| 4 |

161 34 0
                                    

"Adnan, kamu tuh ya, masuk nggak?!"

Ziva samar-samar mendengar suara perempuan yang berbicara dengan nada tinggi, seperti sedang mengomel.

"Mamah nggak enak sama Om Angga, hormati dia sebagai calon Papah kamu, demi Mamah!" Friska terus saja mengomel, tetapi Adnan hanya menatap ke arah lain malas.

Sartika melihat ke arah mereka berdua, seperti kenal dengan perempuan yang seumuran dengannya itu. Terasa begitu familiar dengan wajah perempuan yang mengomel itu. Begitu juga dengan anak laki-laki itu. Tapi, siapa mereka?

"Siapa, Bu?" tanya Ziva penasaran.

"Kayaknya tamu Papanya Saga, mungkin," jawab Sartika seadanya.

"Sudah yuk, masuk, dingin." Ziva mengangguk mengiyakan, karena memang sore tadi habis hujan deras.

"Kamu masuk duluan, Ibu mau masukan mobil ke garasi dulu." Ziva mengangguk lagi.

"ADNAN DENGERIN MAMAH NGGAK SIH?!"

Langkah kaki Ziva terhenti, mendengar nama 'Adnan' membuatnya ingat dengan seseorang. Mereka sempat dua kali bertemu, tetapi tidak lagi sudah lama ini. Padahal Ziva masih suka berdiam diri di kantor Pengadilan. Menemani Sartika.

Di dalam mobil, Sartika yang sedang siap-siap menancap gas tiba-tiba menatap bingung anak gadisnya dari dalam mobil. Kenapa Ziva berhenti?

Tidak tahu dorongan dari mana, Ziva melangkah kan kakinya dengan dibantu tongkat, mengarahkan tujuannya ke rumah Saga. Merasakan insting bahwa ada laki-laki bernama Adnan di depan rumah Saga. Suara tongkat dan langkah kakinya bersautan. Mengingatkan Adnan pada saat pertama kali ia melihatnya di Kantor Pengadilan.

Tanpa berbasa-basi ketika tongkat Ziva mengenai seseorang, ia pun langsung bertanya. "Adnan?"

Diam tidak ada jawaban, tetapi Ziva bisa mencium bau parfum tercampur dengan bau asap rokok yang sama ketika di pengadilan waktu itu.

"Kamu Adnan kan?" Ziva masih berusaha menebak.

"Adnan, dia siapa?" tanya Friska bingung.

Ziva tersenyum ketika mendengar nama Adnan disebutkan lagi, ia yakin pasti Adnan ini adalah orangnya.

Adnan menatap Ziva lumayan lama, lalu sedetik menatap Friska untuk menjawab, "Teman."

Kening Friska mengernyit, melihat Ziva secara seksama dari kepala hingga kaki. Ya memang gadis ini cantik, tetapi ia buta, serius anaknya yang super nakal bermain dengan gadis seperti ini?

"Ini bukan pacar kamu kan? Ini Ibu kamu?" Adnan menjawab pelan, "Iya."

"Halo tante, saya Ziva, seumuran dengan Adnan. Seperti yang Adnan tadi bilang, kami teman." Ziva tersenyum seramah mungkin, hingga gigi gingsulnya terlihat jelas, menambah kemanisan di wajahnya. Walaupun matanya tidak benar-benar bertemu dengan Friska. Meleset.

"Ya, halo. Saya Mamahnya Adnan, Friska." Friska mengulurkan tangannya bermaksud untuk berjabat, tetapi ia lupa kalau Ziva tidak bisa melihat. Alhasil dengan tiba-tiba Adnan mengambil tangan Ziva untuk mengarahkan ke Friska

Ziva terbelalak merasakan tangan dingin cowok itu. Seketika tubuhnya menegang semua.

Sartika yang turun kembali dari mobil, mendengarkan percakapan mereka. Dan ia ingat akan sesuatu, perempuan itu adalah kliennya beberapa waktu lalu tentang kasus perceraian, dan Sartika sebagai pengacarnya.

Dan laki-laki yang sebaya dengan Ziva itu, sempat bertemu dengannya ketika di lorong pengadilan sedang bersama Ziva.

Diam-diam Adnan tersenyum lemah, matanya sering sekali melihat Ziva beberapa kali lalu menunduk.

A to ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang