Chapter 45

21 6 0
                                    

Maaf yah readers... Tadi malam author ada reuni kecil-kecilan bareng teman SD.. kebayang dong gimana ramenya yakan... Jadi sorry dorry worry okey nggak sempet up. Sebagai permintaan maaf nanti author bakalan up satu chapter tambahan...

Jangan merajuk lagi yah 🙏🙏. Manusia itu tempatnya ingkar janji, tapi kalau nggak janji kalian bakalan kabur dan ninggalin author sendirian 😰 kan sedih authornya. Oke nggak bakalan basa basi lagi. Check this out 💅💅

***

"Aku bilang CUKUP," bentaknya.

"Mommy..." lirih suara kecil dari ujung tangga membuat mereka semua serentak menoleh ke arah ujung tangga yang memperlihatkan seorang pria kecil yang tengah meringkuk ketakutan.

Spontan tubuh Rizka bergerak dengan sendirinya. Dia menggendong Adit yang tengah menangis ketakutan sambil memeluk boneka teddy bearnya. Rizka menenangkannya dengan suara halus dan nyanyian, dia beranjak pergi dari sana menuju kamar tamu yang di lantai satu untuk menidurkan Adit kembali.

"Bahkan anak lo sendiri ketakutan ngeliat lo kayak gini. Udah deh nyerah aja sama ambisi lo ngancurin rumah tangga mereka," ucap Dilla disertai pandangan yang sinis dan tajam.

"Dan membiarkan jalan itu bahagia sama pujaan gue? Huh...jangan harap!"

Siska beranjak pergi dari meja makan menuju pintu keluar. Dia mengambil sebungkus rokok dari saku celananya lalu menyalakan rokok itu dengan gerakan santai.

"Gue mau ke klub...kalau kalian mau ikut silahkan," tawar Siska dengan kekehan senang. Rani yang melihat itu hanya bisa mendengus lalu pergi beranjak dari sana meninggalkan sahabat bersama wanita gila itu.

"Bahkan lo nggak pantes disebut seorang ibu. Disana anak lo ketakutan ngeliat kelakuan lo, dan dengan santainya lo pergi ninggalin anak lo untuk ke klub?!," maki Dilla dengan berapi-api. Tangannya terus saja mengacung-acungkan pisau buah yang ada di tanganya, berharap Siska dapat melihat arah tangannya yang menunjuk arah kamar tamu.

"Eh buntel, lo bisa diem nggak sih? Nggak usah ceramahin gue. Lo nggak pantes jadi ustazah. Udah deh pusing kepala gue mikirin elo, lebih baik gue one night stand."

Rani yang mendengar dari arah kamar langsung memaki-maki tidak jelas. Pasalnya Siska meninggalkan anaknya yang masih kecil kepada mereka. Apa dia tidak khawatir anaknya itu bakalan diracuni.

Dengan rasa dongkol dia merebahkan badannya di kasur king size miliknya. Ralat, tapi sewaan mengingat mereka hanya menyewa rumah sebesar ini dalam kurun waktu seminggu.

Tanpa menunggu waktu lama Rani tertidur dalam bekapan malam tanpa di temani suami tercinta. Bahkan bukan hanya di seorang, tetapi kedua sahabatnya juga tidur tanpa ditemani suami masing-masing. Namun dalam pikiran Rani, mereka berdua sudah memiliki penjaga kecil di perut mereka. Masih dalam alam bawah sadarnya, Rani mengelus-elus perutnya lalu tersenyum sepanjang malam.

***

"Tante-tante...angun," teriak anak kecil dalam satu kamar yang tentram.

Rizka membuka matanya dengan perlahan, matanya berusaha menyesuaikan cahaya terang yang ada dalam kamar. Matahari yang menyilaukan menjadi pembuka terhangat sepanjang hidup seorang manusia.

"Tante ayo angun..."

Lengan Rizka ditarik-tarik hingga kesadarannya terkumpul kembali dengan cepat. Dia melirik seorang bocah pria yang kini sedang memandangnya dengan tatapan khawatir.

"Ada apa dengan tatapan mata itu sayang." Rizka tersenyum, namun senyumnya menghilang kala Adit memandangnya dengan tatapan cemas dan khawatir.

"Ada apa? Apa ada yang sakit?" tanya Rizka cemas.

Adit menggelengkan kepalanya lalu menunjuk arah luar dengan pandangan mata ingin menangis. Dahi Rizka mengkerut namun dia berjalan keluar untuk memastikan hal apa yang di khawatirkan oleh bocah kecil itu.

Rizka mematung menyaksikan pemandangan yang membuat jantungnya hampir copot. Di sana Dilla berdiri sambil mencengkram perutnya dengan erat. Wajahnya pucat dan wajahnya basah oleh keringat.

Dilla terus mengelus pelan perutnya berharap dapat meredakan sakitnya. Ia terus menerus mengeluh kesakitan. Rizka berpikir itu hanya kontraksi palsu, mengingat usia kandungan Dilla yang belum memasuki usia delapan bulan.

Rizka panik dan terus berteriak memanggil Rani yang tak kunjung bangun. Adit bilang bahwa pintu kamar Rani terkunci sedari tadi. Jangan heran mengapa Adit bisa melakukan hal yang tidak bisa dilakukan oleh anak seusianya karena dia adalah anak cerdas dengan IQ tinggi.

Akhirnya setelah beberapa menit Rizka berteriak Rani terbangun dan membuka pintu kamarnya dan berjalan pelan ke bawah. Dengan muka bantalnya dia terus saja menguap dan sempoyongan.

Setelah dilihatnya kondisi Dilla yang kesakitan, seketika rasa panik menyerangnya bahkan lebih heboh dibandingkan dengan Rizka.

"To-tolong katakan pada suamiku bahwa aku akan me-lahirkan," ucapnya dengan terbata-bata.

Rani mengangguk patuh lalu tergopoh-gopoh berlari ke arah kamar untuk mengambil ponselnya. Sedangkan Rizka dan Adit sibuk mengelus punggung Dilla berharap bisa meredakan rasa sakitnya.

Semakin berjalannya waktu, perut Dilla semakin sakit dan emosinya tak terkendali. Ia terus saja mengumpati suaminya yang tak kunjung datang. Segala sumpah serapah ia lontarkan sebagai lampiasan dari rasa sakitnya.

"Sabar Dil, lo berdoa aja moga suami lo cepet sampe."

"Diem lo, nggak usah banyak bacot. Lo nggak tau rasa sakitnya itu gimana!!! Ini sakit banget jadi lo diem aja!!" maki Dilla. Niat hati ingin menenangkan malah jadi sambaran emosi Dilla yang meluap-luap.

Rani yang mendengarnya meringis kecil dan duduk di sofa ruang tamu.

"RAAANN!!! SURUH ALPAN PULANG SEKARANG JUGA!! GUE MAU LAHIRAN! SUMPAH DEMI TUHAN KALAU DIA NGGAK PULANG GUE BAKALAN GOROK KEPALA DIA!" maki Dilla dengan membabi buta. Rani yang merasa dirinya dipanggil langsung dengan cepat mengetik nomor ponsel suami Dilla yang sudah tidak aktif sejak beberapa menit setelah dia menelpon untuk pertama kalinya.

"Apa nggak ada niatan kalian bawa gue ke rumah sakit?! Hah? Perut gue sakit bego."

Lagi-lagi Rizka terkena amukan amarah dari Dilla. Namun dia dengan segera menghubungi satpam komplek karena tidak memiliki kendaraan di rumah.

Dengan meringis ringis menahan sakit dan tangis. Dilla berjalan dengan tertatih menuju pintu keluar yang baginya kali ini sangat jauh dari jangkauannya.

Setelah sekian lama menunggu akhirnya mobil tetangga yang dipinjam pak satpam datang menghampiri rumah mereka.

"Astagfirullah...non itu air ketubannya udah pecah. Cepet bawa masuk ke mobil non," perintah satpamnya.

Rizka dengan panik menuntun Dilla menuju mobil diikuti oleh Rani dan Adit. Mereka semua khawatir melihat wajah pucat pasi yang sudah sedari tadi mereka saksikan. Mereka panik karena tidak ada pengalaman dalam hal persalinan seperti ini.

"Non yang kuat yah, mungkin sebentar lagi sakitnya bakalan hilang," ucap satpam itu dengan iba.

"Diam pak!! Bapak nggak tau rasanya kayak apa! Jangan sok tau jadi orang!," bentak Dilla dengan garang. Sikapnya yang garang seperti biasa sudah terkalahkan dengan kegarangannya saat mau malahirkan begini.

Bahkan Rani dan Rizka menjadi korban cakaran kesakitan yang dialaminya. "Sial, kenapa sakit banget sih!! Awas aja kalok setan itu muncul di hadapan gue, bakalan gue gantung tuh kepala."

Satpam itu hanya bergidik ngeri saat membayangkan wanita kecil itu menggatung kepala suaminya. Dengan was-was dia menjauhi calon ibu itu.

***














Jangan silent reader doang dong, di vote juga, kalok bisa juga di komentari biar author tau gimana selera bacaan kalian

Oke 👌

Next Chapter

Perjalanan Cinta 4 Sekawan (Belum Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang