3 : Gengsiku Setinggi Langit Ketujuh

1.9K 277 193
                                    


●   3   

Gengsiku Setinggi Langit Ketujuh

 

Setelah kupikir-pikir, kejadian LOS waktu itu tidak begitu buruk. Memang, ada beberapa anak yang melirikku sambil menahan tawa, seperti membicarakanku di belakang. Tapi secara keseluruhan kakak kelas memandangku dengan tatapan yang seperti kagum.

Entah kagum karena aku sudah berulah dua kali atau kagum karena aku berhasil menyebut Kak Edwin dengan sebutan 'galak'.

Lagi pula mau kita melakukan atau tidak melakukan apa pun, tetap saja ada orang yang membicarakan kita di belakang. 

Tidak ada salahnya juga meninggalkan jejak di benak mereka. Paling tidak nama dan mukaku diingat, dan followers Instagramku juga bertambah lumayan. Mungkin nanti kalau ada apa-apa, aku bisa dengan mudah bertanya ke mereka. Karena sudah memalukan sekali, selanjutnya tidak perlu malu-malu lagi.

Atau mungkin itu hanya caraku menghibur diri.

"Uuuuuhhh Louis keren abis. Tipeku banget," cetus Kamila dengan nada tinggi.

Kita berempat sedang istirahat di kantin. Kita duduk di bangku pojok dekat lapangan, sengaja supaya bisa melihat cowok-cowok main basket. Jelas bukan pilihanku.

"Tapi agak cuek nggak sih," sahut Cia.

"Ye.. Orang ganteng mah bebas," jawab Kamila sambil memandangi Louis yang sedang mendribel bola.

Aku hanya bisa mendengar ocehan mereka dengan wajah tak suka. Gara-gara tahu nama sih cowok, Kamila dan Cia sudah menyebut namanya 82929475 kali.

"Menurutmu gimana, Chelle?"

"Eh... mayan."

"Ya.. kok mayan sih.. jelas-jelas ganteng tinggi keren bisa main basket gitu!!" jawab Kamila tak terima.

"Eh.. tapi di kelas kita ada yang lumayan lagi, yang pakai kacamata itu.. Darwin bukan sih?" kata Cia.

"Tetep #TeamLouis." Kamila menggenggamkan tangannya bersorak.

"Tapi Darwin juga ganteng, Mil. Keliatan ramah gitu. Kayak anak baik-baik." Cia berseru. "Ya.. walaupun tetep gantengan Louis sih."

Cowok itu lagi. Ha. Mending aku ke toilet saja.

"Eh aku ke toilet dulu ya." Aku beranjak meninggalkan kantin.

"Ye.. sensi banget kalau kita bahas Louis!" ejek Cia.

---

Tidak duduk di kantin, tidak di toilet sama saja. Buat aku kesal semua. Ramai banget, seperti antre sembako saja.

Setelah sekian lama, akhirnya aku keluar. Dengan wajah ditekuk aku berjalan melewati pinggir lapangan kembali ke bangku kantin.

Tiba-tiba, aku melihat dari sudut mataku ada bola basket yang terbang ke arahku. Refleks aku langsung berjongkok dan melindungi kepala dengan kedua tanganku.

Satu detik. Dua detik. Tiga detik.

Aku tidak merasakan apa pun. Perlahan kubuka mataku. Berdiri seorang cowok berkacamata dengan frame hitam yang sedang membawa bola berwarna oranye. Kuperhatikan kulitnya putih bersih, rambutnya agak kecoklatan, parasnya ganteng.

Aku menegakkan tubuhku. "Nggak apa-apa?" tanyanya. Wow. Suaranya lembut, merdu banget di telinga.

"Nggak apa-apa kok. Makasih," jawabku gugup sambil tersenyum canggung. Siapa ya namanya? Kayak kenal.

LOUISI ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang