Chapter 5

248 25 0
                                    

"Wanita Shalihah adalah wanita yang pandai menjaga muru'ah nya."

••

"Maa Syaa Allah, anak mamah, udah tidur. Capek banget kaya nya," ucap Sekar, pada anak bungsu nya yang tertidur nyenyak di sebuah ranjang empuk berselimut pink dengan corak bunga di sekeliling nya.

Pandangan Sekar, tertuju pada anak gadis nya, tak jarang, ia mengecup kening putri kesayangannya ketika ia sedang terlelap.

"Assalamu'alaikum warahmatullahi wabarakaatuh?," suara itu menyeruak hingga terdengar sampai ke kamar, di barengi dengan ketukan pintu yang sesekali diiriing dengan ucapan salam.

Sekar, reflek dan langsung menoleh sejenak, lalu bangkit dari tempat duduk nya menuju sumber suara yang berasal dari anak sulung nya, Rania.

"Iya, sebentar nak."

"Mamah? mamah kok, belum tidur?," kata Rania, yang terlonjak kaget melihat wanita paruh baya itu membukakan pintu untuk nya.

Rania, meraih punggung tangan Ibu nya dan langsung mencium nya.

Sekar, menarik tipis bibir nya,memperlihatkan senyum sahaja dari wanita yang berusia hampir setengah abad itu.

Sembari mengusap lembut punggung anak nya, ia berujar "Ya, sekali-kali, mamah yang bukain pintu nya ngga apa-apa, kan? kasihan, kalau setiap kamu pulang, Sabila terus yang bukain pintu."

Tatapan teduh Sekar, memang selalu berhasil, mengembalikkan senyum putri nya, Rania.

"Makasih, ya mah, mamah selalu ikhlas dan sabar merawat Rania dan Sabila. Maaf, kalau selama ini, ada sikap Rania atau Sabila, yang nggak berkenan di hati mamah," ucap Rania yang melingkarkan tangan di perut Sekar sembari menyandar kan kepala di bahu nya.

Sekar, mengerjap "Oh, iya. Gimana tadi acara, nya?."

"Alhamdulillah, lancar. Semua juga karna do'a, dan restu mamah," kata Rania,yang kembali membiarkan senyum meghiasi wajah ayu nya.

"Alhamdulillah, ya udah. Kamu, langsung istirahat, gih," kata Sekar sembari membuang napas pelan dari hidung nya.

"Iya, mah. Oh, iya. Sabila, udah tidur belum, ya?"

"Adik kamu, udah tidur. Seperti nya kelelahan."

Rania, menghela napas dan membuang nya perlahan "Ooh, ya, udah. Kalau gitu, Rania, ke kamar dulu ya, mamah juga harus langsung, istirahat."

"Iya, sayang."
••

Ternyata benar, hadist shahih yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah. Dalam riwayatnya dikatakan "Bahwa siapapun yang memperbanyak hartanya dengan cara riba. Maka akhir urusannya akan menjadi miskin"

••
Rania, membiarkan kepala nya bergerak ke segala arah, meneliti setiap sudut dari rumah nya.

"Ya, Allah. Engkau, telah membuka mata hati kedua orang tua, hamba. Sehingga, ia bertaubat dari dosa riba, yang telah belasan tahun di geluti nya," ucap Rania, dengan wajah nya yang berubah pias sembari membuka lembar demi lembar setiap kenangan yang tercetak dalam album photo berukuran sedang, itu.

Kini, ia menutup album photo itu, dan ekor mata nya membawa nya ke sebuah meja kecil yang bersandar kokoh di atas nya, sebuah photo keluarga yang terlihat amat bahagia. Tidak jauh dari tempat ia berdiri.

Rania, menggigit bibir bawah nya, dan perlahan, air itu memaksa keluar dari rongga mata nya, sesekali, Rania menyeka air mata itu agar tak turun lebih deras lagi.

"Hamba, bersyukur, ya Allah. Meski, semua nya, tidak terlihat mewah seperti dulu. Namun, Engkau, telah membawa kehangatan itu kembali ke tempat asal nya," gumam Rania, sembari mendongakkan kepala ke atas langit-langit rumah nya.
••
Di ruang makan berukuran 2×3, dengan meja bundar yang di sekeliling nya terdapat tiga buah kursi, menjadikan tempat ini begitu pas untuk menjalin kehangatan antara Sekar, Rania dan Sabila.

Sekar, memutari meja makan, menghampiri Sabila yang baru saja turun dari anak tangga rumah nya.

"Sarapan dulu, yuk nak," kata Sekar, sembari melingkarkan satu tangan nya di bahu gadis manis itu.

"Wah, pasti enak, nih."

"Iya, dong. Soal nya kakak juga ikut bantuin, jadi, pasti enak."

Sabila mengerutkan dahi nya dalam-dalam, hampir saja tawa itu menggema di ruang makan, untung, Sabila berhasil mengendalikan diri dan menetralisir air wajah nya.

"Kakak mah suka PD," celetuk Sabila sembari menahan tawa.

"Lho? ini enak lho, dek," kata nya sembari menyodorkan sebuah sendok berisi nasi goreng ke sebelah kanan nya, tempat di mana Sabila duduk.

"Iya, deh, iya. Enak," Sabila membuang napas kasar sembari melirik ke arah kakak nya.

"Udah-udah, Sabila, Rania, jangan berdebat terus, kita makan aja ya."

"Iya, mah."
••
Di tengah suapan yang hampir masuk ke dalam mulut Sabila, tiba-tiba sudut mata nya menangkap wajah Ibu nya yang berubah pias dengan genangan air yang hampir mendobrak rongga mata nya.

"Mah? Mamah, kenapa?," ucap Sabila, yang membuat ruang makan menjadi hening seketika.

Rania mengerjap, menoleh ke arah sang Ibu yang mencoba melengos untuk menjauhi pandangan kedua anak nya.

"Mah? Ada apa?," tanya Rania, sembari memegang pungung tangan Sekar.

Bibir bawah nya di gigit, Sekar berusaha kuat agar bendungan air yang berada di dalam mata nya tidak keluar.

"Ngga apa-apa sayang. Mamah cuma sedih, harus ngebiarin Sabila, setiap hari naik angkot ke sekolah nya," jawab nya lirih.


Sabila menegakkan badan, mata nya menatap sang Ibu dengan tarikan tipis bibir nya.

Ia menghela napas perlahan.

"Mah, Sabila ngga apa-apa kok, naik angkot. Asal mamah sama kak Rania, selalu ada buat Sabila, itu udah cukup. Sabila udah kehilangan papah, dan, Sabila ngga butuh apa-apa lagi selain kasih sayang dari mamah dan juga kakak," ujar Sabila,  menyimpulkan senyum di wajah manis nya sembari mengusap lembut punggung tangan Sekar.

Rania memutari meja makan, berdiri tepat di belakang punggung adik nya, ia melingkari tangan nya di bahu sang adik dan memeluk nya dengan penuh kelembutan, sembari berujar "Dek, In Syaa Allah, kamu ngga akan kehilangan kasih sayang dari mamah, dan juga kakak. Kakak janji, akan selalu jagain, dan lindungin kamu, dari hal apapun itu. Kakak akan jalanin amanat dari papah, untuk jaga kamu."

Senyum ceria nampak jelas di wajah gadis manis itu, Rania melepas kan pelukan nya, dan seketika, Sabila mengerjap "Eh, ko jadi melow gini sih? Ini kan masih pagi. Pokok nya, Sabila mau, kita saling menjaga, dan menguatkan, satu sama lain."

"Iya, sayang," ucap Sekar sembari mengusap lembut rambut anak bungsu nya.

"Ya, udah deh. Sabila, berangkat sekolah dulu ya, mah, kak."

"Iya, kamu hati-hati ya," kata Rania, sembari mengusap lembut bahu adik nya.

"Assalamu'alaikum." Sabila mengecup punggung tangan Ibu dan kakak nya, sebelum akhirnya melangkahkan kaki ke luar rumah.

"Wa'alaikumussalam warahmatullahu wabarakaatuh," ucap Rania dan Sekar berbarengan.

"Hati-hati, ya, Dek."

"Iya, kak."
•••

Alsama' Lisabilana (Surga Untuk Sabila)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang