| 7 |

69 35 1
                                    

Malam terasa begitu dingin, ditambah gelapnya langit yang begitu kelam tidak ada satu pun bintang. Langit jelas terlihat mendung, ditutupi awan-awan tebal yang sebentar lagi akan menurunkan hujannya.

Suara radio yang setia menemaninya hingga ia tertidur masih berbunyi sejak tadi, Ziva membuka sepasang matanya. Ia tertidur dengan jendela terbuka, angin masuk menyeruak ke dalam kamar. Di tambah ac yang menyala, tubuhnya menggigil.

Ziva pun mendekati jendela, meraba di mana letak jendela itu, dan segera menutupnya. Pasti Sartika sudah tertidur karena hari ini ia sibuk sekali bekerja.

Ia tersenyum tipis, kadang kala suka iri dengan orang yang bisa melihat sudah jam berapa sekarang. Ziva terbangun, tapi tidak tahu sekarang jam berapa. Ia ketiduran berapa jam pun, ia tidak tahu.

Ziva duduk di tepi kasur, memandang depannya dengan lamunan. Tiba-tiba ia teringat Adnan, bagaimana laki-laki itu berbicara dengan dingin, bagaimana laki-laki itu menangis, dan bagaimana laki-laki itu tertawa. Ziva tidak kenal dengannya, mereka awalnya hanya orang asing, tetapi sekarang seringkali pikirannya di isi oleh laki-laki itu. Kadang kala Ziva sering khawatir dengannya. Adnan sudah menunjukkan kesedihannya, yang berarti ia mempercayai Ziva.

Mendengarnya menangis, membuatnya sedih. Yang Ziva pikirkan bukan seberapa banyak masalah yang Adnan hadapi dan ia ingin mengetahuinya, tetapi ia hanya ingin terus berada di sampingnya. Menjadi temannya dan menghiburnya.

"Zi, kamu belum tidur?" Ziva menoleh ke arah pintu, langkah kaki Sartika semakin terdengar jelas mendekatinya.

"Ke bangun Bu, jendelanya lupa aku tutup."

"Astaga, maafin Ibu ya, Ibu juga ketiduran." Ibunya mengusap-usap badan anaknya khawatir.

"Jam berapa Bu, sekarang?" tanyanya.

Sartika mencari letak jam dinding di kamar Ziva, "Jam 11 malam, Nak."

"Bu, Saga ke sini?"

"Nggak, dia kayaknya harus nginep lagi di rumah sakit." Ziva cemberut, mereka sekarang jarang sekali bertemu. Yang biasanya setiap hari, tiba-tiba sehari saja tidak bertemu rasanya itu tidak enak.

"Bu, Adnan baik," seulas senyuman hadir di wajah Ziva.

"Adnan?"

"Orang yang waktu pertama kali ketemu Ziva di pengadilan." Ziva menjelaskan agar ibunya ingat.

"Yang waktu malam-malam di depan rumah Saga?"

"Iya, dia." Ziva tersenyum manis ketika Sartika tahu Adnan yang ia maksud.

"Tapi, penampilannya anak nakal tau."

"Hah? Serius Bu? Coba-coba cerita ke aku, Adnan kayak gimana." Ziva langsung antusias untuk mendengarkan.

Ibunya menegakkan badannya menandakan siap untuk bercerita, mengingat-ingat bagaimana rupa seseorang yang bernama Adnan. "Dia itu tinggi, lumayan ganteng si, alisnya tebal, rahangnya tegas, tapi penampilannya urak-urakan, pakaiannya nggak rapi. Semacam anak nakal."

Ziva berusaha membayangkan bagaimana rupa seorang Adnan, "Aku se-mananya dia, Bu? Bahu? Telinga? Atau sama?"

"Kamu sebahunya," jawab ibunya.

"Dia kelihatan kayak anak nakal, Bu?"

"Ya, kalau dilihat seperti itu."

Ibunya berbicara lagi, "Tapi ya, dia terlihat baik kalau lagi sama kamu. Seperti waktu itu dan tadi, dia juga menunduk sopan ke Ibu." Memang tadi Adnan menemani Ziva sampai Sartika selesai dengan pekerjaannya.

Senyum tipis pun muncul ketika Sartika  setuju kalau Adnan memang baik. "Zi...," Ziva menatap ibunya.

"Orang tua mereka baru saja bercerai, Ibu yang menjadi pengacara ibunya," senyum tipis itu memudar, kini Ziva tahu alasan mereka bertemu di Kantor Pengadilan untuk pertama kalinya. "Ibu kayak nggak asing sama wajahnya, dan ketika Ibu lihat berkas data klien, ada nama Adnan di sana, sebagai anak dari klien Ibu."

A to ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang