Chapter 13

159 13 0
                                    

"Rindu..
Rindu itu anugerah, karunia dari Allah. setiap insan yang memiliki hati nurani, pasti memiliki rasa rindu."

••
Sebuah meja makan berbahan kayu jati itu nampak begitu luas.
Setiap hari nya, hanya ada dua insan yang sering bersandar di kursi yang juga berbahan kayu itu.

"Oh iya Thir, kemarin kakak lupa nanya sama kamu, kamu kenapa pulang nya se-sore itu?,"

Dari tempat duduk nya, Fathir mendelik, menatap Hamas.

"Emm, kemarin aku habis nganterin teman aku yang keserempet motor kak."

Hamas mengerutkan dahi nya, sembari berujar "Siapa? Aldo?"

"Bukan, bukan Aldo."

"Terus siapa?"

"Emm, adalah kak."

"Perempuan?"

Fathir terpegun dengan manik mata yang menyorot ke kakak nya, Hamas.

"Emm iya, tapi dia cuma teman aku kok," ujar Fathir sembari menghela napas.

"Astagfirullah, Fathir, Fathiir," ujar Hamas sembari nenggerakan kepala nya ke kiri dan ke kanan.

Fathir megerjap cepat.

"Tapi aku cuma nolongin dia kok, kak. Dia itu keserempet motor di jalan, ngga mungkin lah aku biarin dia pulang sendiri dengan kondisi kaki nya yang kaya gitu. Ya udah deh, kalau gitu aku berangkat sekolah aja. Assalamu'alaikum," ujar Fathir sembari bangkit, bergerak menuju pintu rumah nya.

Hamas membuang napas perlahan, sembari menggeleng kan kepala nya lagi.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahi wabarakaatuh."

"Ya Allah, jangan Engkau jadikan fitrah yang tertanam dalam hati Fathir menjadi bencana untuk dirinya sendiri" Batin Hamas.
••
"Kantin itu teh tempat makan, bukan tempat ngelamun. Kamu lagi mikirin Sabila ya,?" Kata Gya, menghampiri Rian yang tengah duduk di kantin sekolah.

Rian menoleh sejenak.

"Gya? ngga kok, ya, cuma aku bingung aja kenapa hari ini Sabila ngga ada kabar, nomornya juga ngga bisa di hubungin."

"Iya ya, ngga biasanya Sabila izin," ujar Gya, lalu mengerjap cepat "Oh, atau jangan-jangan Sabila sakit ya?"

Rian kembali mengarahkan kepala nya ke arah Gya.

"Emm, gimana kalau habis pulang sekolah, kita teh kerumah nya Sabila aja?" ujar Gya sembari mengulas senyum dan menaik-turun kan alis nya.

"Boleh sih, cuma aku kan lelaki, takut nya malah di kira yang engga-engga sama tetangga di sekitar rumah nya Sabila. Dia kan adik nya Ustadzah Rania," ucap Rian sembari membuang napas perlahan.

"Tapi kan kamu teh kesana nya ngga sendiri, sama aku juga,gimana?"

Rian tercenung sejenak, akhirnya, setelah lama berfikir, Rian pun menyetujui usulan Gya untuk datang ke rumah Sabila.

"Ya udah deh, aku mau," kata Rian sembari mengulas senyum.
"Nah, gitu dong."
••
"Woy, bengong mulu lu, kesambet nanti," suara Aldo yang begitu menggema berhasil membuyarkan lamunan Fathir.

"Elu ngga ada kerjaan lain ya,  selain ngagetin orang mulu?," kata Fathir mendelik kesal.

"Ya maaf, lagian lu bengongin apaan sih?"

Raut wajah Fathir berubah pias, di barengi dengan manik mata yang mengarah ke wajah Aldo, sahabat nya.

"Sabila Do," ujar Fathir.

"Wait? Sabila?"

"Iya, nama adik nya ustadzah Rania, itu Sabila. Perempuan yang gue suka."

"Ntar dulu, lu sebut nama cewek yang lu suka, tapi muka lu kaya yang sedih gitu? ini sebener nya apa sih?" ujar Aldo sembari mengernyitkan dahi nya.

Fathir menghembuskan napas perlahan.

"Kemarin gue ngga sengaja ketemu sama dia di jalan, dan gue rasa sih, dia kaya mau nyebrang gitu. Tapi pas dia mau nyebrang, tiba-tiba ada orang yang naik motor nya ugal-ugalan, ngebut ke arah dia. Dan, ya, lu tau lah apa yang terjadi berikut nya," ucap Fathir menjelas kan.

Aldo mengerjap cepat "Jangan bilang itu motor nyenggol adik nya ustadzah Rania, terus dia keserempet motor itu?"

"Iya, lu bener," kata Fathir dengan rona wajah yang begitu sedih.

Aldo yang mendengar cerita itu dari sahabat nya sontak kaget dan kembali menanyakan kelanjutan kisah nya.

"Terus gimana?" ujar Aldo, sembari menutup mulut nya dengan satu tangan nya, di barengi dengan mimik wajah yang nampak panik.

"Ya, gue langsung bawa dia kepinggir jalan lah, terus gue anter dia kerumah nya."

"Lu anter dia kerumahnya?"

"Iya."

"Pake motor? berdua?"

Fathir membuang napas kasar, sembari mengarah kan manik mata nya ke arah Aldo.

"Ya iya lah Do, lu fikir setiap hari, gue ke sekolah pake apaan?"

"Gila! dia itu adiknya ustadzah man! Lu berani banget anter dia kerumahnya, boncengan lagi," ujar Aldo sembari menggerakan kepala nya ke kiri dan ke kanan.

"Ya lu fikir lah Do, gue ngga mungkin kali ngebiarin dia pulang sendiri dengan kondisi nya yang lagi kaya gitu."

"Oke, terus abis lu nganterin dia,  lu langsung pulang kan?"

"Gue ke rumahnya sebentar, dan gue sempat ngobrol sama kakak nya yang ustadzah itu."

"Aiiissshhh!! lu ngobrolin apaan?," ujar Aldo mengernyitkan dahi nya.

Fathir terpegun sambil sesekali menghela napas panjang, terdiam dan tertunduk.

"Gue bilang ke kakak nya, kalo gue suka sama Sabila."

"What? Thir, lu denger baik-baik ya, lu kenal sama dia tuh baru berapa hari, tapi gue bisa pastiin, urusan ini akan belibet ke mana-mana," ujar Aldo, kali ini, ia menghentak-hentakkan pelan jari telunjuk nya ke atas meja.

Fathir mengerjap cepat.

"Gue tau Do, gue baru beberapa hari kenal sama dia, dan, mungkin kelihatan nya emang mustahil suka sama orang dalam waktu singkat.
Tapi gue bener-bener suka sama dia, dari pertama kali gue ketemu sama dia. Dan gue ngga peduli mau se-ribet apapun kedepan nya nanti," tegas Fathir.

Aldo menghela napas, mencoba untuk menormalkan air muka nya.

"Terus, pendapat kakak nya gimana?"

Fathir menghela napas perlahan.

"Kakak nya malah suruh gue buat jauhin Sabila."

"See?" ujar Aldo sembari mengangkat satu tangan nya sebatas dada.

"Dia itu adiknya ustadzah man! lu ngga akan segampang itu buat dapetin dia. Percaya sama gue," ucap Aldo, meyakinkan Fathir.

Lelaki berketurunan Arab itu mendelik kesal, sembari berujar pada sahabat nya.

"Lu kenapa si Do? engga lu, engga kak Hamas, engga kakak nya Sabila, semuanya ngga ada yang mau kasih gue kesempatan buat lebih deket sama Sabila."

"Thir, bukan nya gitu," lelaki blasteran itu mengerjap cepat, lalu membuang pandangan nya sejenak, sembari menarik napas dan mengeluarkan nya perlahan.

"Oke, oke fine!," Aldo kembali berujar sembari membuang napas kasar lalu melanjutkan ucapan nya "Gue dukung lu buat kenal sama Sabila lebih jauh. Ya, tapi menurut gue semua nya mustahil Thir."

"Semua ngga ada yang mustahil Do," ujar Fathir sembari meyakinkan sahabat nya.

Aldo hanya bisa mengangguk pasrah sembari mengulas senyum dan menepuk pelan pundak sahabat nya.
•••

Alsama' Lisabilana (Surga Untuk Sabila)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang