Part 18

23.4K 2.4K 21
                                    

"Ayah harus kembali ke Bucheon hari ini."

Bibir Hyein mengerucut kedua tangannya masih erat memeluk adik kesayangannya. Ia masih rindu, tapi kedua laki-laki kesayangannya malah pergi secepat itu.

"Kenapa cepat sekali? Tidak bisa menginap sehari saja?" rengek Hyein pada Jiwon.

Jiwon mengelus kepala anak sulungnya sayang, sungguh berat rasanya meninggalkan Hyein di kota orang. Tapi putrinya itu telah memilih jalannya sendiri.

"Lain kali ayah datang lagi. Kau juga janga lupakan rumah." Hyein mengangguk lemah, rasa tidak relanya begitu mendominasi.

"Noona, maret aku akan kemari mengikuti olimpiade matematika."

"Woah, benarkah? Adikku memang pintar!" serunya kemudian mengecup pipi Heechan, remaja itu terkekeh, dadanya membusung bangga.

Jiwon mendekatkan diri mengecup kening Hyein, "Ya sudah, ayah pamit."

"Baek, aku titip Hyein. Tolong pegang janjimu untuk menjaganya di sini, tapi ingat batasan. Kalian bukan dalam hubungan lagi."

"Ne, ahjusi. Kau bisa percaya padaku."

Pelukan singkat ia berikan kepada mantan kekasih anaknya, meski telah berpisah. Jiwon masih menganggap Baekhyun anaknya sendiri. Hubungan yang terjalin begitu dekat tidak mudah dipisah begitu saja.

Heechan juga memeluk singkat Baekhyun, "Jaga noonaku, hyung. Jangan sampai dia kurus." ejeknya pada Hyein.

"Heh!" tegur Hyein dongkol.

Baekhyun dan Hyein berdiri di depan lift hingga Jiwon dan Heechan menghilang dibalik pintu besi. Keduanya kembali memasuki apartemen bernomor pintu 860 itu.

Hyein pov

Sementara aku menuju dapur membereskan sisa makanan, Baekhyun memilih membersihkan diri. Masih terdapat beberapa potong pakaiannya di dalam lemari, ia tidak repot untuk kembali ke apartemennya sendiri.

Aku memegangi dadaku yang berdetak tidak karuan, rasanya masih sama seperti dulu namun lebih menyakitkan. Detakan yang dulunya menghias semburat merah jambu di kedua pipi kini berbalik menghantamku telak.

"Hye."

Piring yang kupegang hampir tergelincir, melamunkan Baekhyun memang tidak baik bagi kesehatan jantung. Apalagi bentuk nyatanya berkeliaran di sekitarku. Aku meletakkan piring terakhir ke atas rak sebelum melepas sarung tangan karen merah muda. Lalu menarik nafas dalam.

"Kau melamun?" tanyanya yang kini sudah berdiri di sampingku. Rambut setengah basahnya dibiarkan berantakan. Tubuhnya telah berbalut kaos putih bertuliskan supreme di tengahnya, kaki jenjangnya berbalut celana pendek. Meski terlihat santai, ia masih tampan seperti biasa.

Puas menamati penampilannya, ragu-ragu aku mengarah pandangan pada maniknya. Seketika pula roh seakan tidak di tempatnya. Maniknya terarah padaku, menatap dalam dan sulit dimengerti. Irisnya berhasil mengunci pandangan pada mata indahnya.

Baekhyun menggigit bibir, kebiasaannya saat tengah gugup. Bibir berkhianat mengukir senyum atas dirinya. "Ada apa?" tanyaku akhirnya.

"Tidak." ia menggeleng lemah, "mau bersantai di balkon... bersamaku?" ajaknya, terselip ragu dalam suaranya. Tak urung aku mengangguk menyetujui.

Di sinilah kami, duduk di kursi rotan yang sengaja diposisikan untuk bersantai mengamati pinggiran kota dari balkon. Hening menggeluti, aku sibuk mendebat diri yang kembali goyah. Baekhyun pun sibuk bergelayut dalam pikirannya.

"Apa kau bahagia?"

Sejenak aku tertegun. Kesulitan menemukan jawaban pertanyaan sederhananya. Dalam diri bertanya-tanya apakah kini bahagia telah memihakku. Saat itu pula kesadaran mengejekku, sejak kapan kebahagiaan berada dalam genggamku setelah Baekhyun bukan bagian dari kita?

"Hye?" panggilnya pelan namun mendesak jawaban akan pertanyaannya.

"A-aku... aku bahagia." jawabku susah payah.

Netra tak sanggup menangkap sosoknya dalam pandangan. Sejak dulu kebohongan bukanlah diriku, tidak sekalipun mampu mengucap dusta dengan lantang dan tubuh membusung penuh yakin.

Sentuhan di dagu membuatku menatap Baekhyun yang entah sejak kapan sudah bersimpuh di hadapanku. "Tatap aku, katakan sekali lagi bahwa kau bahagia tanpaku." vokalnya membuatku bungkam.

Susah payah saliva kutelan guna membasahi tenggorokan yang seketika kering. Kalimat yang sudah menggantung di ujung lidah tidak mampu terucap.

Bermenit dalam posisi yang sama, aku membisu. Berkali mencoba mengatakan hal yang ingin Baekhyun dengar, berkali pula gagal. Nyatanya tubuhku pun tidak mampu membohongi hati. Aku tidak bahagia tanpanya.

"A-aku..." Suaraku tercekat, buliran bening tak mampu tertahan lagi.

Baekhyun tampak tertegun menatap diriku yang menyedihkan, kesedihan dalam diriku semakin nyata. Luka yang sejatinya belum mengering kembali membuka lebar. Isakan tak mampu terelakkan lagi. Kesakitan yang kusimpan selama hampir lima bulan ini menyeruak bak banjir bandang bersamaan dengan isak tangis.

"Hye..." Lirihan Baekhyun malah menyertai makian dalam diri untukku sendiri yang terlihat semenyedihkan ini di hadapannya.

Detik berikutnya duniaku runtuh, perputarannya seolah melanggar kaidah rotasi. Memupuk kesalahan dalam diriku kala bibir tipis Baekhyun menyapu lembut dan dalam. Tetesan air matanya mengenai kulit wajahku, aku terdiam bingung akan tindakan apa yang sepantasnya kuambil.

Sayangnya tubuhku berkhianat dan membalas setiap kecupan yang mampir di bibirku. Rasa perihnya bahkan lebih hebat dibanding ciuman perpisahan kami. Jemari lentik Baekhyun mengapus aliran air mata yang menganak sungai di pipiku. Begitu lembut membuaiku yang berhasil melupakan kenyataan dan lupa berpijak pada bumi.

Lama berbagi hangat dalam tautan, aku menepuk pundak Baekhyun menyampaikan rasa pengap karena kehabisan nafas. Ia menempelkan kening dan membiarkan ujung hidung kami bersentuhan. Matanya basah, terlihat bekas air mata disekitar hidung dan pipinya.

"Maaf."

Entah ia meminta maaf untuk menyakitiku atau minta maaf karena baru saja melakukan dosa bersamaku. Aku bergeming enggan menanggapi.

"Biarkan aku egois sekali lagi."

Tidak mengerti maksudnya, tapi aku yakin bukan hal yang baik.

My EX [BBH] [SUDAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang