Chapter 3

25.7K 3.1K 312
                                    

Ini pertama kalinya bagi Jihwan dikurung dalam sebuah sarana berbentuk persegi panjang yang menebarkan aroma wangi begitu menenangkan. Berteman hitam pekat, dirinya berusaha meraup napas setenang mungkin. Tubuhnya tak dapat digerakkan meski ia ingin meraih selembar saja kain beraroma citrus yang ada di sana.

Senyumnya mengembang manis. Tak terlalu peduli pada pengap yang menyapa. Ternyata di sini harta karunnya berada. Di dalam lemari itulah, ia merasa seolah-olah tengah memeluk Jungkook erat hingga ia dapat menghirup aroma citrus dengan baik. Dirinya mulai berfantasi, membayangkan wajah Jungkook. Membayangkan pria itu bernapas di telinganya dengan embusan kasar lalu membisikkan beberapa kalimat manis. Meski semua hal itu semu, entah kenapa Jihwan sangat menikmatinya. Bahkan tanpa sadar matanya memejam lama sembari terus meraup aroma di dalam sana dengan rakus, mengisi penuh paru-parunya tanpa peduli takut.

Sempat merasa dirinya akan lebih lama berada di sana, tiba-tiba suara derit mengganggu berhasil mengembalikan kesadarannya ke permukaan. Kelopak matanya membuka dengan cepat, mendapati Jungkook tengah menyeringai sambil mengendikkan salah satu alis hitamnya. "Aku tahu, kau sedang bermain di sini, benar? Kau menikmatinya, hm?"

Jungkook jelas tahu apa yang tengah Jihwan pikirkan saat ini sebab ia sempat memergoki perempuan itu memejamkan mata dengan begitu khidmat. "Kau nakal, Ji." Tambahnya lantas menarik Jihwan keluar dari dalam lemari, melepas kasar lakban yang membungkam mulut perempuan itu lalu berdecih.

Jihwan sama sekali tak mengalihkan pandangannya. Alih-alih merasa takut, perempuan itu malah menyungging senyuman, membuat Jungkook kembali mengendikkan alis lalu terkekeh sinting. "Kau sedang mengujiku, ya?" tak ada balasan apapun atas pertanyaannya. Presensi itu kelihatannya lebih suka membungkam daripada mengucapkan hal-hal bodoh tak masuk akal dan malah menyulut emosi Jungkook untuk kesekian kali.

Wajah pria itu mendekat cepat, melayangkan manik jelaganya dengan tajam lantas tersenyum remeh. "Kau membuatku marah, Ji." Tuturnya dengan suara rendah seraya meremat surai sepundak itu dari belakang. Tanpa diduga-duga, pria itu mendaratkan bibirnya pada bibir ranum Jihwan, benda kenyal yang belum dijamahnya sekali pun meski mereka sempat berkencan sebelum menikah, sementara bagi Jihwan, Jungkook adalah yang pertama.

Jihwan memejam lembut kala merasakan bibir prianya melumat dalam tanpa berniat memberikan lebih. Ia tidak tahu kenapa Jungkook menciumnya, itu terasa sangat mengganjal di hatinya, ia penasaran. Jungkook menyudahi aktivitasnya, melayangkan tatapan dalam sebelum berakhir menjauh dari perempuan itu. "Tinggallah di sini hingga menjelang malam." Setelahnya pria itu berderap cepat menuju pintu kamar. Sebelum benar-benar menutup pintu, pria itu menilik Jihwan sepersekian detik.

Belah bibir Jihwan merekah, hendak menyampaikan sesuatu yang ia sendiri tidak tahu. Belum sempat dirinya berucap, Jungkook sudah lebih dulu menutup pintu, menguncinya dari luar lantas melangkah pergi. Tubuh Jihwan limbung, berakhir mendarat di atas lantai, dadanya bergerak kembang kempis seakan ia baru saja lari maraton. Lantai dingin itu menyambut tubuhnya yang masih dalam keadaan terikat. Sekarang dirinya harus bersiap-siap menahan lapar juga haus hingga menjelang malam. Setidaknya, ciuman Jungkook barusan dapat membuatnya tenggelam bersama euforia walau hanya untuk sesaat.

....

Di dalam ruangan dengan dominasi warna putih, suara desahan menggema hingga ke tiap sudutnya. Hampir menjelang malam dan sebenarnya bukan waktu yang tepat untuk bergumul panas di atas ranjang. Tapi jika pria itu sudah terlanjur membengkak karenanya, maka Delaney―gadis blasteran Welsh - Korea itu hanya bisa melayani kekasihnya sekali pun harus berakhir di ranjang untuk selamanya.

Jujur saja, sebagai sekretaris sekaligus kekasih Jungkook, ia tak pernah merasa dikecewakan oleh pria itu. Ketika sedang bekerja, pria itu akan tetap terlihat menggairahkan, terlebih lagi di atas ranjang. Delaney tak peduli siapa yang lebih mendominasi sebab dirinya hanya peduli soal pelepasan.

LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang