanti kalau kurang gizi gimana? Kalau busung lapar gimana? Kalau tiba-tiba cacingan gimana?’ Itu jawab Bundaku setiap aku bertanya kenapa Si Buluk diajak makan di rumah kami, terus-menerus.

"Nak Choki kapan Chaka pulang dari dinasnya?" tanya Bundaku sambil mengambil nasi dan meletakkannya di piring milik Bunda.

"Insyaallah besok, Bun sampai Stasiun Tawang. Tadi Kak Chaka WA minta dijemput jam tujuh pagi," jawab Choki dengan ramah.

Aku pun menghentikan kegiatan memamah biakku untuk sementara waktu dan tak membunyikan garpu serta sendokku di piring, guna mencuri dengar jawaban si Buluk.

Hore hore akhirnya pangeranku pulang dari semedinya, batinku senang dan tak sengaja menerbitkan lengkungan di bibirku.

Choki yang menyadari hal itu berkata," Bun, kayaknya Decha lagi kesurupan tuh, Bun. Senyam-senyum sendiri."

Bunda yang percaya seketika memegang tanganku dan berkata," Sapa kowe? Metu, metu saka ragane anakku!" [3] Hampir saja Bundaku mengambil air putih dan menyemburkan air itu ke wajahku. Untung saja aku sudah tersadar akan situasi ini dan berkata," Bunda, ini Decha anak Bunda, Ah Bunda percaya saja sama Choki. Choki tuh, Bun yang kesurupan. Karena di dalam hati dan pikiran isinya pasti setan semua, Bun."

"Hush, ngawur[4] kamu, Nduk. Sudah habiskan makananmu!" perintah Bundaku. Choki pun dengan amat sangat menyebalkan tersenyum penuh arti ke arahku sambil mengedipkan matanya.

Awas ya kamu Si Buluk menyebalkan! Tak lakban mata kamu nanti, biar nutup sebelah terus kayak presenter dulu yang bilang ’apaan tuh,’ batinku menenangkan diri sendiri.

***

Keesokan hari, pagi-pagi aku sudah mengetuk pintu kamar Si Buluk. Karena semenjak Kak Chaka dinas ke luar kota, kunci cadangan rumah Si Buluk dititipkan ke Bunda katanya kalau kunci yang dibawa Choki hilang, masih ada kunci satunya. Jadi dengan mudah aku bisa masuk gerbang dan pintu rumah Si Buluk, dengan kunci itu, seperti sekarang ini.

"Choki! Choki bangun! Dasar ngebo. Bangun!"

"Kenapa sih, Ngil hobi banget gangguin orang?" tanya Choki dengan muka polosnya yang penuh iler di sudut bibir serta belek yang menghiasi matanya, membuka pintu kamar.

"Bangun! Jadi jemput Kak Chaka enggak? Aku ikut ya, Luk, boleh ya? Nanti aku traktir, deh!" rayuku agar Choki mengizinkanku ikut.

"Kamu tahu enggak, Ngil?" tanyanya sambil mengucek-kucek matanya.

"Apa?" tanyaku dengan cepat.

"Kalau kata pak SBY pas kampanye dulu, katakan TIDAK. Apalagi yang kayak kamu gini, nyogok-nyogok mau traktir agar keinginanmu dituruti. TIDAK, aku tidak mau ketangkap KPK.

"Lho, jangan begitu, Luk. Please!" mohonku sambil mengabungkan telapak tanganku hingga saling berhadapan di depan dadaku.

Pokoknya aku putuskan, aku harus ikut. Aku sudah kangen ingin melihat wajah pangeranku, Kak Chaka. Aku rayu terus Si Buluk dengan rayuan ala-ala Decha, bul gobal-gabul.

"Tidak, Ngil," kata Choki sembari akan menutup pintu kamarnya.

"Ya ya ya boleh ya Choki yang ganteng," rayuku lagi sambil mengeluarkan jurus puppy eyes dan jarang goyangku kalau perlu.

"Tidak, Ngil pokoknya tidak ya tidak, aku mau tidur lagi. Lihat! Ini masih jam berapa? Baru jam empat pagi. Kak Chaka nyampai stasiun jam tujuh pagi. Kamu mau ngapain di stasiun nunggu sampai tiga jam? Mau jualan nasi pecel di depan stasiun?" tanya Choki dengan nada terdengar mulai berang.

"Maksudku bukan sekarang, Luk. Tetapi nanti pas jemput," jawabku pelan.

"Terserahlah aku mau melanjutkan tidur dulu, ganggu saja dasar Mungil bangunin jam segini, kayak tuyul mau setor ke majikannya saja," kata Choki yang akhirnya menutup pintu kamarnya.

Brakkkk

"Hore hore thanks ya, Luk tambah suka deh sama kakakmu kalau kamu baik seperti ini," teriakku kegirangan.

Oke, misi ngelobi Si Buluk sudah berhasil sambil menunggu pukul 07.00 aku menonton TV di rumah Si Buluk. Awalnya aku masih oke, tapi lama-kelamaan dengan semilir angin kipas yang menyejukkan dan bantalan sofa yang lembut mataku mulai mengantuk dan lama-kelamaan mataku menjadi merem. Alias diriku tertidur. Sekarang aku yang menjadi ditonton TV.

***

Kak Chaka datang dan memelukku. Humm, rasanya hangat sekali. Aku peluk lebih erat lagi supaya terasa makin hot, tidak hangat lagi.

Tiba-tiba gedubrak.

"Haduh, sakit!" ringisku sambil memegang pelipisku yang terantuk meja ketika terjatuh.

Ternyata itu hanya mimpi pemirsa jangan kecewa, ya!

"Lho, sudah jam setengah delapan," panikku. Segera saja kugedor-gedor lagi pintu Si Buluk.

"Luk, jadi jemput Kak Chaka enggak? Sudah jam segini. Luk bangun! Eh, dasar kebo bangun! Bangun!" teriakku semakin emosi ketika Si Buluk tak kunjung membukakan pintu kamarnya.

Meski aku sudah berteriak beberapa oktaf sampai pita suaraku serak si Buluk tidak juga membuka pintu kamarnya.

Ceklek. 

Lho, tidak terkunci ternyata pintunya. Aku bergegas masuk ke kamar Si Buluk. Aku sempat tertegun ternyata foto kami berdua tertempel di dinding kamar Si Buluk. Hal itu sempat membuatku melengkungkan bibirku ketika melihat pose-pose ke-gokil-an kami berdua. Ada pose kita sama-sama menjulurkan lidah, ada juga yang memakai aplikasi kamera dengan berbagai sticker lucu, dan ada juga pose kita berdua terlihat normal hanya tersenyum serta membentuk dua jari. Mungkin ketika dipotret saat itu kita mengucapkan peace.

Tapi aku lekas sadar dengan tujuan awalku ke kamar Si Buluk. Untuk mencari Si Buluk. Tapi aku tak menemukannya. Aku bertanya di dalam hatiku hampir sama seperti pipa di dalam film Teletubies ketika mencari para tubies? 'Kemana perginya Si Buluk, ya?'

Aku bergegas menuju pintu keluar. Tetapi pintu keluarnya tidak bisa dibuka. Kuintip dari jendela, mobil Si Buluk sudah pergi dan kampret-nya ada kertas yang tertempel di jendela dengan tulisan cakar ayam yang masih bisa aku baca dan kuyakini itu tulisan Si Buluk.

"Dasar tuyul. Kebo banget sih sudah tadi setornya kurang malah molor. Majikanmu ini mau jemput kakaknya dulu. Kamu nyapu-nyapu atau ngelap-ngelap kaca gih!  Jangan masak, ya! Aku enggak mau kakakku baru datang nanti keracunan.

Dari prince Choki caem

"Dasar Choki-Choki Si Coklat Buluk. Nyebelin banget. Awas ya!" teriakku sekuat tenaga sambil meremas kertas memo dari Choki.

***

Arti bahasa jawa ke dalam bahasa Indonesia

[1] legowo = ikhlas

[2] Nduk = panggilan untuk anak perempuan dalam bahasa jawa

[3] sapa kowe? metu, metu saka ragane anakku = Siapa kamu? Keluar, keluar dari raganya anakku

[4] ngawur = sembarangan

Thanks ya sudah mau baca karya enggak mutu ini. Moga makin suka tambah vote syukur syukur komen.. hehehehe

Si Mungil I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang