| 6 |

76 32 0
                                    

Adnan duduk di ranjang rumah sakit tempat ia dirawat sebelumnya, pakaiannya sudah bukan lagi seragam rumah sakit. Sekarang sudah tergantikan dengan celana jeans dan kaos berwarna putih berlengan panjang. Di sampingnya, ada sebuah tas berukuran sedang berisi baju-baju kotor yang sudah dirapikan ke dalam tas. Ia sedang mununggu Riyan menjemputnya.

Adnan membuka ponselnya, mencari kontak Riyan dan mengirim pesan teks agar jangan lama-lama di perjalanan. Ia malas sekali untuk menunggu.

Pesan-pesan yang masuk di ponselnya sudah tidak terbendung lagi, apalagi Angel dan Sekar yang sudah spam panggilan masuk dan pesan yang begitu banyak. Adnan mengabaikannya, beberapa temannya mengucapkan kata 'semoga cepat sembuh' yang entah itu tulus atau hanya sekedar menampangkan diri. Tetapi ada satu pesan yang Adnan anggap tulus, dari Febi sang Ketua OSIS SMA Purnama yang sebentar lagi akan lengser dari jabatannya, digantikan dengan angkatan yang baru.

Adnan tahu kalau Febi mempunyai perasaan lain untuk dirinya, seperti Angel dan Sekar. Tetapi Febi adalah tipe kebalikan dari Angel dan Sekar, ia yang hanya diam-diam tidak mau Adnan tahu. Adnan tahu, tetapi pura-pura tidak tahu. Agar Febi juga tidak terlalu malu dan risih. Lagi pula selama ini Febi tidak pernah mengganggunya seperti Angel dan Sekar yang tidak tahu malu. Merasa Adnan sudah menjadi hak milik mereka berdua, Adnan tidak suka itu.

Dan keningnya mengernyit, ketika nomor tidak dikenal mengirim pesan dan isinya:

Ini nomor Ziva

Adnan membuka riwayat nomor itu, dua panggilan tidak terjawab dan satu pesan masuk. Ia memukul kepalanya sendiri, mengumpat beberapa kali karena merasa dirinya begitu bodoh. Kemarin sore, Ziva meneleponnya dan Adnan tidak tahu sama sekali.

Tanpa berlama-lama lagi, ia balik menelepon. Nada tersambung, sampai nada panggilan ke-5, suara gadis itu baru terdengar.

"Halo?" Adnan tersenyum.

"Ini ibu?" tanyanya di seberang telepon.

"Ini Adnan," jawabnya.

"Adnan, kamu udah baca pesanku?" terdengar nada kegembiraan di sana. Adnan mengangguk, walaupun Ziva tidak tahu.

"Bagaimana kabar kamu?"

"Hm... baik."

"Bohong," ujar Ziva.

"Kenapa?"

"Butuh waktu 5 detik buat jawab kata 'baik', kenapa selama itu untuk bilang bahwa kamu baik-baik aja. Kenapa nggak yakin kalau kamu beneran baik-baik aja?" jelas Ziva.

Adnan hanya diam ketika Ziva berkata seperti itu, apa yang Ziva katakan benar. Ia berbohong.

"Lo lagi di mana?" alihnya sebisa mungkin.

"Aku di Pengadilan, nungguin Ibu."

"Ad, ayo! Lagi telponan sama siapa?" kata Riyan yang baru saja datang.

"Gue matiin dulu, nanti gue telepon lagi."

"Iya, Adnan."

Panggilan pun terputus. Adnan segera membawa tas genggam di sampingnya, "Bukan siapa-siapa, ayo."

Riyan pun segera mengantarkan Adnan pulang, Adnan belum bisa mengendarai, kesehatannya belum sepenuhnya pulih. Dan Riyan yang baru saja pulang sekolah langsung segera menjemputnya.

Adnan menyetel radio asal, berkali-kali menaik turunkan kaca mobil juga, memukul-mukul dasbor mobil seperti gendang dan menimbulkan suara berisik. Riyan menatap temannya heran, tumben sekali Adnan menjadi anak super petakilan dan tidak bisa diam.

A to ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang