Chapter 47

15 2 0
                                    

Lagi-lagi ngecewain kalian 😢, sungguh author nggak bermaksud untuk php-in kalian. Author lagi demam, berat sekali kepala ini. Pegang hp kepala ini rasanya nyut-nyutan terus, jadi bentar pegang bentar nggak. Nulisnya jadinya setengah-setengah deh.

Tanpa basa-basi lagi Check this out.
***

"Lo yakin Dil?" tanya Rani dengan wajah memelas. Sulit sekali melepaskan kepergian Dilla, tapi bagi mereka kebahagiaan Dilla adalah kebahagiaan mereka juga.

"Gue yakin...karena sekarang gue seorang istri dan seorang ibu. Jadi kemana pun suami gue pergi gue bakalan ikut, walaupun ke ujung dunia sekalipun."

"Alah lebay lo. Kami ini bukan nggak rela lo pergi, cuma gue nggak rela aja lo gotong-gotong tuh ponakan gue."

Dilla nyengir kuda lalu menggeret kopernya menuju arah mobil. Yah waktu seminggu terasa begitu cepat untuk mereka berada di rumah sakit. Dan kini Dilla tak lagi pulang ke rumah sewaan Rakha, melainkan akan pergi ke Jepang dan menetap di sana.

Semua urusan paspor hingga barang bawaan telah diurus oleh suaminya dengan cepat. Dilla hanya tinggal diam dan menjalaninya.

Alpan dipindah tugaskan ke universitas ternama di Jepang, dengan alasan bahwa Alpan adalah dosen termuda dan paling berbakat sehingga pihak universitas Jepang merekrutnya langsung untuk bekerja di sana.

Dengan berat hati mereka saling berpeluk erat untuk melepaskan kepergian sang sahabat tercinta. Dengan mata berkaca-kaca mereka manatap kepergian salah satu pelengkap hidup mereka.

Mereka saling melambai dan mengucapkan kata-kata perpisahan yang menyakitkan. "Gue pasti tetep ngabarin kalian kok, tenang aja. Salam yah sama orang tua dan suami kalian. Kalau gitu gue pamit dulu. See you again."

Setelah mobil yang di tumpangi oleh Dilla dan suaminya tak terlihat lagi dipandangan mata. Rani dan Rizka langsung beranjak dari sana untuk menuju parkiran. Namun kedatangan Siska membuat langkah mereka berhenti dan malas untuk melanjutkan langkah.

"Ternyata si buntel udah pergi?" tanya Siska dengan santainya. Yah, niat hati ingin menjemput Adit yang selalu setia di samping Rizka dan itu membuat Siska sedikit dongkol. Tetapi dia langsung tersenyum licik karena sekarang dia berpikir bahwa salah satu penghambat kehancuran Rizka telah pergi tanpa diusir sekalipun.

"Lo ngapain ke sini sih? Kalau bisa lo itu nggak usah balik lagi ke rumah. Tinggal aja di klub kesukaan lo itu," sembur Rani dengan tajam. Emosinya selalu mendidih jika berhadapan langsung dengan Siska yang sudah dicapnya sebagai pelakor.

"Terimakasih atas perhatiannya," balas Siska lalu menggeret anaknya yang sedari tadi ada di samping Rizka. Berulang kali Adit meringis kesakitan namun tetap saja tak digubris oleh ibunya itu.

***

Beberapa hari kemudian.

"Sepi yah nggak ada omelan yang gue denger," keluh Rani.

"Kuping gue malah capek dengerin omelan lo tiap hari yang selalu adu mulut sama tuh pelakor," gerutu Rizka.

"Abisnya dia cari gara-gara mulu sama gue," elak Rani.

Sejenak mereka terdiam dan sibuk dengan sarapan mereka masing-masing. Namun suara deru mobil membuat mereka saling bertatapan dan mengembangkan senyum.

Dengan semangat yang membara mereka berdua berlari ke arah pintu masuk dengan tergesa-gesa. Mereka cekikikan tidak jelas dan menggoda satu-sama lain.

"Aduh..." Tiba-tiba saja Rizka tersandung dan terjatuh membuat tulang keringnya terasa perih dan ngilu.

Rani yang tidak mengetahui peristiwa itu tetap berlari dan meninggalkan Rizka di ruang tamu. Dengan tertatih-tatih Rizka berjalan pelan ke arah pintu dan mendapatkan suami tercintanya yang sudah pulang dengan sehat serta selamat.

"Sudah pulang?" tanya Rizka dengan senyum tulus yang tak pernah pudar. Dia mengambil jas serta tas kerja milik suaminya lalu menyalami tangan besar Ardian.

"Mau dimasakin apa?" tanya Rizka kembali setelah tak mendapat respon dari Ardian. Suaminya itu malah melirik lalu memberi tatapan menilai dari atas hingga kebawah. Kemudian dia seperti menimbang-nimbang sesuatu yang ingin diucapkannya atau tidak.

"Sotong."

Singkat, padat dan jelas. Kalimat itu mewakili kegelisahan hati Ardian akan wajah istrinya itu. Rizka memasang wajah dingin dan tak berekspresi.

Istrinya itu meninggalkan dirinya sendiri di ruang tamu. Dia meletakkan tas dan jas milik Ardian di kamar mereka lalu berjalan pelan dengan tertatih-tatih menuju ke arah dapur.

Ardian mengikuti langkah istri tercintanya itu dari belakang, menuju arah dapur dan memperhatikan wanitanya mengiris-iris bawang dan bumbu-bumbu lain dengan cekatan.

"Apa kau marah?" tanya Ardian seraya memperhatikan mimik wajah Rizka yang tetap tanpa ekspresi.

"Tidak."

"Kau marah." Final, itu bukanlah pertanyaan melainkan pernyataan. Rizka meletakkan pisaunya kembali lalu menatap Ardian seraya melipat tangannya di depan dada.

"Tentu saja aku marah. Ada apa dengan dirimu? Terakhir kali kau menyuruh seorang wanita yang melahirkan anakmu untuk tinggal di rumah ini. Dan sekarang kau meminta aku memasakkanmu sotong, yang mengingatkanmu kepada mantan kekasihmu Anna?"

"Aku ini istrimu, tapi tak pernah merasa bahwa aku itu lebih spesial dari yang lainnya. Aku mengandung anakmu, namun kau tak pernah memanjakanku. Yang kau tau hanya menyakitiku sepanjang waktu," sambung Rizka lalu terisak pelan.

Ardian diam lalu memeluk Rizka dengan erat. Dia mengusap-usap punggung istrinya untuk meredakan tangisan Rizka yang semakin membasahi kemejanya.

"Sungguh aku tidak bermaksud untuk menyakitimu. Aku hanya melakukan apa yang menurutku benar. Aku juga tidak mengingat Anna, hanya saja tiba-tiba aku sangat menginginkan sotong yang kau masak," jelas Ardian panjang lebar.

"Itu hanya akal-akalanmu saja. Kau pikir aku tidak tau bahwa kau masih menyukai Anna. Aku ini istrimu, gerak-gerikmu selalu aku pantau."

"Oh ayolah sayang, kau tau beberapa hari ini aku selalu mual setiap pagi. Dan aku selalu menginginkan makan-makanan yang mengandung banyak lemak. Aku rasa ini pengaruh kehamilanmu," papar Ardian dengan jelas.

"Mungkin saja."

"Daddy..." panggil seorang bocah kecil yang langsung menghambur ke pelukan sang ayah. Ardian menyambutnya dengan baik seakan-akan mereka sudah kenal sejak lama.

"Hei jagoan...kau sudah makan?"

Adit menggeleng dan tersenyum membuat kedua orang dewasa itu mau tidak mau ikut tersenyum bersamaan.

"Kalau begitu kau harus makan sekarang sama daddy. Karena tante Rizka sudah masak sotong yang enak...banget," ucap Ardian untuk membujuk anaknya itu agar mau makan.

"Adit mau makan baleng daddy," sahut Adit dengan manjanya.

"Kalau begitu let's go." Ardian menggendong Adit ala-ala pesawat terbang yang membuat anaknya itu tertawa lepas.

Rizka yang menyaksikan itu hanya tersenyum manis lalu berubah menjadi senyum kecut kala mengingat jati diri anak yang di gendongan suaminya itu.

Dia menghela napas panjang lalu kembali melanjutkan masaknya yang tertunda. Sementara ayah dan anak itu duduk di meja makan sambil berceloteh ria.

"Dad, tadi Adit lihat om tampan," adu Adit dengan logat cadelnya yang masih kentara.

"Oh ya? Dimana?" respon Ardian.

"Di depan. Om itu lagi peluk tante Ani. Abis itu tante Ani dicium di sini," Adit menunjuk bibirnya sambil mengerucut lucu.

Rizka dan Ardian hanya saling lirik lalu tertawa terbahak-bahak. Adit memandang mereka dengan bingung lalu ia ikut tertawa terbahak-bahak walau tidak tahu apa yang ditertawakan.

***

Next Chapter👇
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.
.

Follow akun ig author yah

Ig :@dillamawarni1102

Perjalanan Cinta 4 Sekawan (Belum Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang