17 : Peluru yang Aku Lepas, Sekarang Putar Balik ke Arahku

807 94 47
                                    


●    17   

Peluru yang Aku Lepas, Sekarang Putar Balik ke Arahku



Semua orang di UKS sekarang menatapnya bingung.

Dengan canggung Darwin memaski ruangan, membiarkan pintu UKS tertutup rapat. Dia menggaruk singkat rambutnya.

"Ngapain, Win?" Michelle maju selangkah mendekati Darwin.

Aku mengalihkan pandangan ke luka di tanganku.

"Eh.. mau ngecek Renata aja. Tadi aku denger katanya jatuh." Itu membuatku menoleh ke arahnya. "Oh." Aku bisa mendengar suara Michelle. "Telapak tangannya kegores."

Darwin melangkahkan kakinya mendekat. "Gimana, Ren? Sakit?"

Aku menggeleng. "Nggak apa-apa kok. Kegores dikit aja. Ini juga udah diobatin sama Dokter Kamila." Aku mencoba mencairkan suasana yang agak canggung.

"Bayar ya, nak," celetuk Kamila.

"Pake daun ya, Buk." Aku tersenyum jail.

"Dikira zaman Paleolitikum apa?!"

Darwin tertawa kemudian mengangguk. "Kalau gitu aku balik dulu," katanya dengan canggung.

"Iya. Thanks," jawabku sambil tersenyum.

Begitu Darwin keluar, suasana hening. Tatapanku bertemu dengan Louis, dia melihatku lekat. Aku yakin dia sedang berpikir tentang hal yang sama.

Otakku kesal tapi hatikku berdebar.

Crap. Ngapain juga dia datang seperti itu?

---

Aku sedang duduk di kantin sendirian, menunggu pesanan nasi gorengku. Kamila menemani Michelle ke ruang guru dan Cia sibuk di ruang OSIS. Sementara Louis dan Johan ada keperluan dengan pelatih basketnya.

Aku mengetuk-etuk meja kantin dengan jariku membentuk sebuah pola nada.

Tiba-tiba duduk seorang cowok yang berhasil menghentikan kegiatan kecilku.

"Hei Ren," sapa Darwin.

"Hei." Aku menyapanya dengan senyum. Mengingat kejadian di UKS, aku jadi tidak enak karena sudah menjauhinya. Aku pikir mungkin tidak masalah membiarkannya duduk di sini.

"Nunggu apa?" tanyanya.

"Nasi goreng." Aku menjawab sambil menunjuk stan di mana aku memesan.

Dia mengangguk. "Aku boleh tanya sesuatu?"

"Apa?"

"Kenapa njauhin aku?"

Aku sedikit terkejut mendengar pertanyaannya yang tidak basa-basi. Aku berpikir beberapa saat sebelum menjawabnya. "Njauhin apaan?"

"Nggak njauhin?" Aku menggeleng. "Bagus deh," ucapnya sambil tersenyum lebar.

Aku hanya tertawa. Dia kemudian memesan nasi goreng juga dan duduk kembali di tempatnya. Dia memulai membahas mengenai band-nya, yang aku dengarkan dengan saksama.


Berbeda dengan Louis yang biasanya mencetuskan sesuatu yang membuatku kesal atau terkadang berhasil membuatku tertawa, Darwin cenderung mengambil topik kecil atau menceritakan tentang dirinya.

LOUISI ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang