Chapter 12

22.2K 3.3K 387
                                    

Seharian ini Jihwan tak banyak melakukan pergerakan cukup berarti. Di ruang pribadi itu, ia hanya berteman dengan permukaan empuk ranjang, memejamkan mata―bahkan mengabaikan ketukan pada pintu ketika Delaney mengantarkan makan siang beberapa jam lalu. Berakhir dengan meletakkannya di atas nakas usai mendengar penolakan dari Jihwan yang juga meminta gadis itu untuk segera enyah dari flat.

Matanya yang sejak seperempat jam lalu mengatup kini mulai menciptakan celah. Ia tatap kecil telunjuk kanannya. Kuku yang sewaktu itu nyaris saja tanggal dari sana kini terlihat mulai membaik namun meninggalkan warna kehitaman seperti darah yang membeku terlalu lama, membuat ia benci menatapnya dan hanya bisa menghela napas.

Ingatannya membawa ia kembali memutar waktu ke belakang saat kali pertama mengenal pria itu, pria yang kini menjadi suaminya. Pria yang jelas-jelas lebih muda dua tahun darinya. Mengingat betapa Jungkook amat memesona sewaktu itu sampai membuatnya terbius lalu jatuh cinta. Namun sangat disayangkan―ia salah menjatuhkan pilihan dan baru menyadarinya ketika mereka telah hidup di bawah atap yang sama.

Senja mulai menyombongkan rupanya lewat jendela kamar yang masih terkuak lebar, membiarkan angin menyeruak masuk barang mengajak tirai menari bersama mengikuti haluan. Jihwan memejam, berguling ke sisi lain―sayap kanan yang biasanya menjadi posisi nyaman seorang Jeon Jungkook. Ia tengkurap di sana sambil menghirup dalam aroma khas Jungkook yang menguar. Citrus kesukaannya. Citrus yang membuat pikirannya mendadak liar, membuat ia menyesal karena hanya dapat menghirupnya saja.

Jihwan berputar sejenak guna melirik jam yang dinding yang menghadap langsung ke arahnya. Sudah pukul setengah enam sore dimana matahari hampir menghilang di bawah garis cakrawala, tepat di sebelah barat dan akan segera melahap pendar kemerahan sang surya yang berjasa menyinari kehidupan. Seharusnya Jungkook sudah pulang dan seharusnya Delaney tahu diri untuk pergi dari kediamannya.

Perempuan itu memutuskan diri untuk turun dari ranjang dengan perlahan lalu menuju pintu kamar dan membukanya hati-hati. Ia menilik jatah makan siangnya di atas nakas―tepat di luar kamar, menatap benci lantas mengambil mangkuk berisi sup yang dilengkapi penutup pada bagian atasnya. Sejenak melirik tong sampah di sana lalu bergegas menumpahkan sup tersebut usai memastikan lewat insting bahwa gadis bernama Delaney itu telah pergi entah sejak kapan.

Usai memuaskan hasrat dengan cara membuang masakan Delaney ke dalam tong sampah, Jihwan kembali melangkah pincang menuju pintu utama apartemen. Ia ingin pergi keluar, entah ke mana. Ia bahkan tidak tahu arah tujuannya―tapi di lubuk hatinya yang paling dalam, bisikan pelan mengalun samar. Ia ingin mencari udara segar, hanya itu.

Saat tangannya nyaris berhasil menarik tuas pintu, tiba-tiba saja seseorang mengayun daun pintu ke dalam hingga menyenggol lutut Jihwan―membuat sang empu langsung tersungkur tepat di permukaan lantai kayu yang terpisah dari ruang bersantai untuk menonton televisi―tepatnya ruang sempit yang selalu mereka gunakan untuk meletakkan rak sepatu.

Ringisan pelan langsung mengalun cepat dari bibir perempuan itu, membuatnya buru-buru mendongak lantas menemukan presensi seorang pria dengan tubuh gagah tengah memandanginya bingung. "Apa yang kau lakukan?"

Jihwan meremas jemarinya, mengepalkan tangan hingga ibu jarinya menekan bagian telapak sementara lidahnya terasa kelu untuk membalas pertanyaan Jungkook yang masih memandang tak senang. "Ingin mencari udara segar," kata perempuan itu pada akhirnya dengan kepala sedikit tertunduk.

"Sekarang sudah hampir malam, apa kau buta? Kau bahkan tidak bisa keluar dalam keadaan seperti itu―" Jungkook meneguk ludahnya, mengubah posisi titik fokus menuju paha mulus sang istri yang terekspos jelas karena gaun harian yang hanya mencapai lutut itu tersingkap tinggi.

Perlahan-lahan pria itu berjongkok guna menyejajarkan pandangan mereka, meletakkan tas jinjingnya di atas permukaan lantai dan saat manik keduanya telah bertemu―Jihwan mendapati aura lain tengah menyombongkan diri di sekitar prianya. Manik sehitam jelaga yang mulai menggelap serta merta gerakan jakun yang melambat tiap kali meneguk ludah.

LonelyTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang