Chapter 14

23.7K 3.3K 1.6K
                                    

Udara dingin menyapu total ruangan sejak hujan di musim semi turun dengan volume lebat hingga menuju waktu subuh. Wangi citrus senantiasa menguar hingga ke sudut ruangan, terhirup indra penciuman acap kali dua anak manusia yang bersemayam di balik selimut tebal mencoba meraup napas rakus dengan sepasang kaki membelit. Terlalu malas bangun dari mimpi hanya untuk menghidupkan fungsi penghangat ruangan.

Hampir pukul enam, Jihwan lekas membuka matanya dengan perlahan tatkala telinganya mendengar samar suara dengkuran halus seorang pria yang kini tengah mendekapnya dari belakang dengan begitu erat. Matanya terasa perih juga berat, benaknya masih diserang rasa bingung akan kondisi yang tertangkap obsidian lantas mengerjap beberapa kali untuk memastikan bahwa dirinya tak sedang bermimpi.

"Ngh―" dirinya melenguh tertahan, mencoba melepaskan diri dari sepasang kaki yang senantiasa membelitnya di bawah sana.

Volume hujan di luar sana mulai berubah rendah namun suasananya masih gelap gulita saat Jihwan melirik lewat celah jendela kamar yang gordennya sedikit menyingkap, menunjukkan keadaan di luar. Tangannya berusaha menyingkirkan sebuah tangan yang tengah mendekapnya untuk menjauh―setelah berhasil membuat pria itu mengubah posisinya menjadi terlentang dan melepaskannya, Jihwan lekas membalikkan badan ke arah suaminya.

Maniknya memandangi sisi wajah Jungkook―skeptis. Menyipit sejenak dengan tatapan datar. Ini aneh, pikirnya.

Atas dasar apa pria itu mau memeluknya dengan erat? Padahal selama ini mereka sama sekali tak melakukan sentuhan intim secara romantis di atas ranjang. Ia hanya ingat―tentang Jungkook si dingin dan kasar, bukan si hangat yang meluluhkan seperti saat ini.

Usai melamun cukup lama, ia pun teringat insiden semalam―saat ia nyaris menyaksikan suaminya bercinta dengan Delaney, membuatnya menghela napas dengan mata bengkak yang mengatup rapat. Pernapasannya mengalami nyeri lagi, terisak kembali tiap ingatannya mendesak untuk memutar lagi reka adegan semalam. Dan tiba-tiba, Jungkook terbangun saat suara isak tangis perempuan itu berhasil mengganggu aktivitas tidurnya.

Pria itu menyemburkan napas kesal sebab harus terbangun hanya demi menenangkan Jihwan yang kini meringkuk ke arahnya dengan air mata mengalir deras hingga merembes pada sprai.

"Jihwan―" ia memiringkan badan sambil melenguh. Tangan kanannya yang sempat menggantung di udara perlahan menangkup sisi wajah istrinya lalu menggunakan ibu jarinya untuk mengusap air mata yang mengurai di pipi.

Baru kali ini rasanya ia mampu menatap intens ketika Jihwan menangis karenanya, membuat ia merapatkan tubuh, menguraikan napas di wajah istrinya. Netranya menelisik paras cantik itu dengan tatapan sayu disela kesibukan jemarinya yang membelai belah pipi halus Jihwan begitu lembut.

"Jangan menangis lagi," bujuknya lembut berganti mengusap lengan itu lalu merengkuh tubuh ringkih Jihwan untuk didekap erat kendati ia sama sekali tak mendapatkan balasan.

Saat ini, yang Jihwan bisa rasakan bukanlah kenyamanan atas apa yang Jungkook berikan. Ia tak mengerti, sesuatu yang mengganjal pikiran terus mendesaknya untuk menolak perlakuan lembut pria itu. Namun entah mengapa ia sangat sulit menyingkir dari sana terlebih saat Jungkook mulai meracuni pikirannya dengan mendaratkan kecupan lembut pada pipi lalu berbisik tepat di telinga, "Sekarang sedang hujan, kau ingin aku merajaimu?"

Tidak sekali pun terlintas di pikirannya untuk menerima tawaran pria itu, malah berusaha menciptakan jarak dan mendorong dirinya sendiri untuk menjauh, masih dengan mata mengatup rapat juga isakan pelan. Jungkook menyunggingkan salah satu sudut bibirnya, tetap memandangi perempuan itu. "Matamu sudah membengkak, sekarang berhentilah menangis."

Jihwan menahan isak tangisnya sejenak, membuka mata dengan perlahan dan menatap samar paras pria yang kini menghadap padanya―telah mengganti senyuman liciknya menjadi senyuman amat menawan.

LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang