Ada yang Tersirat

424 125 250
                                    

Jangan lupa vote dan komen dengan kritik saran yang membangun, ya!

Suwun

  "Mengapa engkau tak mengatakan telah berdua. Harusnya jujur kepadaku. Mungkin aku tak berharap kepadamu. Karena sekarang rasanya sungguh sakit."

Decha Liana Putri

"Bukankah sifat anak kecil selalu menganggu orang yang dia suka untuk mendapat perhatian?"

Choki Bagastara

"Siapa yang memberikan Decha harapan Choki?" tanya Kak Chaka sambil mengusap darah yang menetes di ujung bibirnya.

"Ka...mu," kata Choki sembari menarik kerah kemeja Kak Chaka.

Suara Choki terdengar begitu menakutkan di gendang telingaku. Aku memang sakit hati dengan Kak Chaka, tetapi aku tak sedikit pun menginginkan Choki untuk memukul Kak Chaka. Hal itu membuatku terasa jauh lebih sakit.

"Kakak tidak pernah bermaksud memberi harapan. Kakak hanya menganggap Decha sebagai adik, tidak lebih," terang Kak Chaka sambil menenangkan Choki.

"Entah kenapa rasanya aku ingin memukul Kakak lebih dari ini," geram Choki.

"Cukup Choki cukup cuuuukuuupp!" teriakku sambil berlari ke luar rumah mereka.

Saat ini hatiku terasa sungguh sakit. Lelaki yang sangat aku inginkan menjadi kekasihku, ternyata hanya menganggap aku, seorang adik. Bayangkan, hanya adik? Selama ini aku hanya terlalu berharap. Meninggikan harapan setinggi langit tanpa melihat kenyataan. Bagaimana perasaan Kak Chaka terhadapku?

Kalau kata orang friendzone itu tidak enak ternyata adik-zone jauh lebih tidak enak. Ketika kita berharap karena perlakuan seseorang begitu baik, perhatian, dan sayang terhadap kita. Pastikan dahulu dia menganggap kita apa? Teman kah? Calon gebetan kah? atau adik, seperti aku? Karena jika dianggap hanya seorang adik saja, bisa dipastikan rasanya pasti akan sakit sekali.

Aku berlari sambil mengusap air mataku yang terus mengalir dengan kasar. Mungkin sekarang aku terlihat sangat mendrama sekali, persis seperti di acara-acara reality show yang ditayangkan di beberapprogram televisiKetika melihat pacarnya dengan wanita lain.

"Tunggu, Cha!" teriak Choki sambil menarik tanganku hingga kami saling berhadapan.

Aku hanya menangis dalam pelan, walau terkadang aku harus mengurus ingusku yang ingin keluar begitu saja tanpa permisi. Mungkin saat itu wajahku terlihat kacau, jelek dan makin aneh. Alis yang dilukis Choki saja sudah membuat penampilanku aneh, ditambah sekarang aku menangis. Entah ini halusinasiku saja atau bagaimana? Choki tiba-tiba memelukku dengan erat. Walau aku tidak membalas memeluknya. Tapi hal ini semakin membuatku sesenggukkan di dadanya yang bidang. Terkadang Choki mengelus pelan punggungku.

"Lepasin, Luk!" pintaku pelan.

"Sebentar saja, Cha. Aku ingin merasakan sedihmu, biarkan sedihmu berkurang dan berpindah ke aku," kata Choki penuh dengan nada kelembutan.

Aku malah semakin menangis meronta-ronta seperti anak kecil yang mainannya sedang direbut oleh anak lain.

"Kenapa? Kenapa, Chok? Padahal Kak Chaka sendiri yang pernah bilang, ’aku calon istri yang baik.’ Kenapa sekarang Kak Chaka hanya menganggap aku adik?" tanyaku dengan nada penuh meminta pejelasan darinya. Walau aku tahu Choki pun tidak dapat menjawab pertanyaanku kali ini.

"Sudah biarin saja!" kata Choki sambil melepas pelukkannya dan mengusap lagi kepalaku pelan.

"Apa karena aku seperti anak kecil?" tanyaku lagi.

"Iya, mungkin," sahut Choki sambil tersenyum.

"Ih, jahatnya kamu!" kataku sambil mencubit perut Choki yang rata walau tidak seperti roti sobek.

"Sakit tahu, Cha," kata Choki sambil berusaha melepaskan cubitan mautku.

"Habis kamu gitu."

"Bukankah aku juga seperti anak kecil?" tanya Choki tiba-tiba.

"Enggaklah Choki, kamu tinggi gitu," jawabku sambil mengkerucutkan bibirku.

"Bukankah sifat anak kecil selalu menganggu orang yang dia suka, untuk mendapat perhatian?" tanya Choki lagi.

Aku melihat wajah Choki sedikit mengalami perubahan ketika mengatakan hal itu. Ada raut wajah yang belum pernah aku lihat. Wajah merah jambu ciri khas orang yang sedang malu-malu meong, dan itu sungguh menggemaskan sekali.

"Hah, maksudnya?" tanyaku meminta kejelasan dari pertanyaannya yang membuatku ambigu.

"Maksud apa?" Enggak ada maksud apa-apa kok. Sudah sana, masuk sana! Dicariin Bunda itu lho," kata Choki sambil mendorong bahuku pelan ke arah gerbang rumahku.

Choki langsung berjalan memutar menuju ke rumahnya. Aku hanya melongo dan mulai bingung dengan pertanyaan yang sempat dinyatakan Choki. Dia menganggu orang yang disuka? Memang siapa yang dia suka, ya? Aku tampak berpikir, walau aku juga tidak tahu siapa orang yang disukai oleh Si Buluk.

Tetapi aku merasa hari ini Si Buluk memang aneh. Sangat aneh. Tapi aku harus mengucapkan terima kasih kepadanya, karena berkat dia kesedihanku menjadi agak berkurang. Apakah mungkin karena faktor kita berpelukan tadi, ya? Jadi kesedihanku benar-benar ditransfer ke Si Buluk.

Sekarang aku benar-benar merasakan namanya patah hati. Setelah selama bertahun-tahun aku banyak berharap terhadap Kak Chaka. Hanya yang aku sesalkan, mengapa Kak Chaka tak mengatakan telah berdua? Harusnya Kak Chaka jujur kepadaku. Mungkin aku tak berharap kepada Kak Chaka. Karena sekarang rasanya sungguh sakit.

Akhirnya ada yang ngomong tersirat itu? Ada yang malu - malu meong? Cie cie

Si Mungil I Love YouTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang