| 18 |

55 27 2
                                    

"Mas Adnan bangun!" Bi Suti yang memang sudah biasa membangunkan Adnan dari saat dia masih kecil. "Bangun, Mas! Kan sekarang pengambilan rapot."

Adnan mengerjapkan matanya, mengadaptasi matanya dengan cahaya lampu di langit-langit ataupun dari luar jendela yang tirainya sudah Bi Suti sibakkan. "Siap-siap ya, Mas." Adnan hanya mengangguk sebagai jawaban walaupun matanya belum terbuka sepenuhnya.

Bi Suti pun meninggalkan kamar Adnan, beralih kembali ke belakang untuk membersihkan rumah bersama Bi Yani.

Tak butuh waktu lama untuk Adnan mandi, dalam sepuluh menit Adnan keluar dari dalam kamar mandi dengan handuk di perutnya. Rambut basahnya membuat ketampanannya semakin jelas, porsi badan yang pas, yang tak pernah Adnan umbar.

Memakai seragam sekolah seadanya, seperti biasa. Mana pernah Adnan lengkap dalam berseragam sekolah? Dia nggak betah bila ada dasi melingkar di lehernya, kaos kaki yang sampai betis, atau pun memasukkan bajunya ke dalam celana, menurutnya dia jadi tak bisa bergerak bebas.

Setelah selesai menyemprotkan parfum khas-nya—yang dapat Ziva kenali dengan mudah—dia melengser turun ke lantai bawah. Dari tangga Adnan melihat Friska dan Angga yang sudah rapi di meja makan dengan pakaian formal. Sadar kedatangan Adnan, Friska berucap heboh, "Eh anak Mama udah rapi juga!" Friska tersenyum hangat. Adnan pun menyelesaikan menuruni anak tangga yang belum tuntas.

Saga untuk hari ini belum pulang, lagi-lagi ia harus tetap berada di rumah sakit. Selama sarapan berlangsung, Friska dan Angga sibuk berdebat siapa yang akan menghadap wali kelas Adnan.

"Aku yang ambil rapot, Mas Angga yang tunggu di luar kelas."

"Tapi sayang, aku juga mau ambil rapot Adnan. Dan kamu yang tunggu di luar." Angga juga protes.

Adnan tersenyum tipis, bahkan hampir tak terlihat. Ada sebuah perasaan yang begitu senang baginya, rasa syukur yang mulai datang lagi, padahal sebelumnya selalu mengeluh dan bertanya apa salah dia sampai kehidupannya sangat jauh dari kata bahagia. Tetapi, sekarang Friska sangat antusias untuk mengambil rapot Adnan, padahal sebelumnya selalu sibuk. Dulu Friska juga peduli dengan Adnan, tapi nggak menunjukkan seperti sekarang. Dulu saat Adnan pulang ke rumah, Friska sudah tidur lebih dulu. Ketika pagi untuk sarapan bersama saja jarang, karena Friska harus buru-buru ke kantornya. Arya—ayah kandung Adnan—juga seperti itu.

"Adnan kamu pilih siapa?" suara Angga membuyarkan senyuman tipisnya.

"Hah?"

"Pilih Papa atau Mama?"

Adnan mengubah posisi duduknya menjadi lebih tegak, meletakkan kembali roti ditangannya ke piring, lalu menggenggam kedua tangannya. Adnan pura-pura berpikir keras, membuat Friska dan Angga menjadi berdebar siapa yang akan Adnan pilih.

"Kenapa nggak masuk dua-duanya?"

"Boleh?" Friska dan Angga menatap Adnan.

"Ya paling aku-nya yang malu," jawab Adnan seadanya. Adnan pun melanjutkan memakan sisa rotinya.

<>

Angga mengeluarkan mobilnya dari garasi, Adnan dan Friska sudah menunggu di depan pagar untuk segera menaiki mobil. Bersamaan dengan itu, Ziva dan Sartika sudah berada di dalam mobil, melewati mereka. Sartika membuka jendela mobil, menyapa, "Pagi, Adnan!"

"Eh pagi Tante, Ziva!" balas Adnan.

Friska tersenyum hangat, karena memang sebelumnya mereka sudah pernah bertemu untuk mengurusi perceraian.

Angga yang sudah mengeluarkan mobil pun ikut menyapa Sartika dan Ziva, "Mbak Sartika sama gadis cantiknya mau kerja ya nih?" Ziva terkekeh mendengar kebiasaan Angga memanggilnya.

A to ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang