| 9 |

57 29 3
                                    

Rumah minimalis yang cukup mewah, didominasi dengan warna gold dan putih. Sebuah rumah peninggalan sang ayah yang sekarang sangat layak untuk Ziva dan Sartika tinggali.

Adnan mengarahkan matanya ke setiap sudut ruangan, sambil menunggu Ziva yang sedang berganti baju. Ia bangun dari sofa, dan melihat-lihat sekeliling. Bingkai foto paling besar di ruang tengah, dengan tiga orang di dalamnya. Suami istri dan sang anak kecil berusia tujuh tahun.

Dapat Adnan tebak, anak kecil itu adalah Ziva bersama dengan kedua orang tuanya. Dan Adnan yakin, saat itu mata Ziva masih berfungsi dengan baik. Karena jelas Ziva kecil menatap kamera sambil tersenyum manis dan terlihat sangat bahagia.

Di bufet berwarna putih, juga banyak sekali bingkai yang terpajang. Termasuk beberapa foto dengan Saga yang langsung dapat Adnan kenali.

Suara tongkat menyentuh lantai, menandakan Ziva sudah keluar dari kamarnya. Adnan tersenyum diam-diam, karena Ziva berganti pakaian dan sedikit berdandan.

Dan ada sedikit sentuhan liptin pada bibirnya.

Adnan segera balik untuk duduk di sofa seperti semula.

"Maaf lama ya?" tanyanya.

Adnan menggeleng, ia lupa kalau Ziva tak bisa melihatnya. "Nggak, kok," jawabnya cepat.

Pandangan mata Adnan tak lepas dari wajah Ziva, wajah Ziva seperti menariknya untuk terus melihatnya. Adnan menyadari sesuatu fakta tentang Ziva, ia selalu tersenyum. Garis bibirnya selalu berbentuk seperti bulan sabit yang sempurna.

"Adnan?" Ziva bingung karena suasana begitu hening.

Adnan mengerjapkan matanya beberapa kali, ia sadarkan dirinya dari pesona Ziva yang sedari tadi menarik dirinya seperti sebuah magnet.

"Hah, iya?"

Ziva terkekeh kecil, "Kamu melamun?"

Adnan hanya menjawab dengan menggumam.

"Ad, boleh tanya sesuatu? Tapi kamu jangan marah ya."

"Mau tanya apa?" kedua alis Adnan tertaut.

Ziva ragu sekali untuk bertanya seperti ini, ia merasa tidak pantas ikut campur dengan urusan orang lain. Tetapi, Ziva ingin beberapa langkah lebih dekat dengan Adnan. Mengetahui semua tentang dirinya, dan berharap Adnan dengan percaya memberitahu Ziva semua tentang dirinya.

Ziva sama sekali tidak bertanya, membuat Adnan bingung, dan Adnan memilih untuk bertanya duluan. Menghilangkan rasa penasaran yang sedari tadi, "Saga siapa?"

Tampak sekali Ziva kaget dengan pertanyaan tiba-tiba Adnan, diam membisu itu adalah Ziva sekarang. Entah kenapa ia bingung harus menjelaskan kepada Adnan siapa Saga.

Adnan tersenyum kecut, melihat Ziva yang begitu bingung dengan pertanyaannya. Tetapi ia tidak ingin mengambil pusing, Adnan belum tahu mereka berdua ada hubungan apa, jadi tidak masalah untuknya terus mendekati Ziva.

"Orang tua kita mau menikah," lama tak ada jawaban, Adnan memilih untuk menceritakan hal lain, tetapi masih berhubungan dengan Saga. "Kita bakal jadi saudara, gue dan Saga."

"Lo pasti udah tahu kan? Pasti dia udah cerita."

Ziva mengakui ia tidak bisa melihat lawan bicaranya, tetapi masing-masing dari suara mereka dapat Ziva ketahui apa yang sedang mereka rasakan. "Saga orangnya baik, dewasa, pengertian, dia adalah calon dokter spesialis bedah mata yang paling aku banggakan. Aku yakin, kamu akan senang punya abang kayak dia. Dia sahabat aku dari kecil, dari aku masih bisa lihat langit siang yang terik atau pun langit malam yang sangat kelam tanpa bintang."

A to ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang