| 8 |

57 31 0
                                    

Adnan tersenyum miris, ia tidak tahu kenapa dirinya menjadi seperti ini. Ziva adalah orang yang baru dikenal olehnya, tetapi kenapa perasaannya menjadi aneh? Kenapa ada perasaan yang mengganjal ketika melihat Ziva dengan orang lain? Dan yang paling menyakitkan, itu adalah Saga, calon saudara tirinya.

Ternyata motornya melaju ke rumahnya, ia parkirkan motor itu dan segera memasuki rumah. Tetapi ada Angel di teras depan pintu utama. Membawa koper dan tas selempang sambil menangis, "Lo kenapa?" Adnan bingung.

Angel segera memeluk Adnan begitu erat dan dalam, tangisnya semakin meledak. Adnan tak membalas tetapi ia hanya diam, membiarkan Angel memeluknya. Karena ia juga punya rasa kemanusiaan, ia tahu bagaimana sekarang harus menyikapi Angel.

"Gue nggak tahu mau ke mana lagi Ad. Deva, Rena, gue nggak berani nunjukkin masalah gue sama mereka. Gue bingung Ad, mau ke mana. Cuma lo satu-satunya tujuan gue," kata Angel sambil menangis.

"Masuk dulu, tenangin diri lo dulu." Adnan mendorong bahu Angel agar ia dapat melihat wajahnya. Wajahnya sudah tidak dapat dijelaskan lagi, kedua kelopak matanya sudah bengkak karena sedari tadi ia terus menangis.

Adnan merogoh saku seragamnya dan mengeluarkan sebuah kunci rumah. Bi Suti sedang tidak ada di rumah, ia menemani Friska di rumah sakit.

Pintu pun terbuka, Adnan membawa koper yang dibawa Angel masuk. Angel mengikuti, masih dengan napas yang tersekat-sekat.

"Duduk dulu." Angel mengangguk mengiyakan, air matanya terus saja keluar tanpa henti. Tak butuh waktu lama, Adnan membawa segelas teh manis hangat.

"Minum dulu, biar tenang," titah Adnan entah yang ke berapa kali.

Setelah meminum setengah gelas, Angel merasa sedikit lebih tenang. Adnan melihatnya khawatir, ia tidak pernah melihat Angel seperti ini, bukan dirinya sama sekali.

Tidak ada yang tidak tahu Angel Vania di SMA Purnama, semua warga sekolah tahu dirinya. Ia adalah primadona sekolah, ramah sama semua orang kecuali Sekar; saingan terberat memperebutkan Adnan.

"Ad, lo tahu gue kan?" Adnan mengangguk perlahan. "Gue selalu memasang wajah yang buat orang lain ikut seneng ngeliatnya, karena gue primadona sekolah. Gue dipandang sama siapa aja, semua orang selalu ingin tahu tentang gue. Dan kalau gue jadi diri gue yang sebenarnya, apa kata mereka nantinya?"

Tidak ada tanggapan apa pun, Adnan hanya terus mendengarkan. Karena bukan saatnya ia menyela perkataan Angel, ia hanya harus terus menjadi pendengar sampai semua yang ingin Angel katakan sudah tidak ada lagi.

"Tapi gue udah nggak bisa jadi Angel yang kayak gitu, gue capek. Bahkan di depan Deva dan Rena gue nggak bisa jujur diri gue sebenarnya kayak gimana. Tapi kalau gue berubah jadi diri gue apa adanya yang kayak lo lihat sekarang, gue akan semakin menjadi pusat perhatian mereka."

"Ad, cu-cuma lo yang tahu i-ini," rasanya begitu berat untuk  melanjutkan kalimat selanjutnya. "Orang tua gue ce-cerai."

Setelah kalimat itu keluar dari mulut Angel, tangisnya kembali pecah. Bersamaan dengan mata Adnan yang terbelalak, ia tahu bagaimana keadaan Angel sekarang, karena ia pernah merasakan ini. Bahkan sampai sekarang, luka itu belum kering, dan tidak akan pernah kering.

Adnan mengikis jarak antara dirinya dan Angel, tangannya segera merengkuh kepala Angel. Untuk sekarang Angel butuh sekali sandaran, saat ini ia butuh seseorang, Angel melingkarkan tangannya di pinggang Adnan.

"Adnan, gue nggak mau mereka cerai." Adnan hanya membalas dengan usapan lembut di puncak kepala Angel. Karena Adnan juga pernah berharap seperti itu kepada kedua orang tuanya.

Dan pada saat itu juga, Angel merasa jarak yang tadinya begitu jauh dengan orang yang sangat ia cintai. Tiba-tiba saja sekarang bisa sangat sedekat ini, tanpa jarak sedikit pun.

A to ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang