| 1 |

190 41 7
                                    

"Sidang pengadilan yang bersidang pada hari Sabtu tanggal 1 September 2016, yang di data atas nama Friska Agatha melawan Arya Aditya telah dimulai."

Suara tegas dan keras sang hakim perempuan, membuat beberapa keluarga kedua belah pihak mendesah.

Di bangku paling belakang, seorang laki-laki duduk dengan tegak menatap tajam dua orang yang menjadi pemeran utama persidangan hari ini.

Dibalik tatapan tajam seperti mata elang itu, ada sebuah perasaan sakit hati atas jalan yang akhirnya dipilih oleh kedua orang tuanya ini. Yaitu bercerai.

Hakim berusaha untuk membuat sang penggugat berpikir dua kali sebelum akhirnya status suami istri itu nantinya tidak berlaku lagi.

Tetapi keduanya terus saja berdebat hal-hal yang seharusnya tidak perlu didebatkan. Mulai dari Friska yang tidak pernah ada waktu karena sibuk bekerja, sikap dan perlakuan Arya yang kasar, dan masih banyak lagi. Mereka terus menyalahkan satu sama lain.

Keduanya tidak ada yang mau mengalah, mengabaikan anak laki-laki yang duduk di bangku paling belakang itu.

Karena sidang hari ini tidak bisa diselesaikan dengan kepala dingin antara penggugat dan tergugat, hakim memutuskan untuk melaksanakan sidang kedua pada jadwal yang sudah ditentukan.

"Adnan, kamu harus kuat!" Pamannya menyemangati sembari menepuk bahu lebar laki-laki itu untuk menyalurkan semangat.

Adnan mendengus, ia berdiri dari duduknya, dan keluar dari dalam ruangan sidang. Mengabaikan pamannya serta kedua orangtuanya yang terus saja beradu mulut padahal sidang sudah dibubarkan.

Mereka sungguh tidak tahu malu, umpatnya kesal.

Entah kenapa Adnan pun membenci tempat ini, ketika melihat orang-orang yang berlalu lalang di depannya, sesaat kebencian tumbuh di hati Adnan untuk mereka. Padahal yang berada di sini belum tentu untuk bercerai.

Adnan mencari tempat yang sepi untuk duduk dan menenangkan pikirannya. Tepat sekali ada sebuah kursi kayu panjang yang benar-benar kosong, tidak ada yang mendudukinya. Lorong ini juga lumayan sepi, tidak seramai lorong-lorong pengadilan yang lainnya.

Sebuah rokok ia keluarkan dari dalam bungkusnya tidak lupa dengan pemantiknya, Adnan mengabaikan peringatan untuk dilarang merokok di dalam ruangan. Tulisan itu jelas ada di depan matanya, terpampang di dinding putih pengadilan. Tetapi ia masa bodoh, ia hanya akan mementingkan dirinya mulai detik ini dan seterusnya.

Di keheningan lorong pengadilan sebuah suara mengganggu indera pendengarannya. Tak-tak-tak, matanya menyipit ketika melihat seorang gadis dengan tongkat di tangannya mendekat ke arahnya.

Gadis itu sudah terduduk meletakkan tongkatnya disamping kanannya. Ketika ia menarik napasnya, ia terbatuk-batuk karena mencium sebuah asap rokok, itu adalah hal yang paling ia benci.

"Di sini nggak boleh merokok, kan? Aku yang buta aja tau, masa kamu yang bisa lihat nggak tau." Gadis itu berucap kesal, masa bodoh dengan orang di sekitarnya entah siapa dan berusia berapa.

Adnan mematikan rokoknya tanpa berkata apa pun, dan membuang sisa batang rokok yang masih lumayan panjang asal.

"Makasih," kata gadis itu, nadanya sudah berubah lembut beda sekali ketika pertama tadi.

A to ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang