"K-Kencan?"
"Wae? Kau tidak suka dengan sebuah kencan?"
"B-Bukan begitu. Bukankah kita--"
"Aku tahu. Bukankah juga sudah kubilang tadi bahwa ini sangat cepat dan sedikit gila? Kalau kau menolaknya, aku juga tidak apa-apa. Mungkin kau masih sedikit belum percaya padaku."
Jennie terdiam dengan tangan yang saling bertaut. Tidak lama kemudian, Bibi Song telah datang dan menghampiri keduanya.
"Kalian berdua masih disini? Kukira kalian berdua sudah pergi."
"Sepertinya, dia masih belum mau keluar dari rumahnya. Kalau begitu, aku pergi lebih dulu." Ucap Jimin dan tersenyum tipis pada Bibi Song sebelum akhirnya beranjak pergi.
Namun baru beberapa langkah, Jimin menghentikan langkahnya ketika sebuah suara memanggilnya.
"Jim..."
Dan suara itu membuatnya terdiam dan pria itu sedikit mengerutkan keningnya saat beberapa kilasan-kilasan memori maupun beberapa-beberapa suara yang terdengar samar-samar ia dengar.
"Eomma tidak akan merestuinya."
"Kalau begitu, jangan salahkan aku jika eomma tidak akan pernah mempunyai seorang anak lagi."
Dan pertahanan pria itu runtuh begitu saja. Ia jatuh terduduk di halaman depan rumah itu dengan memegangi kepalanya yang serasa berdenyut hebat.
"Tuan, kau baik-baik saja?"
Bibi Song yang melihat itu tentu saja beranjak mendekati Jimin yang bahkan tidak menanggapi perkataannya dan terus memegangi kepalanya.
"Tuan?"
Lagi. Tidak ada tanggapan sama sekali karena sang Tuan masih setia memegangi kepalanya yang berdenyut hebat.
Sedangkan sang gadis yang sebelumnya memanggil sang pria, kini hanya bisa terdiam di tempatnya dengan beberapa bulir airmata yang entah sejak kapan sudah turun membasahi wajahnya.
"Maafkan aku, Jim."
.
.
Jimin mengernyit, membuka matanya secara perlahan dan menatap sekeliling ruangan yang pria itu sudah yakini adalah kamarnya. Ia melirik ke arah punggung tangan bagian kirinya yang sudah tertancap infus.
Ia menghela nafasnya sembari mengingat apa yang terjadi padanya terakhir kali. Ia pergi ke rumah Jennie lalu berniat mengajak gadis itu untuk berkencan. Lalu--
Jimin beranjak bangun dari berbaringnya mengingat apa yang terjadi pada dirinya terakhir kali.
Ia yakin sepenuhnya jika apa yang ia dengar saat itu adalah suara dirinya dan juga Ibunya. Tapi apa itu? Pria itu bahkan tidak mengerti apa yang terjadi padanya.
"Sudah kubilang, Nyonya. Ini tidak akan berhasil. Anda bisa melihat sendiri bukan bagaimana Tuan Jimin?"
Jimin mengeryit kembali saat mendengar suara Bibi Song secara samar-samar. Bahkan wanita itu menyebut namanya.
Jimin melepaskan dengan paksa infusnya, membuatnya sedikit meringis karenanya dan beranjak bangun dari ranjang tidurnya.
Ia membuka perlahan pintu kamarnya dan menemukan sang Nenek yang kini berdiri berhadapan dengan Bibi Song yang masih menundukkan kepalanya.
"Tapi, bukankah ini bagus? Ada sedikit demi sedikit perkembangan dari Jimin. Buktinya, beberapa ingatannya mulai perlahan kembali."
"Saya tahu. Tapi Nyonya harus juga bisa melihat Nona Jennie sekarang. Ia begitu terpukul dan benar-benar sedih saat mendengar teriakan kesakitan Tuan Jimin tadi."
KAMU SEDANG MEMBACA
fate ❌ jenmin
Fanfiction[18+] ✔ Park Jimin, Pria dengan seluruh pesonanya. Hidupnya hanya dihabiskan dengan bersenang-senang dan membuat sang ayah geram terhadap putranya tersebut. Ia pun dikirim oleh sang ayah ke Jepang dan tinggal bersama sang Nenek. Takdir mempertemukan...