Chapter 4

277 22 2
                                    

"Ini, angkot pada kemana sih? malah dari tadi mendung ngga udah-udah," Sabila, menggerutu sembari mendongakkan kepala nya ke atas langit yang mendung.

"Ngelihatin apaan?" ujar lelaki yang juga mencoba menelusuri apa yang di tatap gadis itu.

Sabila, menoleh ke samping kanan nya, ia menggigit bibir dalam nya sebelum menarik paksa bibir tipis nya.

"Awan," Sembari mengangkat jari telunjuk nya ke langit dan tetap membiarkan senyum paksa itu menghiasi wajah manis nya.

"Mendung?"

"He'eh," Sabila menganggukkan pelan kepala nya sembari mengulas senyum tipis.

"Oh, iya. Nam-"

Sabila, mengerjap "Eh, aku duluan ya. Angkot nya udah dateng."

Ekor mata lelaki itu mendelik ke arah angkot yang baru saja di naiki oleh Sabila.

"Belum juga kenalan," gumam lelaki itu sembari membuang napas panjang dari hidung nya.
••
Sebuah rumah minimalis dengan gerbang besi berwarna hitam dan dinding berwarna putih berdiri kokoh tepat di tepi jalan yang tidak terlalu ramai. Keheningan begitu terasa disana, hanya gemercik air di kolam ikan berukuran satu meter yang menjadi irama bak alunan musik nan merdu.

"Assalamu'alaikum?," ucap Sabila sembari mengetuk pintu rumah nya yang berwarna hitam.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh," terdengar suara wanita paruh baya dari balik pintu.

Wanita paruh baya itu membukakan pintu untuk Sabila, ia menarik bibir nya sembari mengusap lembut kepala Sabila.

"Kamu, udah pulang, nak?"

"Iya mah," Sabila, mengulas senyum manis sebelum akhirnya mencium punggung tanggan wanita paruh baya itu.

Ya, wanita paruh baya itu, adalah Sekar, orangtua tunggal Sabila. Suami nya meninggal ketika Sabila masih duduk di bangku SMP, tepat nya ketika mereka belum pindah dari Kota Jakarta.

Sekar, menatap teduh wajah anak gadis nya, sembari menyimpulkan senyum ketika ekor mata nya melirik ke arah seragam putri bungsu nya yang kotor.

"Masuk, yu. Ganti seragam nya,nanti biar mamah yang cuci," ujar Sekar pada anak gadis nya sembari menarik lembut tangan nya.

Sabila, menyelaraskan langkah nya dengan sang mamah, dan, sesekali, manik mata gadis itu mendelik ke arah wanita paruh baya yang mulai tumbuh kerutan di sekitar mata nya.

Sabila, mengulas senyun sembari berujar pada Ibu nya "Jangan, mah. Biar nanti, Sabila aja yang cuci seragam nya."

"Ngga apa-apa, sayang. Biar nanti, mamah aja yang cuci seragam kamu," kata Sekar sembari menyimpulkan senyum di wajah teduh nya.

"Ngga apa-apa, mah. Sekalian, Sabila juga mau mandi," senyum manis itu kembali muncul dari bibir Sabila.

"Ya, udah. Kalau gitu, mamah buat kan susu hangat untuk kamu, ya."

Wajah gadis itu menjadi sumringah, ia melingkarkan tangan nya ke pinggang sang Ibu sembari berujar "Makasih, ya mah."
••
Sebuah ruangan berwarna ungu muda dengan garis vertikal berwarna pink meghiasi dinding dalam kamar Sabila, tepat di sebelah kanan dari kamar nya, terdapat sebuah jendela besar yang langsung terhubung dengan balkon.

Ada dua hal yang menarik, dari kamar gadis berparas manis ini. Yaitu, ratusan kertas origami berbentuk bintang yang menggantung di langit-langit kamar nya, dan, ya, sebuah bingkai foto berukuran lima R yang selalu tersandar kokoh di atas meja belajar nya.

Sebuah keluarga yang terlihat bahagia berada di balik bingkai kecil itu.

Sabila, tercenung sejenak, berdiri di balik punggung seorang wanita muda yang tengah merapikan hijab nya dari balik cermin.

Ya, Rania, dia, adalah satu-satu nya kakak yang di miliki oleh Sabila, seorang aktivis dakwah yang sudah mempunyai nama di tempat tinggal nya dulu, Jakarta. Maka, tak heran jika wanita muda itu begitu mudah mendapatkan hal yang serupa di Kota Bandung, ini.

"Kakak, ada undangan lagi, ya?," tanya Sabila sembari menatap wajah sang kakak dari balik cermin.

Wanita itu menyimpulkan senyum di wajah ayu nya "Iya, sayang. Hari ini, kakak mau ngisi acara di rumah nya Hj Aminah," ujar Rania

"Tapi, di luar mendung lho kak. Nanti, kalau hujan, gimana?"

"Hujan itu, berkah dari Allah, dek. Lagi pula, nanti, kakak di jemput sama teh Fitri, anak nya Hj Aminah," Rania kembali berujar sembari mengamati ponsel yang baru saja di genggam nya, sebelum akhirnya menarik tipis bibirnya dan menatap teduh wajah adik satu-satu nya itu.

Rania mengerjap "Kamu, mau ikut ngga?" tanya Rania pada Sabila dari balik meja cermin.

Sabila menelan ludah, ia menoleh sejenak. Ada sedikit jeda untuk nya mengambil napas sebelum akhir nya mencari alasan agar ia dapat lolos dari hal yang tidak di senangi nya itu.

"Alesan apa lagi ya?," batin Sabila.

Belum genap sepuluh detik, tiba-tiba seperti ada bolam lampu yang menyala terang di atas kepala gadis manis itu.

"Mm, Sabila, belum cuci seragam, kak. Kalau nanti Sabila ikut kakak, seragam Sabila gimana?," ucap Sabila, sembari memilin-milin seragam nya.

"Oh, ya udah, ngga apa-apa, mudah-mudahan lain kesempatan, kamu akan punya waktu luang untuk temanin kakak berdakwah," kata Rania yang menarik lembut bibir nya dan perlahan mulai bangkit dari tempat duduk nya.

"Oh, iya. Kamu, sudah sholat Ashar, belum?," tanya ramah Rania.

Sabila mengerjap "Astagfirullah, udah jam berapa, ini? Sabila belum sholat ashar,kak. Sabila, lupa."

"Astagfirullah" ujar Rania sembari menggelengkkan pelan kepala nya.

"Ya, udah. Sekarang, kamu ganti baju, gih. Habis itu, wudhu, terus sholat," titah Rania pada adik bungsu nya.

"Ya, udah deh, Sabila, wudhu dulu ya."

"Iya, ya udah kakak mau ke-"

"Kak. Kakak, pulang nya jangan malem-malem, ya. Ada yang mau Sabila ceritain ke kakak," kata Sabila, memenggal ucapan Rania.

Rania menghadap sempurna ke arah Sabila, dahi wanita muda itu mengerut dalam, mengamati wajah adik nya yang tidak seperti biasa nya.

"Tumben? kamu mau cerita apa?," tanya Sabila sembari mengedikkan dagu nya

Sabila terkekeh pelan mendapati wajah kakak nya yang begitu lucu lantaran terlalu dekat menatap nya.

"Kak? Kakak kenapa? ngelihatin aku kaya gitu?," tanya Sabila sembari memicingkan mata nya.

Sabila membuang nafas pelan dari hidung nya "Sabila, cuma mau cerita aja sama kakak. Dan, cerita nya juga bukan hal yang serius kok."

Rania, memundurkan wajah nya lalu menetralisir air wajah yang masih dalam keadaan bertanya-tanya.

"Ya, udah deh. In Syaa Allah, nanti kakak pulang nya ngga malem, nanti, kamu bisa curhat."

"Ya, udah. Kalau gitu, Sabila ke belakang dulu ya," ujar Sabila, sembari mengayunkan langkah nya menuju kamar mandi.

"Iya, jangan lupa sholat ya," titah Rania

"Iya, kak."
•••

Alsama' Lisabilana (Surga Untuk Sabila)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang