Chapter 40

25 2 0
                                    

"Kau mau apa?" tanyaku panik saat dia menyeringai dengan tatapan ingin membunuh.

"Kau tak mengenaliku?" tanyanya. Yah sekarang aku yakin bahwa suamiku benar-benar memiliku alter ego yang lain. Dalam waktu sekejap pun aku bisa membedakan mereka.

Di hadapanku kini yang aku tahu adalah alter ego milik suamiku. Cukup menyeramkan bagiku, yang asli saja sudah menyeramkan ditambah yang ini lebih-lebih menyeramkan.

Dan kini aku berharap bahwa aku ingin suamiku lah yang berada di sini. Tapi dia juga suamiku, dia hanya bentuk ketidak sempurnaan hidup suamiku. Apa aku juga harus mencintainya seperti aku mencintai Ardian suamiku? Apakah aku bisa mencintai dua orang dalam satu tubuh?.

Aku berjalan mundur untuk menghindari dirinya. Aku tak pernah kepikiran bahwa pribadi lain dari suamiku akan menghadapiku secara langsung.

"Siapa namamu?" tanyaku. Aku berusaha keras agar tidak terlihat takut di matanya. Tapi jika boleh jujur sekarang kakiku sudah bergetar dan goyah seperi jeli.

"Aku?" tanyanya sembari menunjuk dirinya sendiri.

Aku mengangguk membenarkan tingkahnya itu. Setelah itu dia tertawa kencang, namun tawanya itu tidak menyiratkan kebahagiaan, melainkan kekecewaan, kesedihan, dan kemurkaan.

Aku tahu itu semua karena aku sempat belajar mengenai kepribadian seseorang dari temanku saat di kampus dulu.

"Kau sama saja seperti yang lain!" geramnya.

Aku terkejut dengan nada bicaranya yang menyiratkan emosi itu. Menurut apa yang pernah aku pelajari, nada bicara seseorang menggunakan nada rendah seperti itu lebih menyiratkan emosi dan juga kerahasiaan.

"A-Apa maksudmu?" tanyaku.

"Kau takut?" balasnya. Tentu saja aku kesal dengan nada bicaranya yang terkesan meremehkanku. Tapi dia benar bahwa untuk saat ini aku sangat ketakutan.

"T-Tentu saja tidak" bentakku.

Dia tekekeh lalu berjalan perlahan mendekatiku. Aku panik tentu saja, pasalnya dari secarik kertas yang ku baca itu, alter ego milik Ardian ini mempunyai nafsu membunuh yang sangat pekat.

Kau tau ikan hiu bukan? Ketika ikan hiu mencium aroma darah, maka nafsu membunuhnya semakin meningkat, sama seperti dirinya yang saat ini diselimuti aura hitam yang mengancam.

"Kau takut." Final, karena itu bukan pertanyaan melainkan pernyataan.

Tok... Tok... Tok...

Huft. Tanpa bisa kuhindari helaan napas kelegaan keluar dari mulutku namun tentu saja hal itu juga tidak terlepas dari mata tajam milik suamiku.

Ceklek...

Aku membukakan pintu dan meyambut tamu yang tak lain adalah Dilla dan suaminya. Aku mengernyit heran saat mereka dengan kompaknya cengengesan di hadapanku.

"Sepertinya pak Alpan terpengaruh sikap absurdnya Dilla" batinku. Melihat mereka yang akrab seperti ini malah membuat diri mereka aneh dimataku.

"Siapa sayang?" tanya Ardian di belakangku.

Aku menegang saat dia dekat denganku dan merangkulkan tangannya di pundakku.

"Siapa bagaimana maksud lo? Kan lo bisa liat dari jarak segitu Ardian? Apa sekarang mata lo ikutan katarak kayak Rakha yah?" tanya Dilla sarkatis.

Aku meringis mendengar celotehan kasar yang khas dengan Dilla. Entah kenapa selama mengandung, Dilla tak pernah menyukai Ardian. Apakah bayinya juga merasakan aura mengancam yang keluar dari tubuh Alter ego milik suamiku? Entahlah, aku juga tidak mengerti.

"Sayang... " tegur suaminya.

Aku terkekeh melihatnya yang sudah tidak berkutik. Aku sendiri heran melihatnya yang akrab dengan suaminya.

"Bukannya lo mau nge... em.. em." Dilla membekap mulutku dan cengengesan seperti biasanya. Walau tanganya bau terasi, tapi tetap saja aku bersyukur karena dengan begitu rangkulan Ardian terlepas dari tubuhku.

***

Dilla POV

Aku langsung membekap mulut Rizka saat dia ingin berkata "NGERJAI" suami tampannya. Pasalnya bukannya malah mengerjai malah dia jadi uring-uringan sendiri karena hormon ibu hamil yang ingin ngidamnya itu dituruti.

Jika Rizka sampai keceplosan bicara seperti tadi, tentu saja hal itu gawat. Bisa-bisa suamiku itu tidak mau membelikanku batagor, walau aku tidak yakin dia bisa mendapatkannya di negara Dubai ini.

Aku membawa Rizka ke dalam disusul oleh Ardian dan suamiku. Kini mereka berdua duduk berdampingan di sofa yang ada, sedangkan aku dan Rizka duduk di kasur. Entah kenapa selama hamil aku tidak menyukai Ardian, menurutku dia itu penuh dengan kepalsuan.

"Begini, saya ingin menitipkan Dilla sebentar di sini karena saya mau mencari batagor, kalian tahu kan ibu hamil itu banyak maunya" sindir Alpan kepadaku.

Tentu saja aku langsung memelototinya. Dia tersenyum kecut saat ku tatap seperti itu, karena dia tahu jika pelototanku itu tandanya tidak ingin dibantah.

"Sepertinya saya akan sangat merepotkan kalian" kata suamiku itu dengan sungkan.

Aku menaikkan satu alisku untuk mencatat perkataan dia bahwa aku "MEREPOTKAN" . Awas saja nanti, setelah aku melahirkan nanti aku dan anakku akan menjauhinya seperti wabah, lihat saja.

"Tidak kok pak, saya malah senang malam ini ditemani oleh Dilla, karena malam ini aku sulit sekali untuk tidur" jelas Rizka.

Aku menoleh terkejut saat mendengar ucapan Rizka. Sepertinya dia memiliki masalah, biasanya jika dia sulit tidur maka ada masalah yang membebaninya. Tapi aku mengurungkan niat untuk bertanya, barang kali ini masalah rumah tangga.

"Begitu yah, kalau gitu saya tinggalkan Dilla disi-"

"Tidak... tidak... tidak, saya akan menemani Dilla di kamarnya agar nanti jika dia ketiduran, bapak tidak perlu menggendongnya lagi, membayangkannya saja membuat saya kasihan sama bapak, pasti berat" sela Rizka.

Aku melongo dibuatnya, lalu dengan gerakan rafleks aku menjitak kepalanya dan mendapatkan tatapan tidak menyenangkan dari suaminya.

"APA!!?" bentakku kala Ardian memelototiku.

Hening...

Setelah kebisuan panjang itu, akhirnya aku merengek untuk cepat dicarikan batagor, dengan begitu tak ada lagi suami yang galak dan otoriter seperti suamiku.

Setelah kepergian suamiku, aku mengajak Rizka ke kamar hotel yang aku tempati. Tapi lagi-lagi si brengsek itu malah terus memperhatikan setiap pergerakan kami

Sebenarnya apa masalahnya denganku? Apa dia tidak menyukai kehadiranku seperti aku tidak menyukai dirinya? Apa peduliku? Toh juga dia hanya bajingan.

Setelah melihat masa lalunya dengan Anna yang terbilang cukup menyimpang, tentu saja aku juga tidak menyukainya karena sifat angkuhnya itu.

"Ar.. kami pergi dulu ke kamar Dilla" pamit Rizka.

"Tidak boleh!" jawabnya.

Aku melotot padanya, lalu mengerucutkan bibirku tatkala dia balik melototiku.

"Tapi kami mau ke sana, kau kan sudah besar untuk apa lagi aku temani" tegas Rizka.

Aku iri melihatnya, kenapa aku tidak bisa tegas seperti itu saat menghadapi keposesifan suamiku itu.

"Dia juga sudah besar, sudahlah tinggalkan saja dia diluar, toh juga nanti balik sendiri"

Ingin sekali ku jambak-jambak rambutnya itu. Dia kira aku kucing yang akan balik ke tuannya kala di usir? Huh... Dasar si brengsek.

"Aku pergi" pamit Rizka melangkah lebar ke arah pintu sambil menggandengku.

"Tidak akan ada yang PERGI" bisik Ardian dengan penekanan.

***

Next chapter...



























💜💜

Perjalanan Cinta 4 Sekawan (Belum Revisi) Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang