Sekali tersakiti sampai mati akan terpatri di hati dan sulit untuk dieliminasi.
.
.
Khusnul terdiam disepanjang perjalanan. Entah mengapa..? Ada apa dengannya..? Aku hampir dibuat lelah dengan semua hal yang terjadi akhir akhir ini.
Sampai dirumah Khusnul langsung masuk kedalam kamar. Tak mengucap salam.. lantas tak menghiraukan aku yang masih pada posisi diatas sepedah bersama dengan tas bawaanku."Mbok yo salam kalau mau masuk rumah itu". Seru mas Ridwan menanggapi ku yang hampir kelewat dari ruang tamu.
"Eh.. iyo ee Assalamualaikum mas..". Jawabku masih dengan nada cengengesan.
"Itu kenapa sama dia..?". Tanya mas Ridwan menunjuk arah gadis yang berada didalam kamarku yang tak lain ialah Khusnul.
"Ndak tau juga ee aku mas.. mungkin yo karena raport.."
"Woo.. eh iya piyee.. piye hasil laporan nilaimu.. mas kepeingin liat ee..?!".
Mas Ridwan tampak semuringah dengan pembicaraan yang bertopik soal pendidikan. Apalagi melihatku yang selalu pandai diatas yang lainnya.
"Allhamdulilah mas.. ya tetep di poisis teratas..padahal ndak nyangka loh aku itu jarang banget ee belajar". Jelasku mulai angkuh.
"Allhamdulilah Han.. ndak boleh ngomong gitu. Kabeh kui wes enek sing ngatur. Kamu cerdas dari lahir itu suatu kelebihan. Tapi mbok yo kamu itu berbenah sedikit Han.."
Mas Ridwan jadi aneh.. mengapa sekarang menjadi lebih rohanis dan sok agamis seperti ini.
"Lha emangya.. berbenah soal opo to mas..?" Tanyaku lugu.
"Ya soal keimanan kamu itu to.."
"Keimananku ya begini to mas aku islam..". Tegasku lagi masih belom menangkap signal hidayah.
"Iyo opo cukup kamu cuma mengaku islam wae to..? Ndak to..? Ya sekarang sholatmu sing ajek yang rutin gitu loh.."
Aku mulai bergidik tak mau menerima nasehat dari mas Ridwan. Aku selalu menganggap mas Ridwan juga orang yang awam soal agama. Lantas mengapa dia sekarang kayak gini.
"Alah mas.. mas itu loh kok jadi nuturi.. nasehatin aku yang soal itu itu.. emange mas Ridwan ajek to sholate..?!"
Dengan frontal dan tanpa pikir panjang lagi. Aku pun membalik segala asumsi mas Ridwan. Hingga menimbulkan suara yang ladzim dari belakang pungguku.
"Ya walaupun belum rutin.. tapi kalau sudah mencoba itu lebih baik Han.. semua itu butuh proses..". Suara Khusnul ikut membela mas Ridwan yang terdiam.
"Ya kalau aku kan emang belum dapet hidayah aja.." Pojokku lagi pada Khusnul. Karena memang aku tak mau kalah.
Khusnul bergedek kepala "Astagfirullah Han.. hidayah itu dijemput bukan ditunggu. Ingat yang butuh itu kita loh.. "
"Wes.. wes.. ayok bantu mas nyuci piring.. masak trus nyuapin ibuk. Kita bagi tugas.."
Tiba tiba saja mas Ridwan menjadi penengah dalam topik pembicaraan yang sudah panas panasnya untuk dibahas.
Kami bertiga pun segera menuju dapur.. atau orang jawa biasa sebut 'pawon'. Mas Ridwan mencuci piring.. Khusnul memasak seadanya dan aku yang menyuapi Budhe.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sayap Kanan
Non-FictionBagaimana bila engkau dihadapkan pada dua pilihan yang sama sekali tak mendatangkan kebahagiaan bagimu..? Bagaimana engkau memposisikan dirimu seorang wanita yang utuh hanya dari pandangan fisik...? Bagaimana engkau bertahan dalam keterpaksaan hingg...