37 : Tanpa Ponsel, Apa Bisa Aku Hidup?

713 48 35
                                    


●   38   

Tanpa Ponsel, Apa Bisa Aku Hidup?


Jujur saja saat aku melihat mobilnya, sadar kalau dia datang, yang ingin kulakukan adalah berlari dan jatuh ke dalam pelukannya. Aku ingin dia menepuk punggungku, mengelus pelan kepalaku, dan dengan lembut menyemangatiku.

Tetapi begitu mendengarnya bersuara, aku jadi sedikit kesal. Apa harus dia cemburu di saat seperti ini? Apa harus dia berbicara sekasar itu di depan kakak kelas yang tidak dikenalnya? Apa harus dia membuatku tidak enak di depan orang yang sudah rela membuang waktu dan bensinnya untuk mengantarku pulang?

Aku menyadari dia masih mengenakan pakaian dan sepatu basketnya.

Aku menghiraukannya dan menghadap ke Kak Gildan. "Kakak pulang aja. Makasih udah antar aku," ucapku dengan senyum.

Kak Gildan membalas senyumku dan mengangguk. Dia melirik sekilas ke Louis sebelum masuk ke mobil dan pergi.

"Siapa itu?" ulangnya dengan nada tegas.

Aku menatapnya malas. "Kak Gildan, kenapa?!"

"Ngapain dia antar kamu?" tanyanya.

"Soalnya nggak ada yang antar. Pacarku sibuk lomba basket," ucapku.

Wajahnya berubah kesal, dia menghela napas kasar. "Kamu kenapa sih?!" Louis mulai berteriak. "Dari kemarin marah-marah terus. Kamu kira aku nggak capek?! Aku juga capek, Ren."

Aku membuang napas. Memikirkan hari ini saja aku sudah lelah. "Aku dengar dari Kamila, kamu menang. Selamat," ucapku datar sebelum berbalik dan masuk ke rumah.

"Aku belum selesai ngomong," katanya dengan nada lelah. Aku memegang pintu pagarku, sempat ragu untuk menutupnya atau tidak.

"Aku capek, mau istirahat," ucapku sebelum menutup pagar dan segera masuk ke dalam rumah.

Begitu masuk aku langsung menuju kamarku. Seketika air mataku mengalir. Air mata yang sudah aku tahan sejak tadi, air mata yang tidak mau kutunjukkan padanya.

Aku merasa bodoh. Merasa bodoh karena hanya masalah kalah lomba aku menangis. Merasa bodoh karena harus marah-marah dengannya. Merasa bodoh karena aku tahu aku merasa tidak suka kalau dia menang sedangkan aku kalah.

Merasa bodoh karena selalu memilih untuk berpura-pura kuat. Merasa bodoh karena terlalu gengsi untuk minta pelukannya. Merasa bodoh karena tingkah lakuku belakangan ini. Merasa bodoh karena aku sering marah dan mengiraukan Louis dan anak-anak saat aku belajar Fisika mati-matian, tapi ujung-ujungnya aku kalah.

Merasa bodoh karena jerih payahku berminggu-minggu tidak menghasilkan suatu apa pun. Merasa bodoh, lelah dan tidak adil tetapi aku hanya bisa tengkurap di kasur dan terus menangis.

---

Suara Mama yang memanggilku membuat aku terbangun. Aku mengerutkan dahiku dan menarik selimut sampai menutupi kepalaku untuk menghindari suara itu.

"Lho! Dipanggil bukannya bangun.. Ayo!" Mama menarik selimutku dan menepuk lenganku.

"Aduh ma.. ini kan Sabtu.. ngapain bangun pagi-pagi," gerutuku masih memejamkan mata.

"Ini udah jam 8 sayang. Dan kamu harus berangkat ke Malang sama Mama."

Itu membuatku membuka mata. "Hah? Ngapain ke Malang?"

LOUISI ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang