Chapter 9

21.2K 3.2K 443
                                    

Cahaya terang di ruang utama menyambut kedatangannya yang membawa sebuah kantung kecil berlogo dalam genggaman.

Tatapannya jatuh ke bawah, tengah mengamati kesibukannya mengganti alas kaki dengan sandal rumah sebelum akhirnya berderap menuju ke kamar.

Sebelum memutuskan untuk masuk ke dalam kamar, Jihwan hanya berdiam diri di depan pintu sambil menghela napas sementara genggamannya pada kantung plastik kian mengerat. Anak rambutnya jatuh menyelimuti kening lalu ia bergegas menarik tuas pintu―mendorong daun kayu lebih lebar agar dapat memasuki dengan leluasa.

Obsidiannya langsung menangkap presensi yang kini tengah terlelap di atas sofa tunggal yang sehari lalu ia pindah keberadaannya dari dekat ranjang―kini berada di bawah bingkai jendela kamar. Jihwan tersenyum lamat lalu melangkah hati-hati, berniat mendekat.

Ia letakkan bungkusan bawaannya ke atas meja di samping sofa yang tengah Jungkook tempati. Punggungnya agak membungkuk, memandangi wajah tenang prianya yang belum mengetahui kehadirannya. Siku kanan pria itu bertumpu pada bahu sofa untuk menyangga sisi kepalanya yang terkadang nyaris jatuh.

Jihwan tetap bergeming hingga detik berikutnya ia memberanikan diri untuk menyentuh wajah Jungkook dengan kelima jemari lentiknya. Ia mencintai juga menyayangi pria itu, bahkan selalu berharap dapat menyentuhnya tanpa perasaan takut.

Telapak tangannya sekarang dapat merasakan betapa halusnya permukaan pipi itu, mengusapnya lembut dengan ibu jari hingga satu senyuman mulai membingkai bibir. Namun senyumannya tak bertahan cukup lama. Sudut matanya memproduksi likuid yang entah sejak kapan telah menggenangi pelupuk.

Dengan gerakan lambat wajahnya mulai mendekat sementara tangisannya tak juga berhenti, malah semakin deras tiap sekonnya.

Jihwan memejamkan mata saat bibirnya telah sukses menempel dengan milik Jungkook, melumatnya kecil dibarengi letupan-letupan euforia yang menyambangi kepala. Hatinya tetap terasa pilu sekali pun rasa bahagia tengah menyelimuti. Sebab ia tahu, pria yang tengah ia cium tak turut menyambutnya. Tak pernah mengganggap dirinya berarti.

Tak sampai semenit kemudian Jihwan membuka mata―terkejut ketika mendapati Jungkook tengah menatap sayu. Saat perempuan itu hendak melepas tautan, dirinya lebih dulu ditahan sekuat tenaga oleh satu tangan kekar yang kini menahan belakang kepalanya untuk tetap pada posisi. Jihwan menjerit disela pagutan yang ia terima, memejam rapat hingga merasakan satu tangan lain telah melingkari pinggangnya, menuntun ke mana ia harusnya beristirahat. Tepat di atas pangkuan Jungkook yang kini memejam nikmat.

Disela lumatan yang terus berusaha menenggelamkannya, Jihwan sempat tersadar untuk melepaskan diri namun lagi-lagi Jungkook menahan pergerakannya untuk menetap hingga tangannya melingkari tengkuk pria itu tanpa komando. Merasakan gigi-gigi tajam menyentak bibir bawahnya dan menciptakan rasa perih yang akhirnya memberikan celah bagi lidah Jungkook untuk memasuki rongga mulutnya. Ia luluh serta merta tersihir dengan desiran yang saling menyerang.

Jihwan merasakan napasnya mulai tersengal, ditambah lagi tanpa ia sadari kedua tangan Jungkook telah menyusup ke dalam hoodie-nya, menyalurkan sensasi lebih menyengat saat ia merasakan remasan ketat pada puncak dadanya, berganti dengan sentuhan langsung antara kulit dengan kulit yang menimbulkan rasa hangat tak terbantahkan. Jungkook semakin gencar mempertemukan lidah keduanya, saling membelit pun mendorong, berlomba menghasilkan bunyi kecapan lalu tiba-tiba melepaskan tautan―memutus benang saliva yang terjalin untuk beralih menuju perpotongan leher Jihwan.

Ia menghirup sesaat, mengecup kulit putih itu lalu menyesap dengan lidahnya, mengembuskan napas hangat dengan terburu sebelum akhirnya berpindah menuju bahu yang saat ini masih dibalut hoodie. Ia menghirup lagi―cukup lama. Kepalanya mulai diserang berbagai opini setelah menyadari bahwa ada aroma lain yang hinggap di tubuh istrinya. Lebih tepatnya bukan aroma khas yang selama ini ia hirup dari Jihwan.

Kedua tangannya merosot keluar, membuat Jihwan yang tengah memejam dengan napas tersengal mendadak membuka mata, menatap sayu ke arah pria yang kini menyorotnya tajam.

Jungkook menyeringai lebih dulu lantas berucap, "Kau habis disentuh pria lain, menyingkir dariku, Jalang."

Sontak Jihwan membulatkan matanya, merasakan tubuhnya yang seakan berubah stagnan mendapati tatapan Jungkook kian menggelap. "Menyingkir dariku, Ji."

"A―aku bisa menjelaskan semuanya, aku―"

Sejenak pria itu memejamkan matanya sambil menghela napas. "Menyingkirlah atau kau ingin aku yang menyingkirkanmu?!" makinya keras hingga membuat kedua tangan yang sempat mengalungi tengkuknya merosot lemah, lekas menyingkir dengan wajah pasi.

"Jungkook, aku―"

"Diam! Jangan bicara padaku!" sentaknya lebih nyaring, sukses membisukan sang lawan bicara yang kini hanya bisa berdiri tegang sambil menunduk dalam dengan tangan saling menggenggam erat. Jihwan menggigit bibir bawahnya, masih merasakan bahwa tatapan tajam itu terus menyorotnya. "Kau harus diberi pelajaran." Pria itu menggumam, lekas berdiri.

"Lepaskan pakaianmu."

"A―apa?"

"Lepaskan!" titahnya dengan intonasi kelewat tinggi, sekali lagi membuat lawannya bergerak kalang kabut disertai tatapan takut. Melucuti hoodie juga jeans yang ia kenakan. "Semua." Kini nadanya berubah rendah serta merta manik yang terus memandangi rupa tubuh perempuan di hadapannya. Jihwan lekas menurunkan tali branya dengan hati-hati, sesekali melirik Jungkook.

"Brengsek kau, Ji!"

"Tidak, Jungkook! Jungkook apa yang kau lakukan?!"

Pandangan Jihwan mengabur sesaat, merasakan tubuhnya terbang seperti sekumpulan kapas ringan, merasakan hentakan demi hentakan pada lantai kayu lalu mendarat di atas lantai dingin yang membuat ujung lututnya merasakan nyeri luar biasa.

Belum sempat dirinya menarik napas, Jungkook telah meremat sejumput surainya dalam keadaan berlutut, menyentak ke belakang―menyebabkan empunya menjerit kesakitan. Menyadari bahwa dirinya tengah dihadapkan pada genangan air dalam bathtub―ia pun menggeleng cepat.

Tidak lagi. Sudah cukup.

Likuidnya turun hingga ke pipi, memandang Jungkook penuh harap. Namun hal itu sama sekali tak mematahkan niat pria yang tengah bersiap menyiksanya kembali.

Jihwan menutup mata begitu wajahnya terbenam ke dalam genangan air, refleks meremat lengan kekar yang kini tengah mendorong kepalanya dengan tekanan teramat dalam. Kepalanya ditarik kembali menuju permukaan, membuatnya terburu-buru mengambil napas―sebelum satu tarikan napas ia dapat dengan percuma, Jungkook kembali memberi dorongan.

Hukuman itu terjadi hingga berkali-kali sampai membuat Jungkook sendiri berkeringat banyak. Kaus yang ia kenakan basah karena percikan air dan kini hanya memandangi Jihwan yang tengah terbatuk dengan tubuh terkulai tanpa daya di atas lantai kamar mandi.

Jungkook bergegas melepaskan kaus kebesarannya, melemparkan ke arah Jihwan yang kini hanya mengenakan bra dan celana dalam berenda. "Jangan beranjak dari sini hingga pagi atau kau akan tahu akibatnya." Setelah berucap demikian, pria itu berlalu dari sana, sempat mendengarkan isakan tertahan sebelum akhirnya menutup pintu dengan debuman cukup kencang. []

***

Otte? Padahal tadi udah mau bikin adegan itu :( tapi, aku pingin nyiksa kalian dulu. Dengarlah wahai gadis manis, story ini mahal dengan kata bahagia, jadi kalian bakal bosen lihat Jihwan nangis terus :) harap bersabar, ini ujian dan sampai akhir pun akan selalu menjadi ujian *enggak ding* /wah saya spoiler/

Semoga suka terus ya. Gih komen yang cerewet, aku siap meladeni! xD

Big Luv,

Kiki

LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang