Chapter 18

48 7 0
                                    

Sekarang aku sedang berada di mobil Ardian, keheningan menyelimuti perjalanan kami. Kami tenggelam dalam pikiran kami masing-masing.

"Bagaimana kronologi ceritanya?" tanyaku sendu.
"Gue gak tau ka, gue cuma dikabarin Rizka tadi pagi, dan Rizka bilang kalau Rani belum pulang dari semalam" kata Ardian.

Selama Ardian menyetir, aku terus memperhatikan jalanan yang tampak lebih lenggang dari biasanya. Aku terus memikirkan kemungkinan-kemungkinan yang akan terjadi pada belahan jiwaku itu.

Aku tidak bisa memisahkan pikiran negatif yang terus singgah di pikiranku. Saat tidak sengaja melihat kaca spion, aku terus memperhatikan mobil silver yang terus mengikuti kami.

Aku merasa curiga dengan mobil itu, dan terus berfikir negatif mengenai mobil itu.

"Ar, kenapa mobil dibelakang terus mengikuti kita?" tanyaku penasaran.
"Entahlah, gue juga gak tau, gue kira cuma gue aja yang ngerasa kayak gitu" ujarnya sambil melirik ke arah spion.

"Coba lo setir lebih cepat" ujarku tanpa mengalihkan pandanganku dari spion.

Mobil kami pun melesat dengan sangat kencang, beruntung tidak ada polisi yang mengejar. Mobil itu terus mengikuti kami, hingga akhirnya mobil itu berada di samping mobil kami dan melaju lebih cepat dari kami.

Saat mobil itu sudah mendahului mobil kami dan tepat berada di depan kami, tiba-tiba ia mengerem mendadak dan refleks Ardian pun ikut menginjak rem dengan cepat.

Kepalaku terantuk bagian dalam mobil yang ada dihadapanku hingga mengeluarkan darah. Kepalaku yang belum sepenuhnya sembuh kembali berdenyut-denyut.

"Astagfirullah, ka lo gak kenapa-napa?" tanyanya panik.
"Udah lo santai aja, gue gak papa kok" ucapku sambil meringis.

Aku mengambil tisu yang ada di dash board dan mengelap darah yang keluar dari kepalaku.

Orang yang mengendarai mobil itu keluar dan menampakkan wujudnya.

"Bimo?" gumam kami terkejut.

Dia keluar dari mobil dan berlari tergopoh-gopoh menghampiri mobil kami.

Dia mengetuk mobil kami dengan panik. Panik?? Apa benar dia panik, lalu kenapa dia panik?

Kami berdua keluar dari mobil dan berhadapan dengan Bimo.
"Lo mau mati ya??! Kalau mau mati gak usah ajak-ajak!!" bentak Ardian.

Aku melihat Bimo dengan sinis. Pasti kalian sudah tahu kenapa aku menatapnya dengan sinis, ya semua itu karena hubungan yang terjalin antara dia dan Rani.

Dia menatap kami dengan sendu. Tatapannya tampak sedih, dan penampilannya pun tidak seperti biasanya, sangat berantakan.

"Please tolong gue" pintanya.

Aku dan Ardian saling melempar pandangan. Kami bingung dengan apa yang diucapkan Bimo barusan.

Setelah lama terdiam, akhirnya Ardian bersuara.
"Tolong apa maksud lo?"
"Tolong bantuin gue mencari Rani" jawabnya.

Kami berdua terperanjat dengan ucapannya. Tadinya kami berpikir jika hilangnya Rani ada hubungannya dengan dia, tapi mendengar ucapannya barusan menyurutkan kecurigaan kami padanya.

"Sebenarnya apa yang sudah terjadi?" tanyaku padanya.
"Waktu itu aku ke toilet, dan aku meninggalkan Rani di lantai dansa untuk menyaksikan adegan lo sama Rizka" katanya sambil melihat ke arah Ardian.

"Adegan apa maksud lo" tanyaku sambil melihat ke arah Ardian.

Wajah Ardian memerah karena malu. Dia terdiam tak bersuara, bahkan dia selalu menghindari kontak mata denganku.

Perjalanan Cinta 4 Sekawan (Belum Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang