Chapter 48

17.7K 2.5K 317
                                    

Jihwan memaku tatap ke arah refleksi dirinya pada cermin. Tubuh rampingnya berbalut dress selutut berwarna biru muda dengan garis-garis vertikal putih. Ia berdandan agar tampak lebih cantik―dan sebetulnya memang selalu terlihat cantik dengan atau pun tanpa dipoles make up. Belah pipinya tampak merona sedang bibirnya semerah cherry menggoda yang membuat Jungkook tak henti memandangi dari tepi ranjang.

Setelah tangis keduanya mereda sekitar dua jam lalu, Jungkook memutuskan untuk mengajak Jihwan pergi keluar. Sebut saja kencan istimewa mengingat mereka jarang melakukan hal-hal manis seperti itu.

Sebelum pergi berkencan, mereka harus terlebih dulu pergi ke rumah Nyonya Han untuk mengambil undangan yang akan diberikan pada sang ayah. Tadinya Jungkook sempat memprotes, tapi ia sendiri tidak bisa mengutarakan ketakutan lainnya yang masih terpendam. Jungkook memohon agar Jihwan tidak memberitahu sang ayah mengenai kehamilannya, tetapi tetap saja, bagi Jihwan―ayahnya harus mengetahui berita sepenting itu. Maka pada akhirnya Jungkook hanya mampu mengangguk pasrah dan berharap segalanya akan tetap baik-baik saja.

Sesaat Jihwan menoleh selagi Jungkook masih memandangi dengan kedua telapak tangan menopang pada permukaan ranjang. Mereka saling menatap, tersenyum lebar―dan Jungkook senantiasa mengagumi kecantikan Jihwan.

Saat memandangi Jihwan, hatinya terasa begitu hangat dan nyaman, selalu seperti itu. Tidak pernah ada yang berubah. Mungkin karena inilah Jungkook jadi begitu tergila-gila pada Jihwan. Ingin menciuminya selalu. Ingin memeluk―ingin terus berada di sisinya, sekaligus menjadi sedikit lebih manja. Jungkook berharap bisa menjadi lebih manis, meski sejujurnya Jihwan tak menuntut hal-hal serupa, sebab Jihwan jelas mengerti bahwa hal-hal manis sangat bertolak belakang dengan sifat Jungkook. Lebih tepatnya, Jungkook tidak tertarik pada hal romantis.

Jihwan mengangkat kedua tangan, memamerkan simbol hati dari masing-masing jari telunjuk dan ibu jari, mengecup bergantian lalu melempar ke arah Jungkook yang sempat meneleng bingung dan membuat lawannya mengerucut sebal. Hingga sepersekon berikutnya pria itu membuka mulut dan memahami―berpura-pura menangkap balon hati yang Jihwan kirimkan, berujung menghempaskan tubuh ke atas ranjang seolah telah tertembak sembari tersenyum gemas. Dalam sekejap kekehan Jihwan pun mengudara, mengisi tiap sudut ruang pribadi mereka.

Ketika Jungkook bangkit dari atas ranjang, ia terlihat begitu bahagia, melangkah menuju Jihwan lalu berakhir memeluk tiap sisi pinggang ramping sosok di hadapannya. Maniknya menelisik paras dengan teduh lantas menangkup kedua belah pipi Jihwan yang sukses membuat sang empu memejam tatkala merasakan kehangatan. Jihwan tampak begitu tenang sebelum berakhir membenamkan wajah pada dada bidang Jungkook. "Apa kau benar-benar tidak berniat mengantarkan Delaney ke bandara?" tanya Jihwan lembut. Sepasang matanya mengatup rapat dengan lengan melingkari punggung sang suami.

"Tidak. Aku tahu dia akan merasa berat hati untuk pergi jika melihat kita berdua."

Ucapan Jungkook memang ada benarnya. Jihwan rasa saat ini Delaney sedang berada di posisi yang sulit. Mungkin benar seperti kata Jungkook. Sebaiknya mereka tidak menampakkan diri sehingga membuat gadis itu merasa terpuruk nantinya. Jungkook merasakan wajah mungil itu bergerak acak di permukaan dada―menghirup aroma tubuhnya begitu dalam lalu mengembuskan napas hangat.

....

Jemari ramping Jihwan bertaut erat dengan jemari hangat Jungkook. Telapak tangannya terasa kecil dan lembut sehingga membuat Jungkook tak henti meremas gemas. Selama tungkai-tungkai itu melangkah dan menyusuri jajaran pertokoan, Jihwan tak henti bercicit mengenai banyak hal―terkadang berjalan memimpin dan menarik pergelangan tangan besar dalam genggamannya lalu tanpa diduga-duga menoleh hanya untuk menunjukkan senyum manis kelewat bahagia.

Hawa di bumi terasa lumayan gerah, tapi Jungkook tidak merasa bahwa hal itu mengganggu. Hanya dengan melihat surai hitam itu tergerai dan berkibar lembut karena tiupan angin yang berkunjung, entah kenapa ia merasa begitu bahagia. Terkadang jemarinya bergerak meraih, merasakan helai rambut itu jatuh di telapak tangannya, membelai tiap sela jemari lalu tersenyum lebar, memamerkan dua gigi kelinci mencuat dari balik bibir atas yang tipis.

LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang