Chapter 36

25.8K 3K 647
                                    

Sisi ranjang terasa kosong dan luas saat tangan Jungkook meraba, melicinkan seprai ranjang lalu menyingkap kelopak matanya lembut. Merasa yakin tidak akan melihat Jihwan di sisinya, Jungkook pun menoleh untuk memastikan sebelum bergegas bangun dan hanya duduk di atas ranjang sambil mendengus. Dadanya telanjang, yang ia yakini tubuhnya pun demikian. Ia masih ingat rangkaian adegan demi adegan semalam saat ia dan Jihwan bercinta dengan lembut. Jungkook tidak dapat melupakan wajah cantik Jihwan yang menggumam namanya dengan tersengal dan tersenyum. Tubuh Jihwan sangat lembut, halus dan nyaman untuk dikungkung.

Kedua telapak tangannya terangkat dan dipandangi lekat. Semua jemarinya telah menyentuh Jihwan tanpa melewatkan satu inci pun. Berapa kali mereka sudah bercinta? Jungkook nyaris gila lalu menekan kelopak matanya sembari tertawa konyol. Ia bahagia. Begitulah kenyataannya. "Aku bisa gila karenamu, Jihwan," katanya lirih―mulai merenggangkan lengan yang terangkat tinggi di udara; menggeliat dan mengerang. Sialan. Tubuhnya begitu gagah dan merasa energinya telah terisi penuh.

Tubuh telanjangnya turun perlahan dari atas ranjang. Semalam usai ia mengambilkan segelas air untuk Jihwan, mereka bercinta sekali lagi dan rasanya tetap memabukkan. Jihwan tidak menolak, sebab ia suka dan juga membutuhkan Jungkook. Tapi Jihwan tahu ia harus berusaha lebih keras lagi menahan suara serta desahan saat Jungkook menginstruksi; mereka harus berhati-hati agar tak membangunkan seisi rumah. Dan Jungkook melakukan dengan lembut, tapi dalam. Sangat memuaskan, Jungkook tidak mampu berbohong. Perlahan-lahan bayangan tentang Delaney yang selalu menguasai dirinya mulai menghilang. Meyakini bahwa Jihwan bisa melakukan lebih dari yang ia duga. Jihwan belajar cukup cepat darinya. Bukan berarti memberi pelajaran tentang seks kepada istrinya itu perihal mudah. Jungkook hanya berusaha memberitahu dengan santai dan tenang.

Saat ia memunguti pakaian yang berserakan di atas lantai, ruang pendengarannya lekas menangkap suara ketukan pada pintu, disusul suara wanita paruh baya terdengar ramah. "Sayang, kau akan bangun atau terus bergelung dengan selimut? Kami mungkin akan sarapan tanpamu. Cepatlah, Jeon Manis." Jungkook nyaris terkekeh dengan wajah memerah, menduga bahwa ibu mertuanya pasti tengah menanti agar ia membuka pintu. Jihwan mengatakan semuanya pagi ini―dan Nyonya Han tidak berani membuka pintu. Takut-takut ia akan menemukan menantunya dalam keadaan telanjang. Bisa mati berdiri ia nanti.

"Aku akan segera turun, Bu."

"Baiklah, Ibu tahu kau lelah setelah melaksanakan tugas menyenangkan. Tapi kami tidak mau kelaparan karena menunggumu." Nyonya Han mengingatkan, mengetuk pintu sekali dengan spatulanya lalu beranjak meninggalkan tempat. Jungkook menggigit ujung bibirnya, terkekeh lagi; malu karena tertangkap basah. Istrinya itu terlalu jujur.

....

Hanya butuh kurang lebih sepuluh menit sampai akhirnya Jungkook sampai di lantai dasar. Ia belum melihat istrinya, kecuali Tuan Park yang sedang duduk dengan satu kaki menopang di paha, membaca koran dan sesekali memperbaiki kaca matanya yang melorot. Jungkook sendiri merasa heran sebab tadi bukan istrinya yang datang langsung ke kamar, melainkan ibu mertuanya.

Hati-hati Jungkook menapakkan tiap langkahnya di atas lantai. "Pagi, Ayah," sapanya pada Tuan Park yang buru-buru mendongak, mengabaikan koran barang sesaat.

"Pagi, Nak. Tidur kelewat nyenyak?"

Jungkook mengusap lehernya. "Sangat. Maaf aku terlambat." Masih merasa canggung pada pria itu dan Tuan Park tampak memaklumi dengan cara menuai senyuman manis. Raut wajahnya yang ramah jelas berbanding terbalik dengan putranya―Park Jimin. Jungkook sampai tidak tahu dari mana sifat Jimin berasal, sementara ayahnya begitu hangat dan bijaksana.

Kembali mengalihkan pandangan pada koran di tangannya, Tuan Park membiarkan Jungkook berkunjung menuju konter dan mengamati kesibukan ibu. Matanya memandang penuh, lantas tersenyum senang. Saat berhasil mendekat, tahu-tahu Jungkook memeluk perut Nyonya Han hingga mengejutkan si empu. Hidungnya tergoda dengan bau sampo dan rempah masakan yang menjadi satu. Nyonya Han menengok, tertawa geli. "Astaga. Mengejutkan sekali, kau ini!"

LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang