Aril's POV
"Happy birthday bang, sorry gue telat ngu- aduh pala guee."
Aku menunduk lemas, sambil memegang bagian kepala yang terasa nyeri.
Apa yang gue tabrak ya?
"Bosen lo nabrak dada gue? Sampe helm yang keras gini lo tabrak juga?"
Aku membeku, ya Tuhan suara ini, hatiku berdegup kencang, sama seperti waktu itu, bak mau loncat dari tempatnya. Aku memberanikan diri untuk melihat siapa orang yang aku tabrak. Dan, aku kembali membeku. Matanya menatap mataku lekat.
Mata hitam itu, menyambar hatiku bagai petir yang datang disiang bolong. Seperti sihir yang membius siapa saja. Memaksaku untuk terus melangkah lebih jauh lagi, terus masuk hingga kedalam. Dan terkunci oleh hati yang begitu memikat. Berharap tidak akan pernah keluar. Apa yang sedang aku rasakan? Kenapa matanya sangat menyulitkanku untuk beralih tatap?
"L-lo? Ng-ngapain ada di-disini?" ucapku terbata-bata karena rasa gugup yang menyelimuti begitu saja. Desiran darah mengalir dari ujung kepala hingga ke pangkal kaki. Membuat jantung memompa lebih cepat dan cepat lagi. Hingga dingin yang tersisa di telapak tangan.
Semakin lama berdiam, aku semakin sadar jika orang yang datang semakin banyak. Tapi tak kulepaskan arah mataku dari si empunya mata hitam ini. Seperti ada magnet tersendiri yang terus membuat ku mendekat, menarik satu sama lain. Menciptakan dunia sendiri yang terdiri dari dua insan.
"Wihhh banyak dede emeshhh," suara itu memaksaku untuk menarik diri dalam hitamnya mata itu. Aku lihat kesamping, sekiranya ada tiga cowok yang tidak aku kenal, tapi tunggu, aku rasa aku kenal cowok yang satu itu.
"Uuuuhhhh ikut abang pulang nyokkk," kata yang satunya lagi, sambil menunjukan muka yang menurutku menjijikan. Tak jauh dari situ, celotehan-celotehan pun terdengar bagai burung dilangit senja yang saling berkicauan satu sama lain.
Tersadar, aku mulai paham jika keempat cowok ini adalah teman kakaknya Ardel. Omg, berarti cowok yang barusan juga temennya Bang Fahmi?
"Eh bentar dehhh ini kan cewek bihun yang pas ketemu disana tuh dimana sih ck elah, ahh di olimpiade," Kavi, ya aku masih ingat jelas namanya Kavi. Cowok yang waktu olimpiade mengajak ku berkenalan. Bukan salah lagi, jadi dia menemani cowok bermata hitam ini olimpiade? Ternyata dunia sesempit ini ya.
Aku tersenyum kikuk, lalu menyelipkan anak rambut yang jatuh membelai pipi. Kembaliku beralih kedepan. Menatap cowok yang ternyata tengah menatapku juga. Ya tuhan, mata itu.
"SMA Pelita, kelas 11 yaa," katanya sambil maggut-manggut. Aku mengernyitka dahiku. Kenapa dia tahu sekolah sama kelasku? Apa dia cenayang? Uuu mengerikan.
Dia tersenyum miring "Lo masih pikun ternyata," lalu melipat kedua tangannya di dada. Hening, tidak ada yang membuka suara. Hingga canggung yang kini bertugas. Oksigen diruang ini seakan ikut menipis, menyesakkan dada.
"Eh ini sebenernya ada apaan sih?" tanya kakaknya Ardel yang aku rasa dicuekkin dari tadi.
Ardel memberikan kue yang dari tadi ia pegang ke Manda, kemudia ia bergelantungan manja di lengan kokoh kakaknya "Gini loh bang, abang kan sekarang ultah, nah kitu tuh mau kasih kejutan buat abang, kita udah siapain semuanya lohh, sekarang mending kita ke dalem kita tiup lilin." kata Ardel sambil menggeret kakaknya kedalam.
Yang lain ikut masuk ke dalam menyusul Ardel dan kakakknya, karena aku tidak mau terlibat lebih dalam sama kecanggungan ini, aku pun berinisiatif untuk menyusul kedalam, saat aku baru berjalan selangkah. Tiba-tiba ada yang mencekal tanganku, dan menarikku, membuatku mundur beberapa langkah. Aku menoleh dan mendengus sebal.
KAMU SEDANG MEMBACA
With You (Pandu)
Genç Kurgu"Mencintai lelaki pembalap memang bukan impianku, bahkan sedetik pun tak pernah aku berpikir mencinta. Tapi, Tuhan maha kuasa bukan? dengan mudahnya ia membolak-balikan hati yang kaku ini." -Shesaril "Balap motor adalah separuh hidupku, soal wanita...