Chapter 17

66 7 2
                                    

Satu jam kami menunggu, tapi anak itu masih terbaring di kasur belum sadarkan diri. Paman Tom juga belum pulang. Padahal, Aldo sudah mencarinya ke kandang, kebun dan berbagai tempat yang memungkinkan didatangi Paman Tom.

Kami bahkan menunda acara makan siang karena Aldo bilang kita harus menunggu Paman Tom. Sedari tadi aku sudah menahan rasa lapar sambil memasang wajah kecut.

Dari tadi aku juga merengeh minta makan ke Aldo. Tapi jawabannya tegas "tidak, kita tunggu Paman Tom dulu!"

Aku hanya bisa pasrah menunggu makan siang tiba, eh maksudnya Paman Tom tiba.

Sedangkan Aldo, dari tadi terus memasang wajah gelisah. Ia nampak tidak sabaran menunggu Paman Tom. Dan nampaknya ia sedang tidak ingin diajak bicara. Dari tadi aku sudah mencoba memulai pembicaraan karena suasana jadi canggung. Tapi ia terus mengabaikanku. Sepertinya suasana hatinya sedang tidak bagus.

Beberapa menit kemudian yang dinanti tiba. Terdengar suara pintu depan terbuka. Sontak Aldo langsung berdiri dari meja makan dan menatap ke ruang depan.

Paman Tom langsung berjalan menuju ruang makan, tempat kami saat ini. Sesampainya di ruang makan ia hanya melihati kami yang menatapnya dengan serius. Kecuali aku yang yang menatapnya melas sambil memegang perut.

"Baiklah, ayo makan siang." Seru Paman Tom sambil tersenyum, seolah tak terjadi apa-apa.

"Tunggu dulu!" Cegat Aldo. "Pura-pura tidak tahu ya?" Selidik Aldo sedikit kesal.

Sulit dipercaya, padahal gadis tadi bebaring di sofa ruang tamu. Jika Paman Tom masuk lewat depan, pasti ia melihat gadis tersebut. Namun, setelah melewati ruang tamu ia bahkan tidak menyinggung atau menanyakan pasal gadis tersebut. Yang kuharapkan Paman akan bertanya "Siapa gadis yang terbaring didepan?" Tapi ia tidak menanyakannya.

Hening sejenak. Kedua orang itu saling tatap dengan muka serius. Firasatku tidak enak.

Aku mencoba mencairkan suasana dan melerai mereka "Hei, sudahlah mari kita ma-".

"Kau habis dari departemen pertahanan kan?" Tanya Aldo memotong ucapanku.

Heh? Departemen pertahanan? Paman Tom kesana? Itu kan di dalam kota. Kenapa?

Paman Tom diam sejenak dan akhirnya menjawab "Dino dan aku akan segera menyelesaikan masalah. Tenang saja." Mimik wajahnya mulai mencair. Secercah senyum percaya diri mulai tampak diwajahnya.

Aldo melepaskan tangannya "Hm, kau selalu saja menghindari topik yang kau sembunyikan." Gerutunya dengan sedikit tersenyum.

"Baiklah, nak Naila tunggu apa lagi mari kita makan!" Ajak Paman Tom.

"Hah? Tapi kita mau makan apa?" Jawabku bingung karena sebenarnya stok  bahan pangan sudah menipis.

"Tadi pagi kusuruh beli kacang kan?"

Wajahku semakin pucat "Jangan-jangan...."

"Benar sekali. Tolong masak kan kacang hijau itu untuk kita bertiga." Balasnya tersenyum sadis.

"Jangan bercanda" Seruku menghentak meja "Hei Aldo, apa kalian sering pesta kacang seperti ini?"

"Tidak, sebenarnya ini pertama kalinya kami pesta kacang dirumah." Jawabnya.

"Yang benar saja" Keluhku putus asa. "Baiklah akan segera kubuatkan bubur kacang hijau"

Sembari aku memasak, Paman Tom dan Aldo nampak ngobrol membahas sesuatu. Sekali dua kali mereka tertawa lepas.

"Hei Aldo, ini tentang gadis itu." Ujar Paman Tom memulai pembicaraan serius.

"Ada apa?".

"Tolong kau jaga gadis itu sepenuh hati."

"Kenapa?"

"Sebagai sesama manusia sudah jelas kita harus saing menjaga. Tapi, orang sepertimu mengatakan demikian, ada apa sebenarnya?" Selidik Aldo merasa curiga terhadap pernyataan Paman Tom.

"Apa sebagai esper terhebat aku harus menjawab pertanyaan tersebut?"

Aldo mulai tertawa kecil "Tidak."

Aku sama sekali tidak paham apa yang mereka bicarakan.

Sebentar lagi buburnya akan jadi. Aroma bubur kacang hijau mulai meruak ke sekeliling ruangan. Setelah mencium aromanya aku jadi semakin lapar sampai lupa kalau ini semua hanya kacang.

Setelah jadi, aku memberikan pada mereka masing-masing satu mangkuk. "Selamat makan."

"Apa kenyang cuma makan kacang?" Keluhku.

"Berhenti mengeluh kamu Naila. Kita harus memakan apa yang ada kan?". Ujar Paman Tom sok keren. Padahal yang menyuruh kami membeli ini semua adalah dia.

"Hmm... ini enak Naila". Puji Aldo setelah melahap sesuap.

"Benarkah? Terima kasih"

Acara makan siang kami berlangsung damai. Kami hanya mengobrol santai sambil menghabiskan kacang kami.

Bruak!

Tiba-tiba terdengar suara benda jatuh. Kami sema kaget dan langsung menoleh kearah ruang tamu, tempat suara itu berasal. Sepintas yang ada di benakku hanya "gadis itu".

Aku langsung bergegas menuju ruang tengah, menyelidik apa yang jatuh, atau lebih tepatnya aku ingin memastikan apakah gadis itu sudah sadar.

Sesampainya di ruang tamu aku tidak mendapati gadis itu di sofa tempat ia tidur tadi.

Gadis itu sudah berada dibawah sofa dengan selimutnya. Padangannya tertuju pada jendela yang mengadap ke hutan. Cahaya matahari dan angin yang meniup gorden membuat suasana menjadi dramatis.

Rambut peraknya terlihat indah deterpa cahaya matahari. Dari balik jendela ia nampak menunggu sesuatu.

Beberapa saat kemudian ia menyadari keberadaanku. Gadis itu menoleh dan melihat ke arah aku berdiri.

Rambut lurusnya nampak menawan saat menoleh. Matanya nampak berkaca-kaca. Terlihat terdapat setetes air mata di ujung matanya.

Ia menatapku lamat-lamat. Nampak ada kecemasan yang ia bendung di wajahnya yang rapuh. Aku tak bisa berkata apa-apa.

Suara lembut keluar dari mulutnya "Dimana kak Mei?".

***

Hey.... I'm back!!!!😂

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jan 18, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Is it Wrong if I Expect Someone to Protect me?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang