| 5 |

87 33 3
                                    

Rumah terasa sepi lagi, ketika guru home schooling sudah selesai mengajar dan pulang. Ziva menyetel televisi, tidak menonton tetapi mendengarkan beberapa berita.

Ia benci kesunyian, ia benci hanya berdiam diri tidak melakukan apa-apa. Sudah dua hari Saga tidak mengajaknya keluar rumah untuk jalan-jalan atau mendengarkan radio bersama di kamar Ziva. Saga juga tidak menghubunginya selama itu.

Yang Ziva tahu, Saga sekarang sedang sibuk dengan intership-nya. Yang membuat dirinya harus makan dan tidur di rumah sakit. Menganggap rumah sakit sebagai rumahnya sendiri.

Tetapi menyebalkan sekali bukan, sekedar mengabari lewat telepon saja tidak bisa. Kalau Ziva bisa memainkan ponselnya, ia sudah membuat spam di ponsel Saga dengan panggilan dan pesan-pesan yang masuk. Tetapi Ziva hanya bisa menerima panggilan.

Beberapa kali helaan demi helaan napas keluar begitu pasrah, ia berpikir keras apa yang harus ia lakukan. Sartika belum pulang, apa ia harus ke Kantor Pengadilan? Tetapi ia yakin, dirinya nanti akan diomeli habis-habisan oleh Sartika karena khawatir. Dan jika saja Saga tahu, ia akan diomeli double.

"Ziva," bisikan seseorang seketika membuat bulu tengkuknya berdiri.

"Saga?"

"Iya ini aku, maaf baru bisa temuin kamu. Dan aku nggak ada waktu buat buka hape." Saga menjelaskan tanpa diminta.

"Aku bosen, kamu nggak ada. Nggak ada yang ajak aku keluar." Ziva mengerucutkan bibirnya, yang membuat Saga mengembangkan senyum begitu manis.

"Mau ke rumah sakit?" tanya Saga. "Aku kenalin sama teman sehari-hari aku, sekalian ada yang mau aku bicarain sama kamu."

Ziva mengangguk semangat, tetapi ia ingat sesuatu. "Saga tolong bantu aku."

"Apa?"

"Kamu bisa cari nama kontak Adnan?" Ziva menyodorkan ponselnya pada Saga. Kening Saga mengernyit, ia membuka kontak dan benar ada nama 'Adnan' di sana. Pada urutan pertama, dibawahnya nama 'Ibu', dan terkahir nama 'pacar' yang ternyata itu adalah nomor Saga dan ia yang menamakan kontak itu sendiri. Ziva tidak tahu apa-apa.

Kontak Ziva bertambah satu sekarang.

"Ada?" tanya Ziva antusias.

"Hm, ada," jawab Saga ragu-ragu.

"Bisa tolongin aku hubungi dia?"

Saga pun menelpon nomor itu dengan ponsel Ziva, ia memberikan ponselnya kembali. "Nadanya tersambung," katanya.

Ziva tersenyum tipis, ia pun menempelkan ponselnya ke telinga. Nadanya terus tersambung dan akhirnya mati. Tidak di angkat. Ziva mencoba untuk kedua kali dengan meminta bantuan Saga lagi, dan hasilnya sama.

"Kenapa? Nggak di angkat?" Ziva menggeleng lemah.

"Ya udah, nanti telpon lagi," usul Saga dengan suara lembut, tetapi wajahnya datar. Memikirkan siapa sebenarnya yang Ziva hubungi.

"Iya, bisa kamu tolong aku sekali lagi? Kirim pesan ke dia, kalau ini nomorku."

"Iya, sini aku gituin." Saga pun mengetik huruf demi huruf yang akhirnya menjadi tiga kata; ini nomor Ziva.

"Makasih ya, Saga."

Padahal maksud tujuan Saga ke sini, ingin menceritakan masalah Angga yang akan menikah lagi dan dirinya akan segera mempunyai adik tiri yang sama sekali Saga belum tahu wajah mereka seperti apa.

"Saga ayo!"

"Ayo!"

Saga pun mengajak Ziva keluar rumah, menuju rumah sakit tempatnya magang dengan menggunakan mobil Saga.

A to ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang