Chapter 7

203 15 0
                                    

"Cinta itu berasal dari Allah tabaraka wa ta'ala. Maka akan jauh lebih merugi jika kita kehilangan cinta dari-Nya daripada kehilangan cinta dari makhluk-Nya"

••

"Jadi, gimana cerita nya kamu bisa kenal sama lelaki itu?," ucap Gya sembari mengamati wajah sahabat nya.

"Lelaki apa?," Rian memenggal ucapan Gya yang baru saja tiba dari perpustakaan.

Gya mengerjap "Rian? ngagetin aja. Ngga, jadi tuh, tadi Sabila di tabrak sama murid sini juga."

"Yang nabrak, cewek?" tanya Rian, sembari mengerutkan dahi nya dengan pandangan yang tertuju pada Gya.

"Cowok."

Rian tercenung sejenak sebelum akhirnya membuang napas perlahan.

"Oke gini, aku ceritain," kata Sabila sambil menghela napas.

Kali ini, bola mata Gya dan Rian tertuju pada Sabila.

"Jadi gini, pas kemarin aku mau ke toko buku, aku di telpon sama kak Rania gara-gara aku lupa kasih kabar, terus tiba-tiba dari arah belakang ada motor yang ngebut dan ngenain genangan air yang ada di samping aku, terus, ya, seragam aku basah gara-gara kecipratan air di genangan tadi," ujar Sabila, menjelaskan.

Rian mengerjap "Terus, yang nabrak, lelaki yang barusan nabrak kamu juga?," tanya Rian sembari menaikan kedua alis nya.

"Iya, tapi ya udah lah. Sebenernya dari awal ketemu tuh, aku uda sebel banget sama dia. Cuma, gara-gara aku tau kalau dia anak sini, ya, jadi aku cuma bisa berharap supaya Allah ngga nemuin aku sama dia lagi, untuk yang ke tiga kali-"

"Hus!" Gya mengerjap.

"Kamu teh, ngga boleh ngomong gitu. Nanti, kalau dia jodoh kamu, gimana?" ujar Gya.

Sabila mengerutkan dahi nya sembari memundurkan wajah nya beberapa senti, begitu juga dengan Rian yang melakukan hal serupa.

"Kamu tuh jangan ngaco ngomong nya," ujar Rian sembari menarik tipis bibir nya.

"Iya ih, lagian juga mana mau aku sama dia," timpal gadis manis itu sembari mengulas senyum manis nya.

"Ya udah, yuk. Kita ke kelas aja."
••
Sebuah Rumah megah berdiri kokoh di sudut jalan Cihampelas, rumah dua lantai dengan gerbang ukiran yang menjulang tinggi, di tambah dengan balutan cat dinding berwarna putih menambah kesan elegan si pemilik nya.
Halaman yang cukup luas di sulap nya menjadi sebuah taman impian yang di tumbuhi rerumputan dan juga bunga-bunga.

"Assalamu'alaikum waarahmatullahi wabarakaatuh" suara itu menginterupsi nya, suara lelaki muda yang berdiri di balik punggung Fathir.

"Wa'alaikumussalam," Fathir menoleh sekilas ke samping kanan nya, sebelum akhirnya kembali menghempaskan punggung nya ke kursi yang sedari tadi ia duduki.

Lelaki muda itu berjalan menghampiri Fathir, ia menghadap sempurna ke arah nya dan menatap Fathir lebih dalam.

"Itu muka kenapa di tekuk kaya gitu?," celetuk nya

Fathir berdecih pelan "Kak Hamas tuh aneh-aneh aja, masa iya, muka bisa di tekuk?," ujar Fathir sembari membuang pandangan nya ke pinggir kolam.

Ya, Hamas, dia adalah Muhammad Hamas Mubarak, kakak pertama dan terakhir dan satu-satu nya yang dimiliki oleh Fathir, seorang aktivis dakwah yang berkamuflase menjadi seorang penjual baju-baju muslim.

Hamas membuang nafas perlahan sembari terkekeh pelan.

"Astagfirullah, maksud kakak, kenapa kamu kaya yang galau gitu?"

"Oh, Fathir ngga apa-apa kok, kak. Ya, maklum, nama nya juga anak muda, jadi kalau galau sedikit wajar lah," ujar Fathir sembari menggaruk pelipis mata nya.

Hamas memutari kursi dan duduk di sebelah adik nya.

"Fathir, Fathir. Galau ya galau aja, mau sedikit kek, mau banyak kek, kalau depan nya 'Galau' ya tetap aja galau," kata Hamas sembari menggerakan pelan kepala nya ke kiri dan ke kanan.

Ekor mata Hamas melirik ke wajah adik nya, ia menangkap wajah adik nya yang semakin muram, seperti ada yang di pikirkan.

Hamas mengerjap "Kamu ngegalauin apaan?"

Fathir menoleh sekilas, sembari membuang napas perlahan.

"Biasa lah, kak."

Ia mencoba menerka apa yang di pikirkan sang adik.
"Aldo? Ah, masa ngegalauin Aldo sampe segini nya?," batin Hamas sembari menopang dagu di tangan kursi.

Lelaki muda itu mengerjap, ia mengerutkan dahi sembari berujar "Kamu ngegalauin akhwat ya?," kata Hamas dengan dahi yang sedikit mengernyit.

Fathir terlonjak dan menoleh ke arah kakak nya.

"Ngga, apaan sih, kak. Kakak sok tau, deh," ujar Fathir sembari menetralisir degup jantung yang baru saja berdetak lebih kencang dari biasa nya.

Hamas menghela napas dari hidung nya.

" Fathir, dengerin kakak ya. Rasa cinta kamu ke seorang perempuan yang belum halal buat kamu, itu bisa melalaikan kamu, bisa membuat kamu lupa akan kodrat kamu sebagai seorang hamba. Kakak ngga mau kamu lupa akan kewajiban kamu, Thir."

Pandangan nya tertunduk, Fathir tak bisa menyanggah ucapan kakak nya, karna ia menyadari bahwa apa yang di sampaikan oleh kakak nya adalah benar.

Sekali lagi, Fathir menghela napas dan membuang nya perlahan.

Bola mata nya tertuju pada air di kolam renang, di belakang rumah nya.

"Masa sih, gue beneran suka sama dia, sama gadis itu," gumam Fathir.

"Thir? kamu denger kan, apa yang tadi kakak bilang?," suara itu berhasil membuyarkan bayangan Fathir di air kolam.

"Iya, kak. Fathir denger kok, dan, Fathir ngerti."

"Ya udah, kamu jangan lama-lama di sini nya, udah sore," titah Hamas pada adik nya sembari menyimpulkan senyum.

"Iya, kak."
•••

Alsama' Lisabilana (Surga Untuk Sabila)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang