19 : Nasi Sudah Menjadi Bubur

775 82 68
                                    


●   19   

Nasi Sudah Menjadi Bubur  


Aku melangkahkan kakiku, memasuki rumah berpagar hitam besar. Senyum terukir di wajahku begitu aku melihat sosok wanita tua yang sudah kukenal dengan baik.

"Sore, Bi!" sapaku dengan ramah.

"Eh.. ada Non Renata. Cari Louis ya?" Bi Inah menghentikan aktivitas menyapu halamannya dan menoleh ke arahku.

"Iya, Bi. Louisnya di kamar?"

"Iya, langsung masuk saja, Non. Seperti biasa." Bi Inah tersenyum hangat.

Aku membalas senyumnya kemudian segera melepas sandal jepit putih yang kukenakan. Aku melewati pintu utama yang sudah terbuka kemudian menaiki tangga menuju kamarnya.

Aku mengetuk pintunya pelan. Biasanya, aku langsung masuk. Tapi kali ini berbeda, aku datang tanpa pesan dan kita sudah tidak berbicara selama dua puluh tiga jam penuh. Bukan berarti aku menghitungnya.

Baru saja aku ingin mengetuk lagi, pintu coklat tua di hadapanku terbuka pelan. Sosok yang kucari pun terlihat dengan jelas. Begitu aku bisa melihat dengan jelas wajahnya, rasa rindu seketika memenuhi hatiku.

Tanpa sadar, aku melangkah maju dan berniat melingkarkan lenganku di pinggangnya. Namun saat lenganku bersentuhan dengan lengannya, aku bisa merasakan kehangatan yang tidak normal.

Aku mundur selangkah kemudian memperhatikan wajahnya yang sekarang terlihat sangat pucat. Aku mengangkat tanganku, menyentuh keningnya.

Secara refleks dia menutup matanya. Aku memindahkan tanganku ke pipi dan lehernya. Panas.

"Kenapa? Sakit? Demam?" tanyaku cemas.

Bukannya menjawab dia hanya terdiam kemudian melingkarkan kedua lengannya pada tubuhku. Aku terkejut tetapi membalas pelukannya dengan memeluk pinggangnya erat.

Aku memejamkan mataku merasakan hangat tubuhnya. Rasa khawatirku, semua masalah-masalah seperti sirna begitu saja. Kenapa memeluk seseorang terasa begitu nyaman?

"Nggak apa-apa. Kamu kenapa?" Aku bisa mendengar suaranya yang sedikit serak.

Dia melepas pelukannya, terlalu cepat dari yang kuharapkan. "Masuk," ucapnya pelan.

---

Louis duduk bersandar di kasurnya, sementara aku menarik kursi yang ada di meja belajarnya. "Udah minum obat?" tanyaku.

Dia menggeleng. "Udah cukup tidur. Nanti juga sembuh sendiri."

Aku meliriknya curiga. "Kemarin hujan-hujanan?" Dia tersenyum. Aku hanya bisa menggelengkan kepalaku tak percaya. "Kayak anak kecil aja. Bukannya jaga kesehatan, mau lomba juga.."

"Kamu ngapain kesini? Kangen?" Dia mengalihkan pembicaraan.

Iya, kangen. Tapi sampai ujung dunia juga jangan harap aku akan mengatakannya. "Habisnya chat, telepon nggak ada yang dibales," ucapku sebal.

"Oh.." Dia mengambil ponsel yang ada di meja kecil di sebelah kasurnya kemudian menyalakannya. "Kemarin baterai habis, aku matiin sambil dicas. Terus aku seharian tidur."

Aku mengangguk.

"Emang kenapa?" tanyanya pelan. Aku terdiam."Ren?" panggilnya.

"Anak-anak udah tahu soal Darwin."

LOUISI ☑Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang