| 17 |

54 28 8
                                    

Setelah selesai menyiapkan diri untuk pergi ke sekolah, Adnan bergegas menuju meja makan—Friska sudah meneriaki namanya sejak tadi. Tetapi ketika keluar dari dalam kamarnya, tepat sekali Saga juga keluar dari dalam kamarnya. Sepertinya Saga juga ingin menuju ke meja makan untuk sarapan, sebelum Saga menuruni anak tangga, "Gue sama Ziva cuma temenan kok," kata Adnan sukses membuat Saga memberhentikan langkahnya, lalu menoleh. "Jadi nggak usah khawatir atau suruh dia buat jauhin gue."

Adnan meninggalkan Saga lebih dahulu.

Sehabis percakapan canggung itu, mereka hanya berakhir diam di meja makan. Memang sebelumnya juga nggak pernah berbicara selayaknya teman.

Hari ini Adnan masih harus menyelesaikan masalah dengan Putra si cowok bedebah itu, menurutnya. Adnan nggak akan semudah itu meminta maaf—apalagi dia nggak salah. Putra sudah sok seperti jagoan, tetapi di depan ibunya terlihat jelas dia anak mama.

Nggak banyak yang harus dibahas pagi ini di meja makan, Adnan memang jarang membuka suara, ditambah wajahnya masih terasa nyeri akibat baku hantam dengan Putra. Dan tumben sekali Saga juga nggak banyak bicara, dia fokus pada makanannya, Saga lelah sekali dengan kegiatan di rumah sakit, ditambah beberapa masalah hati.

Sebelum Adnan berangkat, ia menyalami dulu tangan kedua orang tuanya. Angga menepuk pundak Adnan mantap, "Apapun keputusanmu, Papa akan selalu dukung, asal kamu memang benar."

"Thank's Pa," balasnya singkat.

Friska tersenyum senang, melihat interaksi mereka berdua, sedikit ada kemajuan. "Nanti Mama datang jam sembilan ya!" kali ini kata Friska ketika Adnan menyalami tangan ibunya itu.

Saga tak memedulikan mereka bertiga, asyik memakan sarapannya—tidak, tetapi berusaha asyik. Kenapa baru sekarang rasanya tak rela Angga menikah lagi? Walaupun Saga bukan anak yang antusias akan kasih sayang Papa-nya, tapi dia senang bila diperhatikan. Dan ternyata sekarang Saga merasakan, bila kasih sayang itu sudah terbagi dua, seperti ada yang kurang, ketidakrelaan, dan berusaha biasa saja. Itu sulit.

<>

Ruangan kepala sekolah terkunci dari dalam, tirainya menutupi setiap celah jendela, jadi jika ada orang yang melihat dari luar tidak bisa. Arin duduk di hadapan Bu Indah sambil tersenyum lembut, dibalik senyum itu ada maksud terselubung yang sebenarnya Bu Indah juga sudah paham.

Selama ini Arin—ibu dari Putra—memang sudah banyak membantu biaya fasilitas sekolah SMA Purnama. Sebab dulu sang ayah dari Arin adalah kepala sekokah di sini sebelum pensiun. Sang ayah dari Arin disegani oleh orang banyak.

Banyak yang mereka bicarakan, dari hal-hal yang basa-basi, lalu berubah serius dan berbisik. "Boleh saya minta kertas sama pulpen?" tanya Arin, dan Bu Indah langsung sigap mengambil benda yang disebutkan Arin di meja kerjanya.

"Sekalian tulis nomor rekening Ibu, ya," katanya menambahkan.

Bu Indah memberikan kertas selembaran beserta nomor rekening miliknya, seraya Arin mengambil kertas itu, ia berkata, "Buat Putra terlihat nggak bersalah ya, Bu." Senyumnya tersirat, seperti kalau Bu Indah tidak melakukan itu, karier-nya sebagai kepala sekolah akan musnah.

<>

Di ruangan BK, sudah ada Adnan bersama Friska duduk berdampingan. Begitu juga Putra dan Arin duduk berdampingan, berhadapan dengan Adnan dan Friska. Bu Indah duduk di sofa tunggal yang tepat di tengah, ada Bu Susi juga di hadapan Bu Indah yang juga duduk di sofa tunggal —karena ini merupakan ruangannya.

A to ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang