Chapter 8

22.3K 3.2K 316
                                    

Terkutuklah seorang Jeon Jungkook yang kini tengah bersiul ria dalam ruang pribadi flatnya sambil menikmati secangkir kopi panas sementara istrinya harus berkelana dalam kegelapan sebelum keluar dari gang flat.

Usai keluar dari gang flat, Jihwan akhirnya bernapas lega sebab menemukan cahaya yang telah ia nantikan setengah mati, pasalnya beberapa menit lalu ia senantiasa diselimuti ketakutan tak menentu. Membayangkan bagaimana jika tiba-tiba sesuatu yang tak ingin ia lihat mungkin saja muncul dalam kegelapan untuk membuatnya lari tunggang langgang. Atau malah yang lebih buruk lagi―seperti menemukan pria-pria bodoh yang suka mabuk di gang-gang terpencil.

Pikirannya dibuat was-was. Terlihat berani di hadapan Jungkook sebenarnya hanya topeng belaka guna menunjukkan ia tak lemah, meski nyatanya―ketakutan Jihwan selalu bertambah buruk kian waktu.

Memerhatikan lalu lalang kendaraan yang begitu sibuk, Jihwan mengerjap sesekali sembari mendongak, menangkap kelam yang menggantung penuh di langit malam. Suara ramai sekeliling tak pula mengobati hatinya yang sepi tiap detik. Jihwan menghela napas berat dengan pipi menggembung lalu menelusupkan tiap telapak tangannya ke dalam saku hoodie.

Setelah dirasa cukup jauh melangkah dan hampir mencapai super market, Jihwan tiba-tiba dikejutkan pada aksi baku hantam di depan sana. Sekitar sepuluh langkah dari dirinya.

Nyaris saja perempuan itu hendak berbalik, menghindar sebelum keberadaannya disadari namun beberapa detik setelahnya hati itu terketuk. Ia mengamati intens. Di sana ada seorang pria yang nampaknya sudah tak lagi mampu bertahan, menahan pukulan dengan tangan menyilang guna melindungi bagian kepala sementara tubuhnya terduduk di permukaan bahu jalan.

Entah orang baik atau bukan, Jihwan tak bisa berpikir panjang lagi kala itu. Ia melirik ke berbagai arah, ingin meminta bantuan namun tak mendapati presensi pejalan kaki―hanya eksistensi kendaraan yang sibuk berlalu lalang tak peduli.

Jihwan panik, ingin membantu tapi agak ragu. Ia melirik sebuah tong sampah dua langkah di dekatnya, bergegas mengorek ke dalam seperti seorang pengemis malang. Siapa tahu menemukan benda berguna untuk perlawanan, pikirnya.

Keajaiban tak terduga nyatanya tengah berpihak pada Jihwan saat ia menemukan sebuah balok kayu dengan panjang sekitar lima jengkal, bercat cokelat tua―mungkin bekas bagian kursi kayu yang dibuang dan agak terasa berat di genggaman. Napasnya menderu kasar, menatap nyalang ke arah dua orang pria berperawakan seram yang masih memukuli seorang pria tak bersalah.

Dengan langkah sedikit ngebut, Jihwan lalu memberanikan dirinya mendekat. Posisi kedua pria itu membelakangi, jadi ia punya kesempatan cukup besar.

Seketika bunyi hantaman antara balok kayu dengan kepala terdengar sepersekon kemudian. Membuat rahang Jihwan turun beberapa senti, terkejut atas aksinya sendiri sambil menggumam. "Woah!" ia hanya merasa keren untuk sesaat usai mendengar salah satu korbannya mengerang kesakitan dan satu lainnya langsung menyentak pandangan.

"Siapa kau?" demi apapun, pria itu benar-benar garang di mata Jihwan, membuat ngeri sang empu yang tangannya mulai gemetaran. Maniknya menilik salah satu pria yang tadi sempat dipukul tengah jatuh ke permukaan bahu jalan. Susah payah ia mencoba meneguk liur saat satu pria yang masih bertahan menatap tajam seolah akan mengoyak kulitnya saat itu juga.

Jihwan tersenyum lebar, lalu menjawab. "Hanya―bidadari sok baik yang kebetulan lewat!" dan usainya ia langsung menghantamkan balok dalam genggaman pada kening pria itu. Pastilah memar, Jihwan yakin seratus persen.

Ia buru-buru menarik pergelangan tangan si pria―yang tadi menjadi korban kedua pria seram itu, menarik paksa untuk menjauh dari sana sebelum mereka dikepung. Si pria yang mengalah hanya bisa menurut sebab tak lagi memiliki tenaga, terlebih lagi―kelihatannya pria itu mabuk. Sementara Jihwan sendiri masih belum sadar bahwa tangan kanannya senantiasa memegangi balok kayu, si penyelamat.

Jihwan menggeret paksa pria mabuk itu untuk berlari bersamanya menuju super market. Kepalanya tak lagi mampu memikirkan jalan lain untuk kabur. Napas keduanya terengah disela pelarian. "Oh, shit! Dompetku ada di sana, Nona!" pria itu meneriaki dengan frustasi, ingin menghentikan langkah tapi Jihwan tetap menariknya.

"Biarkan saja, Anda lebih penting saat ini."

Si pria hanya bisa mengerang, kesal karena dompetnya lolos dan juga kesakitan merasakan nyeri pada perut dan bahunya yang tadi sempat mendapat pukulan mematikan.

....

Angin musim semi yang menerpa berulang kali menggelitiknya. Dengan berbekal kemeja putih lusuh yang membalut tubuh―Park Jimin, pria bermata sipit yang sejak tadi menahan perih tubuhnya hanya bisa mendaratkan kepala di atas permukaan meja yang tersedia di teras supermarket.

Ia mengepalkan tangan di atas sana. Menahan antara rasa pening dan mual yang mengitari secara penuh, merasakan kondisi lambungnya tak cukup baik, ingin sekali memuntahkan seluruh isi perutnya agar merasa lega.

Beberapa menit kemudian, seorang perempuan datang menghampirinya lantas mengambil posisi duduk di sisi kirinya, membawa beberapa bungkusan berlogo supermarket di sana.

Jihwan langsung mengeluarkan sekotak susu berukuran sedang dari kantung belanjaan, menyodorkannya pada pria yang sejak beberapa saat lalu ia ketahui bernama Park Jimin. "Minum ini, aku juga sudah membelikan kantung muntah jika―" agak menjijikkan, tapi Jihwan tak punya pilihan lain. Ia paham bahwa pria itu pasti menahan gejolak dalam lambungnya susah payah hingga detik ini. "Aku tak punya banyak waktu. Setidaknya aku meninggalkanmu setelah tahu kau bisa pulang sendiri ke rumah."

Secepat mungkin pria itu mengangkat kepalanya, menatap Jihwan sayu sebelum akhirnya menilik kotak susu di dekatnya. "Pulanglah, Nona. Aku akan baik-baik saja. Terima kasih atas bantuanmu. Aku berjanji akan membalasnya."

"Eh―tidak-tidak." Jihwan menyahut, menolak dengan kedua tangan yang bergerak bersilangan di depan pria itu lalu menimpali. "Jujur saja, aku tidak mengharap balasan apapun. Aku hanya kebetulan lewat dan tidak mungkin membiarkanmu begitu saja."

Kelopak pria itu masih sayu seperti sebelumnya, memandangi Jihwan lebih intens setelahnya mengernyit. "Ada lebam di wajah Anda, apa mereka tadi memukul Anda?"

"Ah―" refleks Jihwan meraba wajahnya yang meninggalkan beberapa lebam lama lalu ia tersenyum tipis. "Bukan, mereka tidak memukulku. Aku mengalami kecelakaan beberapa hari lalu." Dustanya.

Alih-alih penasaran, Jimin akhirnya mengangguk mengerti―dalam hati ia bertanya-tanya sebab tak percaya akan ucapan Jihwan barusan karena ia sedikitnya paham luka lebam tersebut bukan efek kecelakaan. Memang kecelakaan seperti apa yang bisa membuat muka penuh lebam seperti habis baku hantam dengan petinju?

"Itu―apakah luka Tuan harus diobati?"

"Tidak, aku akan mengobatinya setelah sampai di flatku. Tenang saja, aku seorang dokter―hal seperti ini hanya perkara mudah bagiku." Tuturnya lembut lantas membuat Jihwan manggut-manggut dan tak lama setelahnya si pria melirik kantung putih belanjaan di atas meja―nampak tembus pandang, menunjukkan isinya yang berupa rokok dan beberapa bungkus kondom.

Sejenak ia meneguk ludah susah payah, membuat Jihwan turut melirik, menyadari bahwa pria itu telah mengetahui apa yang ia beli dan sepasang manik mereka bertemu kembali dengan raut canggung. "I―itu," Jihwan bingung, malu. Kedua tangannya meremat ujung hoodie dengan gemas, "milik suamiku." Katanya mengimbuh.

"Ah, begitu." Si lawan bicara menyahut dengan raut tak terdeteksi.

"Maaf, Tuan―sepertinya aku harus segera pulang."

Jimin lalu tersenyum setelah mendengar ucapan perempuan yang kini beranjak berdiri seraya meraih kantung belanjaannya. "Panggil Jimin saja, semoga lain waktu kita bertemu kembali ya, um―namamu?"

"Jihwan," kata si perempuan, menunjukkan lengkungan teramat manis yang membingkai bibir mungilnya.

"Baiklah, Jihwan. Sampai jumpa." []

***

Cieee, akhirnya Jimin muncul. Rencananya aku mau bikin Jimin jadi cowok cuek. Dia manis kayak gini sebelum tahu siapa Jihwan sebenernya. Tapi kita lihat aja deh gimana ke depannya dan maaf, di chapter ini Papi Jungkook nggak muncul, dicekal dulu xD jangan lupa vomment ya biar aku semangat buat lanjutin hehe.

Big Luv,

Kiki

LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang